Oleh : Dina Febriyanti*
Memiliki kulit putih dan cerah merupakan dambaan setiap orang, terutama kaum wanita. Oleh sebab itu banyak orang yang berusaha untuk menjaga atau memperbaiki kesehatan kulitnya, sehingga terlihat lebih menarik. Hal tersebut didukung pula oleh perkembangan teknologi perawatan kulit serta tersebarnya klinik-klinik kecantikan di Indonesia yang menyediakan kosmetik (Indriaty et al., 2018).
Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan untuk membersihkan, memberi daya tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Anggraeni, 2014).
Salah satu sediaan kosmetika yang banyak digunakan oleh masyarakat terutama oleh kaum wanita adalah produk pemutih wajah. Terkadang produsen yang tidak bertanggung jawab memasukkan bahan yang berbahaya yang digunakan sebagai pemutih kulit yaitu logam merkuri (Hg), yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan pada organ tubuh dan juga bersifat toksik (Indriaty et al., 2018).
Tahukah Anda Mengenai Logam Merkuri?
Merkuri merupakan bahan kimia yang kadang ditambahkan dalam kosmetik yang fungsinya mempercepat proses pemutihan kulit. Dengan waktu yang singkat, konsumen sudah bisa mendapatkan kulit putih, bersih, dan mulus. Melihat hasilnya itu, banyak para wanita yang terus menggunakan kosmetik berbahan merkuri itu. Padahal merkuri sebenarnya tidak boleh dipakaikan pada manusia karena toksisitasnya terhadap organ-organ ginjal, saraf, dan otak sangat kuat maka pemakaiannya sangat dilarang dalam sediaan kosmetik (Trisnawati et al., 2017).
Merkuri disebut juga air raksa atau hydrargyrum yang merupakan elemen kimia dengan simbol Hg dan termasuk dalam golongan logam berat dengan bentuk cair dan berwarna keperakan. Menurut Dr. Retno I.S Tranggono, Sp.KK, “merkuri direkomendasikan sebagai bahan pemutih kulit karena berpotensi sebagai bahan pereduksi (pemucat) warna kulit dengan daya pemutih terhadap kulit yang sangat kuat”.
Ion merkuri dianggap dapat menghambat sintesis melamin pigmen kulit di sel melanosit. Ada beberapa ciri kosmetik mengandung merkuri, antara lain yaitu: Krim terasa lengket, Krim terlihat kasar atau tidak menyatu, Warna umumnya mencolok karena tidak menggunakan pewarna kosmetik dan menggunakan pewarna tekstil, Pemakaian awal menyebabkan iritasi, namun setelah itu menyebabkan ketergantungan dan jika pemakaian dihentikan akan timbul rasa gatal dan tidak nyaman (Rakhmina et al., 2017).
Bagaimana Efek Toksik dalam Merkuri?
Toksisitas akut dalam bentuk merkuri anorganik yaitu HgCl2 atau garam merkuri yang larut bisa menyebabkan kerusakan membrane alat pencernaan, eksanterma pada kulit, dekomposisi eritrosit, serta menurunkan tekanan darah. Toksisitas kronis meliputi gejala gangguan sistem syaraf, antara lain berupa tremor, anemia, albuminuria, dan gejala lain berupa kerusakan ginjal serta kerusakan mukosa usus (Rakhmina et al., 2017).
Toksisitas merkuri organik, seperti alkil merkuri atau metil merkuri memiliki sifat toksik yang lebih luas dibandingkan merkuri anorganik, karena mengakibatkan disfungsi blood-brain barrier, merusak permeabilitas membran, menghambat beberapa enzim, menghambat sintesis protein, dan menghambat penggunaan substrat protein (Rakhmina et al., 2017).
Bahayakah Kosmetik Pemutih dengan Kandungan Merkuri?
Merkuri, Asam retinoat, Hidrokuinon dan zat warna sintesis seperti Rhodamin B dan Merah K-3 merupakan bahan kimia berbahaya bagi kulit yang dapat ditemukan dalam beberapa kosmetik. Bahan-bahan ini sebetulnya telah dilarang penggunaannya sejak tahun 1998 melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/MENKES/PER/V/1998. Sejauh ini bahan-bahan kimia tersebut belum dapat tergantikan dengan bahan-bahan yang lebih alami. Bahan-bahan kimia tersebut dapat memicu kanker (Surbakti, 2019).
Menurut BPOM RI merkuri (Hg)/air raksa termasuk logam berat berbahaya, dalam konsentrasi kecilpun dapat menimbulkan racun dan biasa terdapat pada krim pemutih. Merkuri dapat menyebabkan alergi dan iritasi kulit. Pemakaian dengan dosis tinggi menyebabkan kerusakan otak permanen, gagal ginjal yang berakibat kematian dan gangguan perkembangan janin yang berakibat keguguran dan mandul (Surbakti, 2019). []
*Penulis adalah mahasiswi S1 Farmasi Univeritas Binawan, email : dinafebriyanti1402@gmail.com