Oleh : Ade Pramesty Dwi Pradika*
Pandemi COVID-19 yang telah melanda indonesia kurang lebih dua tahun jelas memberi banyak dampak buruk. Dari social distancing atau physical distancing hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan untuk memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19. Kebijakan belajar di rumah menjadi bentuk pelaksanaan dari himbauan pemerintah mengenai pencegahan kenaikan kasus covid. Hal ini disebut-sebut menjadi penyebab melonjaknya angka pernikahan dini di Indonesia pada masa pandemi.
Meski UU No. 16 Tahun 2019 telah mengatur mengenai usia minimal pernikahan yakni 19 tahun untuk kedua mempelai, hal ini tidak dapat mengurangi angka pernikahan dini. Penyimpangan dalam pelaksanaan undang-undang ini terjadi melalui celah dimana orang tua dapat mengajukan dispenasi ke pengadilan.
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama mencatat terdapat 34.000 permohonan dispensasi ke pengadilan untuk melangsungkan pernikahan pada Januari hingga Juni 2020. Dalam hal ini, sebanyak 97% permohonan dikabulkan dengan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.
Selain faktor kebijakan belajar di rumah yang menyebabkan minimnya aktivitas di rumah, sejumlah faktor ikut melatarbelakangi kasus pernikahan dini yang melonjak ini. Di dalam faktor ekonomi, angka kemiskinan yang semakin meningkat dengan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja menyebabkan orang tua memutuskan anaknya untuk dinikahi dengan alasan mengurangi beban tanggung jawab. Padahal putus sekolah pada anak justru akan memperpanjang rantai kemiskinan.
Selain itu, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai resiko yang dihadapi dalam pernikahan dini bagi anak menjadi alasan besar pernikahan dini makin marak terjadi.
Pernikahan dini berdampak buruk pada kondisi biologis dan psikologis anak-anak. Pernikahan dini memiliki risiko besar atas penyakit menular seksual dan kanker rahim karena kurangnya pengetahuan dalam penggunaan alat kontrasepsi.
Karena kondisi biologis anak yang belum siap untuk bereproduksi, kehamilan dan persalinan di usia terlalu muda memiliki risiko komplikasi yang mengakibatkan kematian pada bayi dan ibu, atau mengakibatkan cacat pada bayi. Anak dibawah lima tahun yang lahir dari ibu di bawah umur pun juga beresiko besar mengalami gizi buruk.
Kemudian hal yang paling memberi dampak panjang ialah masalah psikologis orang tua yang belum siap akibat perubahan situasi hidup dan bertambahnya tanggung jawab, berpotensi terjadinya tekanan lalu menjadi depresi. Dalam hal ini, tentu akan berdampak juga pada bayi, kondisi yang tidak stabil bisa meningkatkan risiko terjadinya kekerasan pada anak. Sehingga anak yang tumbuh dengan kekerasan akan berpotensi terhambat pertumbuhannya. Efeknya ialah Indonesia akan kekurangan potensi sumber daya manusia sebagai generasi penerus yang memajukan bangsa.
Dengan begitu, jelas saja pernikahan dini ini sangatlah tidak diharapkan terjadi. Sebab akan memberi resiko dalam jangka panjang kedepannya bagi orang tua, anak, dan juga bangsa. Maka, perlu digencarkan lagi dalam hal memberi edukasi perihal pernikahan pada masyarakat.[]
*Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : adepramestydp@gmail.com