Begini Proses Menuju Masa Dewasa

MASA dewasa merupakan waktu yang paling lama dialami setiap manusia dalam rentang kehidupan. Menurut Hurlock (2012) tugas perkembangan pada masa dewasa yang dimulai dengan dewasa awal adalah mulai bekerja, memilih dan memperoleh pasangan, belajar hidup dengan tunangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara, dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Dengan kata lain masa dewasa adalah masa di mana seseorang semestinya sudah memperoleh pasangan hidup atau menikah, terutama bagi perempuan karena menurut Jacoby dan Bernard (dalam Suryani, 2007) setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun, wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dari orang tua, sahabat, dan bahkan teman sekerjanya. Oleh karena itu wanita yang sudah memasuki tahap dewasa merasa cemas bila belum menikah.

Kecemasan yang dirasakan oleh wanita yang sudah memasuki tahap dewasa cukup beralasan karena berbagai faktor eksternal, seperti misalnya banyaknya pertanyaan dari keluarga besar, teman, dan bahkan lingkungan sekitar. Jones (dalam Suryani, 2007) mengatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia yang menempatkan menikah dan memiliki anak sebagai prioritas hidup wanita semakin membuat pernikahan menjadi hal yang lebih penting bagi wanita daripada pria, sehingga status melajang yang dimiliki wanita lebih mendapat sorotan.

Baca Juga :  Transformasi Gemilang Desa Kace, dari Lahan Tambang Menjadi Wisata yang Mempesona

Di Surakarta sendiri menunjukkan bahwa penduduk didominasi oleh penduduk berstatus kawin yakni 54,32 persen. Hal ini terlihat, baik untuk penduduk laki-laki maupun perempuan. Proporsi penduduk laki-laki yang berstatus kawin hampir sama dengan perempuan. Sementara penduduk laki-laki berstatus belum kawin lebih tinggi dibandingkan perempuan karena biasanya laki-laki masih meneruskan pendidikan atau baru mulai bekerja sehingga menunda perkawinan. Begitu juga laki-laki yang dikonstruksikan sebagai kepala keluarga yang harus membiayai kebutuhan keluarga, mempunyai keinginan mapan secara ekonomi sebelum memasuki kehidupan rumah tangga.

Jika dikaitkan dengan umur nampak bahwa proporsi penduduk yang berstatus belum kawin pada kelompok umur 10-29 tahun cukup tinggi, sedangkan yang berstatus kawin proporsi tertinggi pada kelompok umur 30-54 tahun. Banyaknya proporsi penduduk muda yang belum kawin diduga disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk yang berada pada umur sekolah ditambah dengan mereka yang berstatus bekerja. Selain faktor eksternal seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat juga faktor internal atau faktor dari individu itu sendiri, seperti yang diungkapkan pada hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Yulianingsih (2008) tentang “Hubungan Antara Obesitas Dengan Kecemasan Memperoleh Pasangan Hidup Pada Perempuan Dewasa Awal” menunjukkan bahwa obesitas memiliki pengaruh terhadap kecemasan memperoleh pasangan hidup pada perempuan dewasa awal sebesar 9,1%.

Baca Juga :  Tantangan Perkembangan Sosial Anak Usia Dini di Masa Pandemi

Semakin tinggi obesitas maka semakin tinggi pula kecemasan memperoleh pasangan hidup pada perempuan dewasa awal yang berusia 21-30 tahun. Faktor internal lainnya yaitu seperti yang diungkapkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifayani (2012) tentang “Kecemasan Memperoleh Pasangan Hidup Pada Penyandang Cacat Tubuh” bahwa wanita usia 20-30 tahun yang mengalami cacat tubuh akan mengalami kecemasan dalam memperoleh pasangan hidup. Penyandang cacat tubuh mengalami kecemasan akan penolakan keluarga dan lingkungan pasangannya, usia yang semakin bertambah dan belum memiliki gambaran yang jelas mengenai pasangan, cemas akan ditinggalkan oleh pasangannya, tidak dapat memiliki keturunan, dan cemas jika tidak memperoleh pasangan hidup yang kondisi fisiknya lebih baik dari pada kondisinya karena dianggap tidak pantas menikah dengan orang yang normal secara fisik.

Hasil penelitian lain dikemukakan oleh Suryani (2007) yang melakukan penelitian kepada 190 wanita berusia 30-68 tahun di Jakarta dan sekitarnya mengenai “Gambaran Sikap Terhadap Hidup Melajang dan Kecemasan akan Ketidakhadiran Pasangan pada Wanita Lajang Berusia di Atas 30 Tahun”, hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita lajang maka sikap terhadap hidup melajang cenderung semakin positif sehingga tingkat kecemasan akan ketidakhadiran pasangan akan semakin rendah. Hal ini dapat dipahami dimana pendidikan tinggi dapat membuka wawasan, sehingga individu terbuka terhadap perbedaan pendapat dan kritis terhadap gejala-gejala yang terjadi di lingkungan sekitar. Kondisi ini membuat tingkat kecemasan akan ketidakhadiran pasangan yang dialami oleh individu dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih rendah dibandingkan individu dengan pendidikan yang lebih rendah.

Baca Juga :  Bagaimana Pemberian Makanan yang Sesuai Bagi Anak Usia Prasekolah

Setiap wanita dewasa pada umumnya sangat mengharapkan dapat memiliki pasangan dan menikah tepat pada waktunya atau sesuai dengan waktu yang telah di targetkan. Karena dengan adanya pasangan maka wanita dewasa akan merasakan dapat melalui tugas tahap perkembangannya. Namun pada kenyataannya banyak wanita yang sudah memasuki tahap dewasa belum juga menikah, hal ini bisa saja menyebabkan wanita tersebut mengalami berbagai tekanan.[]

Pengirim :
Aprilia Sekar Wulan
Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Magelang
Email : apriliasekarwulan96@gmail.com

banner 300250