Corak Tafsir dan Mufassir Nusantara

Tafsir memiliki peran yang sangat besar dalam menumbuhkan semangat keagamaan dan dakwah islam di Nusantara. Tafsir membahas mengenai makna dan hikmah dari Al-Qur’an sebagai wahyu dan petunjuk bagi ummat islam. Selain itu Al-Qur’an merupakan mukjizat balaghiyah yang seharusnya dapat di pahami secara universal baik secara tekstual maupun kontekstual dalam semua lini kehidupan seorang muslim.

Tafsir tidak hanya memiliki peran global maupun parsial dalam memahami Al-Qur’an, tetapi ia memiliki nilai strategis dalam mempublikasikan nilai – nilai Al-Qur’an baik dalam segi social, ekonomi, filosofis, historis maupun nilai intelektual dalam kehidupan fardhiy dan jama’i. Tafsir di harapkan mampu mentransformasi pesan – pesan ilahi kepada manusia untuk menjadi pribadi yang kaffah sesuai dengan arahan dan nilai subtansial yang ada dalam Al-Qur’an itu sendiri. Sebab itu, penting kiranya mengetahui dan menilik kembali bagaimana perkembangan, dinamika serta peran tafsir dan para mufassirnya di Nusantara agar dapat memberikan pesrpektif baru bagi arah tafsir kontemporer di Nusantara.

Para Mufassir melalui karya-karya nya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan ummat islam, tak terkecuali para mufassir di nusantara. Para Mufassir nusantara juga ikut berkontribusi terhadap pembaharuan pemikiran islam di Indonesia. Siapa sajakah para mufassir yang ada di nusantara ;

1. Syeikh Abdurrauf As-Sinkily 
Abdurrauf Al- Sinkili di lahirkan tahun 1024 H atau sekitar abad ke -16 Masehi di sebuah desa wilayah Singkil, Aceh. Ayahnya seorang ulama bernama Syekh Ali Fansuri Al- Jawi. Sejak kecil Abdurrauf al-Sinkili sudah dididik untuk belajar ilmu agama. Di antara karya nya adalah kitab tafsir Turjumanul mustafid yang di tulis dalam bahasa Melayu. Kitab tafsir ini memuat 30 juz alqur’an, sebanyak 114 surat al- quran. Dengan menggunakan terjemah ayat per ayat pada masa itu, tafsir ini menjadi rujukan untuk memahami maksud dan kandungan dalam al qur’an. Bahkan dalam catatan Ali Hasyimi, syekh Sinkili adalah ulama mufassir nusantara pertama yang menuliskan tafsir ayat – ayat al-Qur’an kedalam bahasa Melayu yang mana bahasa melayu pada saat itu merupakan bahasa yang di gunakan di kawasan Asia Tenggara.

Baca Juga :  Kunjungi SD dan MIN, Ini Pesan Pj Bupati Asra

Jika dinilai dari periodesasi tafsir, tafsir Turjumanul mustafid dikategorikan kedalam tafsir kontemporer, tafsir ini dilengkapi dengan analisis bahasa baik dari segi ilmu qiraat maupun ilmu balaghah. Dalam menafsirkan ayat demi ayat, Syeikh Abdurrauf As-Sinkily cenderung bercorak tasawwufi falsafi dan seringkali mengkorelasikannya dengan tazkiyatunnafs.

2. Syekh Nawawi Al-Bantani ( Abad 19 M )
Syekh Nawawi Al Bantani adalah seorang ahli fikih madzhab syafi’i di Makkah, beliau adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin umar al-Tanara al-Bantani. Beliau juga dikenal dengan sebutan Sayyid Ulama Hijaz. Syaikh Nawaiwi al-Bantani berasal dari Tanara, Banten, Jawa pada tahun 1230 H/ 1814 M. Selain mengajar dan menulis banyak kitab, beliau juga menulis satu karya tafsir dalam bahasa arab bernama Tafsir Mirah Labid li kasyfi ma’na al-quran al-majiid atau dikenal juga dengan nama al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil yang terdiri dari 2 jilid.

Tafsir ini ditulis secara sistematis, berurutan, dan terperinci mulai dari surat al-Fatihah hingga surat an-Naas. Penyusunan tafsir ini menggunakan metode tahlily atau analisis, juga metode tafsir ijmaly di sisi yang lain. Dalam penulisannya Syeikh Nawawi merujuk pada beberapa kitab tafsir diantaranya kitan Tafsir Futuhat al-ilahiyyah karya Sulaiman al-Jamal (1790 M), Mafatihu al-ghoib karya Fakhruddin ar-Razi (1209 M), as-Siraaj al-Munir karya al-Syirbini ( 1570 M) dan kitab- kitab yang lainnya.

3. KH. Muhammad Sholeh Darat bin Umar As-Samarani
Di penghujung abad 19, K.H. Muhammad Soleh bin Umar As-samarani menulis sebuah tafsir berjudul Faidh al- Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Berbeda dengan pendahulunya, tafsir faidh al-Rahman fi tafsir alqur’an di tulis dalam bahasa Jawa menggunakan penulisan Arab pegon. Meskipun tafsir Faidh al-Rahman hanya memuat 6 juz saja, yaitu dimulai dari surat al-fatihah hingga surat an-Nisa’, akan tetapi tafsir ini banyak memberikan kontribusi bagi para pembaca khususnya para penggiat agama islam di Nusantara di era penjajahan kala itu.

