Kesenjangan dan Penghidupan Rohingya

Oleh: Jainudin Abas*

Menjelang pesta demokrasi Indonesia, masyarakat di Aceh bagian pesisir malah di sibuk kan dengan pengungsian Rohingya yang terus berdatangan di berbagai titik di daerah- Nya. Provinsi paling barat Indonesia itu kini menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Aksi masyarakat yang lebih banyak menolak kedatangan etnis rohingya, dan (Achmad Marzuki) selaku PJ Gubernur Aceh yang terus memfasilitasi tempat pengungsian para etnis rohingya.

Sehingga, spekulasi liar masyarakat Indonesia begitu kencang perihal masalah ini. Antara menerima etnis rohingya atau menolak kedatangan Rohingya Ke-Indonesia. Hingga, saat ini masih menjadi pertanyaan besar sebagian masyarakat Indonesia. Mengapa kita harus menerima etnis rohingya? Padahal mereka bukan kategori kelompok pengungsi. Lantas, atas dasar apa kita harus menerika kelompok rohingya? Atas dasar kemanusian? Jika ini atas dasar kemanusiaan. Bukankah penyelesaian HAM di Aceh, Papua, Maluku, Kanjuruan, Wadas, dan Rempang belum mendapat keadilan hingga hari ini.

Kita ketahui sendiri, bahwa etnis rohingya pada dasarnya merupakan pengungsian yang berasal dari Negara Myanmar yang berdarah India dan Bangladesh. Salah satu penyebab pengusiran etnis rohingya ini bukanlah suatu polemik biasa. Melainkan Ke-tidak jelasan status kewarganegaraan atau dalam kata lain bukan suku asli warga negara Myanmar. Ditambah lagi, jumlahnya semakin banyak, sehingga mengharuskan suku asli bersaing dengan rohingya dalam dunia pekerjaan, kemudian puncaknya di tragedi pembantaian.

Lantas, mengapa kedatangan rohingya ke Indonesia menjadi fenomena yang menarik untuk di delik lebih jauh? Hal ini, tidak terlepas dari kajian historis yang lebih luas sebenarnya, yang mengharuskan kita tidak berbicara kemungkinan hari ini saja, akan tetapi kemungkinan di masa yang akan mendatang. Kedatangan etnis rohingya sebenarnya, mengingatkan kita pada sejarah kedatangan kaum zionis ke tanah Palestina. Yang dimana lambat laun menjadi persoalan karena semakin tinggi tingkat persaingan yang mengharuskan masyarakat pribumi harus minggat dari dananya sendiri.

Baca Juga :  Ragam Koleksi Manuskrip di Museum Gusjigang

Kesenjangan dan Penghidupan

Ketidak-kesetaraan atau perbedaan dapat diukur, antara individu, kelompok, bahkan suatu wilayah. Sehingga, perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dapat diketahui. Dalam hal ini, Provinsi Aceh masih dalam pusaran kesenjangan sampai saat ini, hanya saja isu kesenjangan kemiskinan di Aceh tidak digubris secara merata.

Jika, kita lihat data dari Pusat Statistik (BPS) menempatkan Aceh sebagai daerah kemiskinan di Sumatra dengan persentase 15,43%, sedangkan persentase kemiskinan di desa tercatat sebesar 17,9%, sementara di kota sebesar 10,32% (BPS) Aceh, profil kemiskinan di Aceh 2021. Hal ini menandakan ketimpangan kemiskinan di Aceh masih banyak dan perlu diperhatikan. Bukan sebaliknya para pengungsi Etnis Rohingya.

Selain itu, jika kita melihat kondisi masyarakat pesisir di aceh, sebagian masyarakat pesisir masih tergolong miskin berdasarkan kepustakaan ilmiah delapan dimensi non-ekonomi penduduk miskin, yaitu: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, dan papan: aksesibilitas ekonomi rendah terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan pendapatnya (Yusup) dalam ulasannya “Masyarakat Kebudayaan dan Politik” kurang lebih seperti ini: makna miskin dan kemiskinan itu sama dengan kondisi “keserbaterbatasan” penyandangnya.

Baca Juga :  Analisis Peran WTO terhadap Sengketa Perdagangan Internasional

Oleh karena itu, penyelesaian kesenjangan di Aceh khususnya bagian pesisir harusnya menjadi prioritas utama pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat. Sehingga, tidak perlu jauh-jauh melirik etnis masyarakat yang lain. Agar masyarakat setempat tidak harus menjadi parasit kehidupan orang lain untuk bisa bertahan hidup. Seperti kata pepatah tua dari negeri para raja “Maju Satu Tahun Ke-depan, Melangkah Jauh Ke Seberang”.

Pengungsian etnis rohingya ke-Indonesia pada umumnya dan di Aceh pesisir khususnya bukan persoalan (sepele). Sebenarnya kedatangan Rohingya di Aceh sudah dimulai sejak 2009, kemudian pada tahun 2015, dan yang terbaru ini di tahun 2023. Yang menarik dari kedatangan etnis rohingya ke Aceh selain jumlah yang banyak, berdatangan secara serentak ke satu titik dan sistematis.

Permasalahan di atas sejalan dengan data dari Badan pengungsi PBB (UNHCR) yang menyatakan ada sekitar 1.200 orang rohingya yang telah mendarat d Indonesia sejak bulan November lalu. Data tersebut terus bertambah, yang terbaru mencapai 1.475 orang. Sedangkan, data dari satgas Provinsi Aceh jumlah Etnis Rohingya yang sudah mendarat di Aceh sekitar 1.684 orang dan mereka tersebar di 8 titik lokasi penampungan berbeda.

Baca Juga :  Laboratorium Komputasi dan Analisis Data FISIP Unimal Gelar Workshop Mendeley

Setelah Myanmar dan Malaysia kini Indonesia yang menjadi tempat penghidupan selanjutnya para rohingya. Padahal Indonesia bukan negara penandatanganan konvensi PBB tentang Pengungsi tahun 1951, yang mengharuskan kita menerima etnis rohingya tanpa ada hitam di atas putih?

Penumpang Gelap di NKRI

Mengapa begitu mudah para etnis rohingya memasuki batas wilayah NKRI? Sehingga, upaya Pemerintah Indonesia dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan laut, kemampuan militer di laut, dan pemantau maritim sedang dipertanyakan hari ini. Masuknya etnis rohingya ke perbatasan wilayah Indonesia tanpa ada seleksi administrasi yang ketat, sudah menandakan betapa lemahnya pertahanan ke lautan Indonesia.

Padahal, dana APBN untuk Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebesar Rp. 131,92 triliun tahun 2023. Dari setiap kementerian yang di anggarkan oleh negara kepada Kementerian Pertahanan dan TNI yang paling tinggi di antara kementerian yang lain. Jika kita merujuk pada lemahnya ketahanan negara dalam mengawal teritorial daerah perbatasan di sebabkan kurangnya fasilitas pemantau pertahanan negara. Rasanya sangat mustahil dan tidak masuk akal.

Untuk itu, ketegasan dan pembangunan kekuatan pertahanan maritim Indonesia perlu di tingkatkan lagi. Agar upaya masuk tanpa salam seperti etnis rohingya, penyeludupan, pencurian sumber daya alam, perampokan, terorisme, perdagangan manusia, serta sengketa perbatasan dapat teratasi.[]

*Penulis adalah Direktur Utama Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam Cabang Yogyakarta, email : abasudin09@gmail.com

banner 300250