Kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting bagi manusia sama halnya seperti kesehatan fisik pada umumnya. Dengan sehatnya mental seseorang maka aspek kehidupan yang lain dalam dirinya akan bekerja secara lebih maksimal. Kondisi mental yang sehat tidak dapat terlepas dari kondisi kesehatan fisik yang baik. Kesehatan mental yang baik untuk individu merupakan kondisi dimana individu terbebas dari segala jenis gangguan jiwa, dan kondisi dimana individu dapat berfungsi secara normal dalam menjalankan hidupnya khususnya dalam menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang mungkin ditemui sepanjang hidupnya. Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia. Diseminasi hasil penelitian ini dilakukan Kamis (20/10) di Hotel Grand Melia Jakarta Selatan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
Meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke berbagai fasilitas kesehatan, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Padahal, hampir 20% dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia 10 – 19 tahun, sehingga populasi remaja dapat dikatakan memiliki peran penting bagi perkembangan Indonesia, terutama untuk meraih bonus demografi dan merealisasikan visi Indonesia Emas 2024. “Hanya 2,6% dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka,” papar Siswanto. Salah satu contoh yang memicu kesehatan mental remaja seperti adanya bullying disekitar lingkungannya atau yang sering terjadi yaitu broken home. Broken home merupakan salah satu penyebab kesehatan mental anak.
Broken home sering dikenal dengan kondisi keluarga yang tidak lengkap ataupun harmonis lagi, yang mana kedua orang tua dari keluarga sudah dikatakan pisah. Namun, broken home tidak hanya berkaitan dengan perceraian ataupun perpisahan yang mengakibatkan berakhirnya sebuah keluarga, tapi keluarga yang tidak sempurna atau saling melengkapi dimana orangtua tidak mampu membangundan menjadi orangtua seutuhnya. Seharusnya dalam sebuah keluarga peran orangtua terhadap anak perlu diutamakan karena akan berdampak pada masa depannya. Sekarang kenyataannya banyak anak yang bebas pergaulannya karena kurangnya perhatian dari orangtua.
Memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia merupakan impian semua orang, karena dengan adanya kasih sayang dari keluarga kita dapat merasa nyaman dan di cintai. Namun, keharmonisan di dalam sebuah keluarga tidak bisa dirasakan oleh beberapa anak karena adanya sebuah perceraian di antara kedua orang tuanya. Broken home menjadi istilah yang sering kita jumpai pada kasus ini. Pihak yang paling dirugikan adalah anak, mereka harus menanggung akibat yang terjadi dari adanya perceraian orang tuanya, mulai dari kesehatan mental hingga fisik anak tersebut, terlebih ketika salah satu dari orang tuanya sudah menikah lagi. Hal ini di alami oleh seorang anak perempuan yang harus berjuang melawan kestabilan mental disaat salah satu orang tuanya memiliki keluarga baru.
AN, seorang anak perempuan yang namanya minta disamarkan membagikan sebagian kisah hidupnya saat menghadapi mental breakdown ketika salah satu orang tuanya memiliki keluarga baru akibat dari perceraian sebelumnya. Saat usia 4 tahun, AN harus tinggal bersama eyangnya karena perceraian tersebut. Sejak kelas 2 SD ia harus menanggung beban psikis disaat anak lain menerima banyak kasih sayang dari kedua orang tua namun tidak dengan AN. Saat naik ke kelas 3 SD, psikisnya semakin terguncang karena mendengar kabar bahwa salah satu orang tuanya harus menikah lagi, “Waktu kelas 3 SD, aku udah mulai sedikit stress. Penyebabnya ya, karena harus nerima kenyataan kalau aku punya ayah baru dan aku harus ikut mama dan ninggalin eyangku,” ujar AN.
AN juga mengatakan saat ikut mama dan keluarga baru nya, ia merasa sedikit tertekan karena tuntutan yang diberikan oleh mamanya. Saat ia menginjak kelas 1 SMP, AN mengatakan bahwa titik terendah psikisnya dihadapi saat itu. AN mengatakan bahwa saat itu ia ingin mengakhiri hidupnya karena merasa tidak kuat dengan kenyataan pahit dan tekanan yang dihadapi. Namun, dengan merenungkan segala hal yang akan terjadi ia memilih untuk melanjutkan hidupnya karena bagaimanapun juga mengakhiri hidup tidak dapat menyelesaikan permasalahan di hidupnya. Dengan melakukan banyak kegiatan positif, ia dapat men-distract pikiran-pikiran yang mengganggunya meskipun dengan rentang waktu yang cukup lama. Ada banyak kegiatan yang ia ikuti, mulai dari organisasi hingga kegiatan non-akademik lainnya.
Dari berita diatas banyak sekali korban dari perceraian orang tua adalah anak. Namun orang tua juga seharusnya bisa memberikan perhatian lebih kepada anak-anaknya karena dari status broken home sudah membuat psikisnya lemah kemudian ditambah lagi apabila adanya ketidakadilan dalam memperoleh kasih sayang dan tuntutan yang diberikan. Apabila keputusan broken home adalah keputusan yang tepat menurut orang tuanya, namun juga harus memikirkan bagaimana kehidupan anaknya, bagaimana caranya agar anak tetap merasakan keluarga yang utuh tanpa adanya rasa pecah. Karena tidak semua anak bisa terbuka terhadap apa yang dirasakan, kalau bukan orang tuanya yang memahami karakter anak siapa lagi?
Hal ini yang masih banyak remaja diluar sana merasakan kesehatan mental yang sama dirasakan oleh AN. Namun, ada juga orang tua tetap tidak mau tau dengan apa yang dirasakan oleh anaknya. Oleh karena itu, remaja yang merasakan psikisnya tidak baik bisa melakukan banyak kegiatan hingga mendapatkan banyak pengalaman sehingga dapat membantu melalui masa sulit di hidupnya. Selain itu, psikolog juga dapat dikunjungi jika kalian mengalami hal yang serupa dengan kisah di atas, kalian bisa melakukan konsultasi ke psikolog atau orang yang ahli dalam bidangnya untuk membantu menyelesaikan permasalahan psikis yang kalian alami.[]***
Pengirim :
Mohammaad Yazidhul Khasan, mahasiswa Program Studi Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), email : yazidkhasan27@gmail.com