Aset tak berwujud saat ini memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai kekayaan nasional dan dipandang sebagai sumber pendapatan nasional. Dengan mengetahui nilai wajar dari Barang Milik Negara (BMN) ditinjau dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Aset Tak Berwujud (ATB) pemerintah dapat mengelola aset tersebut dengan lebih baik.
Berdasarkan PSAK 19, Aset Tak Berwujud (ATB) merupakan sebuah aset non moneter yang terindefikasi tanpa wujud fisik. Aset tak berwujud ini meliputi hak-hak istimewa atau posisi yang menguntungkan agar menghasilkan pendapatan. PSAK 19 membahas sekelompok aset tidak berwujud dengan sifat dasar yang sama dan digunakan dalam kegiatan operasi entitas. Diantaranya yaitu Hak Kekayaan Intelektual yang merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada kreditor, investor, atau pendesain atas hasil kreasi atau temuannya yang memiliki nilai komersial, baik langsung secara otomatis maupun melalui pendaftaran pada instansi terkait, sebagai bentuk penghargaan atau pengakuan hak yang patut diberikan perlindungan hukum.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan telah menginisiasi kan penghitungan nilai Barang Milik Negara (BMN) berupa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Harta Tak Berwujud (ATB). Hal ini sebagai upaya untuk mempromosikan keberadaan kekayaan intelektual dengan merumuskan Strategi Nasional Kekayaan Intelektual (SNKI). Serta telah memutuskan bagaiman cara untuk meningkatkan nilai tambah dan mengoptimalkan penggunaan aset nasional dalam bentu Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Dalam beberapa tahun ini, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), diantaranya paten, mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga menjadi perhatian khusus bagi masyarakat Indonesia maupun luar. Hal ini dikarenakan, pertama, adanya penemuan-penemuan baru dibidang teknologi baik teknologi elektronik, telekomunikasi dan transpotasi yang berpotensi dapat mempercepat jalannya perdagangan nasional maupun internasional. Kedua, meningkatnya kemajuan industri. Ketiga, adanya peran pemerintah dalam meningkatkan ekspor non-migas. Keempat, adanya peran pemerintah untuk terus mengembangkan industri kecil maupun industri menengah yang dapat menciptakan lowongan pekerjaan dan memperkecil angka pengangguran. Kelima, adanya peraturan yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), diatur dalam perundangan-undangan berikut : UU No. 29/2000 Tentang Varietas Tanaman. UU No. 30/2000 Tentang Rahasia Dagang. UU No. 31/2000 Tentang Desain Industri.
Direktorat Jendral Kekakyaan Intelektual (DJKI), Kementrian Hukum & Ham R.I, menyebutkan sampai Agustus 2022 jumlah pemohon paten di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 187.160 pemohon paten, diantar paten yang berasal dari dalam negeri 31.069 sedangkan untuk paten yang berasal dari luar negeri mencapai 156.091. dapat dilihat dari jumlah pemohon paten untuk paten dalam negeri masih sangat minim. Hal tersebut dapat memperlihatkan bahwa keberadaan suatu sistem Kekayaan Intelektual (KI) dapat menunjukan tingkat ekonomi suatu negara.
Saat ini penentu daya saing ekonomi di suatu negara berkembang tidak lagi didasarkan pada sumber daya alam atau pendapatan pemerintah sebagai nilai jual. Hak kekayaan intelektual dapat menjadi pendorong pendapatan pemerintah. Kekayaan intelektual memiliki dampak yang sangat besar bagi perekonomian suatu negara (Nizar, 2020). Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Aset Tak Berwujud (ATB) termasuk merek dagang, paten atau hak lisensi yang masyarakat umum tahu memiliki nilai komersial yang besar, seperti beberapa merek terkenal seperti Microsoft yang memiliki 90% aset tidak berwujud di neracanya serta valuasi perusahaan berbasis aplikasi digital seperti Gojek yang lebih tinggi dari aset BUMN seperti Garuda Indonesia.
Untuk melakukan penghitungan dan pengukuran kekayaan intelektual dan Aset Tak Berwujud (ATB), pemerintah harus menggunakan PSAK sebagai pedomannya. Pada PSAK 19 sudah dijelaskan mengenai cara pengukuran terhadap Aset Tidak Berwujud (ATB), yang dimana di dalamnya sudah termasuk kekayaan intelektual.
Berdasarkan PSAK No 19, manfaat ekonomis masa depan yang timbul dari Aset Tak Berwujud dapat mencakup pendapatan dari penjualan barang atau jasa, penghematan biaya, atau manfaat lain yang berasal dari penggunaan aset tersebut oleh entitas. Misalnya penggunaan hak kekayaan intelektual dalam suatu proses produksi tidak meningkatkan pendapatan masa depan, tetapi menekan biaya produksi masa depan.
Perlakuan akuntansi untuk modal intelektual masih merupakan dilema bagi para praktisi akuntansi dan manajer perusahaan (Suwardjono dan Kadir, 2003). Hinggi saat ini terdapa banyak konsep yang dikembangkan dan dinilai sesuai unutk mengukur modal intelektual. (Marr, et, al, 2003) mengungkapkan bahwa setidaknya ada lima alasan perusahaan terus berusaha mencari metode pengukuran modal intelektual yaitu untuk membantu perusahaan menyusun strategi, menilai pelaksanaan strategi, membantu mengambil keputusan diversifikasi dan ekspansi digunakan sebagi dasar penentuan.
Menurut Makki & Lodhi (2014) menyatakan bahwa modal intelektual merupakan faktor sukses kritis terhadap kesuksesan sebuah perusahaan sehingga para manajer harus fokus pada penggunaan modal intelektual untuk memaksimalkan kekayaan perusahaan dalam jangka panjang. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa kekayaan intelektual sangat penting
Dengan adanya penghitungan dan pengukuran barang milik negara berupa intelektual barang milik negara, maka ini tentunya akan membawa manfaat bagi pemerintah sendiri. Selain dari pemerintah bisa mengetahui seberapa banyak kekayaan intelektual yang mereka miliki, pemerintah juga bisa memikirkan bagaimana meningkatkan nilai tambah dan juga memikirkan bagaimana cara memaksimalkan pemanfaatan barang milik negara yang berupa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tersebut.[]
Pengirim :
Irma Melati, Mahasiswa Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas, email : irmamelati1901@gmail.com