Dari segi isi dan karakteristiknya, tafsir ini banyak memuat unsur – unsur isyari dan tasawuf. Kedua, tafsir ini menggunakan pendekatan sosio – kultural, yang mana hal tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial kemasyarakatan dan budaya yang ada pada masa itu. Dalam penafsirannya, juga banyak mengutip kitab – kitab klasik dan pendapat- pendapat ulama khususnya ahli tasawuf.

Baca Juga :  Jalan Raya Milik Semua Warga, Bukan Hanya untuk Pengendara yang Tidak Beretika

4. Mahmud Yunus
Mahmud Yunus lahir di sebuah desa bernama Sungayang, Batu sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Sejak kecil Mahmud Yunus tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang faham dengan keagamaan. Ia merupakan tokoh intelektual yang banyak menuangkan karya- karya nya dalam bentuk tulisan. Tulisan nya tercatat sebanyak 49 buah menggunakan Bahasa Indonesia, dan 26 buah menggunakan Bahasa Arab. Karya – karya mencakup bidang tafsir, bidang pendidikan, bidang fiqih dan hukum islam, serta bidang Bahasa Arab. Di antara karya – karya nya itu adalah kitab Tafsir Al-Qur’an al-karim yang Ia tulis dalam Bahasa Indonesia. Mahmud Yunus menyelesaikan manuskrip tafsir ini pada tahun 1938, namun naskah itu baru bisa diterbitkan pada tahun 1973.

Tafsir al-qur’an al-Karim merupakan sebuah karya mufassir nusantara pada awal abad ke 20 M. Mahmud Yunus menuliskan tafsir ini kedalam Bahasa Indonesia. Sebagian kalangan menilai bahwa tafsir ini bercorak tarbawy, hal tersebut tidak terlepas dari peran Mahmud Yunus yang bergelut didunia pendidikan dan agama. Adapun metodologi penafsiran yang digunakan, Mahmud Yunus banyak menggunakan pola tafsir tahlili atau menganalisa ayat per ayat dengan menjelaskan makna, konteks, asbabun nuzul hingga hikmah yang dapat diambil dari ayat tersebut.

5. Buya Hamka
Hamka merupakan nama sebutan dari Haji Abdul Malik Amrullah. Beliau adalah seorang ulama besar yang juga sastrawan, negarawan, sejarahwan dan juga politikus yang banyak menghasilkan karya. Hamka lahir pada tanggal 17 Februari 1908 atau 13 Muharram 1326 di Sumatra Barat. Buya Hamka banyak menorehkan catatan karya, baik yang berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia. Diantara karya nya itu adalah kitab tafsir yang di namai Al- Azhar. pada tahun 1967 akhirnya Tafsir Al – azhar dapat di terbitkan.

Baca Juga :  Empat Mahasiswa USK Ikuti Asia Pasific Internet Engineering di Jepang

Tafsir al-Azhar merupakan mahakarya intelektual ulama Nusantara. Buya Hamka banyak menuangkan pesan moral dan hikmah dalam tafsir yang beliau tulis, selain itu Buya Hamka juga memperdalam makna ayat dengan berbagai pendekatan seperti bahasa, fiqih, budaya hingga ilmu sosial politik. Sistematika penulisan Tafsir al-Azhar tidak jauh berbeda dengan kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode tahlily. Kadangkala Buya Hamka mengaitkan satu ayat atau surat al-qur’an dengan peristiwa – peristiwa kontemporer dengan menambahkan sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa Tafsir al-Azhar memadukan antara corak tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bil ra’yi.

6. Quraish Shihab
M. Quraish shihab dilahirkan di daerah Rampang, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1967 setelah menamatkan Pendidikan sarjanaya di Fakultas Ushuluddin Universitas Al- Azhar Kairo, ia melanjutkan program magister pada universitas yang sama, kemudian tahun 1982 menyelesaikan program doctor dengan disertasi yang berjudul Nazmuddhuror li Al Biqoi : Tahqiq wad dirasah. Beliau dikenal sebagai mufassir kontemporer yang memiliki banyak karya dalam perkembangan keilmuwan di Indonesia. Diantara karya intelektualnya, beliau banyak menuliskan tafsir – tafsir tematik seperti Menyingkap Tabir Ilahi ( 1988), Hidangan Ilahi ; Tafsir ayat-ayat Tahlili ( 1999 ), Perempuan ( 2005 ) dan lainnya.

Diantara karya monumentalnya ialah Tafsir al-Misbah yang ditulis secara lengkap 30 juz dalam Bahasa Indonesia. Tafsir al-Misbah memiliki dua corak utama yaitu corak adabi al-ijtima’I dan corak lughowi. Hal tersebut dapat dilihat dalam penafsirannya, Quraisy Shihab menjelaskan secara rinci pesan – pesan dan makna al-Qur’an yang dikaitkan dengan problematika masyarakat kontemporer. Pendekatan bahasa digunakan untuk memahami arti kata setiap kalimat, ayat dan surat sehingga seringkali Tafsir al-Misbah berisikan kritik atas kekeliruan masyarakat dalam memahami isi dan makna al-qur’an. Tafsir al-Misbah juga seringkali dikaitkan dengan isu-isu ekonomi, politik, sosial, kesejahteraan, gender hingga pluralisme. Hal tersebut tentu menjadi sebuah corak baru dalam khazanah tafsir dan mufassir di Nusantara.[]

Penulis :
Putri Qurrata A’yun, Lc. MH, Dosen STIT Madani Yogyakarta, email : Putriqa87@gmail.com

banner 300250