Jakarta, TERASMEDIA.NET – Sejumlah perusahaan asal Israel diduga menjual teknologi pengintaian atau spyware ke Indonesia. Hal ini terungkap dalam investigasi bersama antara Lab Keamanan Amnesty International, Tempo, Hareetz, Inside Story, kelompok riset WAV, dan Woz.
Candiru, salah satu perusahaan itu, menciptakan spyware yang diduga bekerja dengan memalsukan situs-situs berita di Indonesia. Dilansir dari Hareetz, Indonesia merupakan salah satu klien Candiru. Sumber-sumber di Israel mengonfirmasi kesepakatan mereka telah terjadi sejak 2018.
Investigasi menemukan setidaknya tiga pengiriman komponen perangkat keras dan perangkat lunak terkait dengan sistem infiltrasi atau ekstraksi intelijen siber pada periode 2020 hingga 2021 dengan total nilai US$33 juta.
Candiru, menurut Hareetz, telah ditambahkan ke daftar hitam Amerika Serikat pada 2021. Penambahan ke daftar hitam ini dilakukan setelah teknologinya disalahgunakan oleh klien.
“Candiru menjual teknologi spyware bernama ‘Cyrus’ yang dapat meretas sistem PC serta ponsel,” tulis Hareetz dalam laporannya, Kamis, 2 Mei 2024.
Analisis jaringan mengungkapkan adanya domain yang meniru situs berita Indonesia, termasuk TribunNews, Tirto, Media Indonesia dan Antara News. Sebuah domain bernama Indoprogress juga ditemukan.
Laboratorium Keamanan Amnesty belum mengonfirmasi apakah domain tambahan ini merupakan server infeksi spyware Candiru. Meskipun begitu, mereka menyatakan terus mengamati domain spyware Candiru tambahan dengan fokus pada Indonesia hingga 2022.
Amnesty menyebutkan, entitas sasaran penjualan teknologi spyware termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri dan Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN. Polri dan BSSN belum menjawab surat permintaan wawancara Tempo hingga Jumat, 3 Mei 2024.
Jurre van Bergen, teknolog di Amnesty International, menyatakan penjualan dan transfer perangkat lunak mata-mata dan teknologi pengawasan yang sangat invasif ke Indonesia menjadi ancaman bagi penegakan HAM.
“Perdagangan rahasia dari alat-alat mata-mata terus berlangsung pada saat hak-hak atas kebebasan berekspresi sudah berada dalam serangan di negara tersebut,” kata van Bergen dalam keterangan tertulis, Rabu, 1 Mei 2024.[]