Oleh : Muhammad Anugrah*
Adu argumentasi pro dan kontra penundaan pemilu 2024 semakin mendidih. Kedua pihak mengklaim mendapat dukungan suara rakyat Indonesia berbasis data dan metode terpercaya. Kelompok pro merasa memiliki dukungan dari mahadata media sosial berjumlah ratusan juta. Sementara itu, kelompok kontra menggunakan data survey nasional seperti LSI dan SMRC.
Klaim sepihak kedua kelompok memiliki kekuatan dan kelemahan. Kelompok pro yang dipelopori Muhaimin Iskandar Ketua Umum PKB, Airlangga Hartanto Ketua Umum GOLKAR, dan Luhut Binsar Pandjaitan Menko Kemaritiman mendaku memiliki data dari desas-desus media sosial. Jumlahnya jutaan. Sekitar 60% massa medsos mendukung penundaan pemilu. Hanya sekitar 40% yang menolak.
Sayangnya, kelompok ini tidak membeberkan metode pengambilan dan analisis data. Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, meragukan dasar argumentasi kelompok pro. Menurut Ismail, ciutan Twitter lebih mudah dikalkulasi. Namun, sulit untuk menghitung data media Instagram atau Facebook. Itu pun, mayoritas rakyat Twitter Indonesia justru menolak penundaan pemilu 2024. Belum lagi republik maya rentan tersusupi pasukan cyber yang banyak menyebar hoaks dan memanipulasi kebenaran faktual.
Lain halnya data survey. Analisis dan lampiran datanya lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Minusnya, sampel data survey tidak representatif karena narasumber hanya berkisar 1500-2000 orang. Bagaimanapun mungkin jumlah sekian ribu mampu mewakili suara jutaan warga Indonesia?
Polemik kedua kubu di atas dan reaksi para pengamat melewatkan satu hal mendasar. Semua kubu selalu yakin mendapat dukungan rakyat dan mewakili suara mayoritas rakyat. Sayangnya, rakyat mana yang dimaksud? Titik api ada di sini. Soalnya ini akan mengantar kita ke masalah mendasar: mengapa mudah sekali semua elit politik merasa mewakili rakyat?
Pemikir post-fondasional Claude Lefort membeberkan rahasianya. Menurut Lefort, konsep rakyat atau masyarakat tidak memiliki isi sehingga mudah digiring dan diklaim. Lefort menyebutnya “an empty space”. Di kemudian hari, Laclau memberi padanannya “empty signifier”. Ruang kosong ini dapat diisi apa saja, bergantung pertarungan hegemonik kekuasaan. Karena itu, para politisi berebutan mencaplok ruang kosong ini.
Analogi yang lebih tepat adalah kantong atau kotak ajaib. Rakyat itu bukan soal isi, melainkan bungkusan, kantong, kotak. Bukan sembarang kantong. Ini kotak ajaib ala Doraemon. Apapun dapat dikonversi menjadi apapun bila dimasukkan ke kantong ajaib ini. Bahkan hoaks dapat diubah menjadi kebenaran. Hanya dengan beberapa suara di dalam kotak ini, seorang politisi dapat memperoleh legitimasi kekuasaan untuk melakukan apapun.
Rakyat adalah kantong ajaib yang kosong. Apapun yang dimasukkan politisi ke dalam kantong ini dapat menghasilkan vibrasi politik. Ini alasanya mendasar kelompok pro dan kontra mengumbar ke publik bahwa mereka mendapat dukungan rakyat. Dan memang kedua kubu secara politik boleh mengejar dan mendaku kantong kosong ajaib ini.
Namun sekaligus semua pihak harus berhati-hati. Kantong ajaib ini adalah bara api yang haus kekuasaan. Kantong ini panas, berpotensi menimbulkan gesekan dan ledakan besar. Dari hukum ekonomi, kita tahu, konflik mudah sekali terbakar tatkala semua orang membutuhkan satu barang yang langka. Saling menjegal, menjatuhkan, bahkan meniadakan niscaya menjadi strategi pertarungan.
Bila kantong ajaib Doraemon hanya untuk berbuat baik, kantong ajaib rakyat dapat dimanfaatkan untuk kepentingan apapun. Hanya atas nama suara mayoritas rakyat, genoside Rwanda terjadi selama 100 hari pada 1994. Gong suara ekstrimis Jerman menggerakan Hitler untuk menginvasi seluruh Eropa, membunuh warga keturunan Yahudi tanpa ampun dan memicu Perang Dunia II. Hati-hati dengan ruang kosong rakyat. Itu kantong ajaib, tapi panas. Kantong ajaib haus darah.[]
*Penulis adalah mahasiswi Universitas Bangka Belitung, email : anugrah2306@gmail.com