Pada dasarnya, masyarakat merupakan kesatuan individu yang mendiami suatu ruang lingkungan yang di dalamnya terdapat interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan antar sesama. Dalam lingkup masyarakat dapat terdiri dari kesatuan masyarakat homogen maupun heterogen. Masyarakat homogen, yakni kesatuan yang dibentuk berdasarkan unsur-unsur yang sama, seperti budaya, agama, dan ras. Kesatuan tersebut dapat memberi peluang besar kepada masyarakat untuk lebih mudah dalam beradptasi maupun menyatukan pola pikir.
Berbeda dengan masyarakat heterogen atau majemuk yang lebih bersifat plural atau berbeda-beda dari segi, agama, budaya, dan ras. Masyarakat heterogen ini biasanya berada di perkotaan atau daerah yang sudah mengalami kemajuan dalam berpikir. Kemajuan dalam berpikir bermakna bahwa seseorang lebih memikirkan sesuatu yang bersifat realistis untuk dirinya dan lingkungan sekitarnya. Individu tersebut menganggap bahwa kesatuan unsur yang sama bukan menjadi hal utama, akan tetapi menyatukan suatu konsep pemikiran merupakan hal yang dominan dalam tercapainya keselarasan masyarakat.
Norma sosial dalam masyarakat
Interaksi yang dilakukan dalam masyarakat yang berlangsung lama akan menghasilkan suatu aturan atau yang sering kita sebut dengan norma sosial. Norma sosial lahir dari kebiasaan, kebudayaan atau latar belakang masyarakat itu sendiri. Dengan adanya suatu norma atau aturan, masyarakat menginginkan bahwa keberlangsungan hidup individu dapat diatur oleh kesatuan masyarakat yang bertujuan agar terciptanya keteraturan atau keseimbangan. Entitas terbentuknya suatu norma ditentukan oleh keadaan masyarakat di suatu daerah.
Masyarakat dengan tingkat homogenitas tinggi memungkinkan terbentuknya norma akan sangat mengikat individu dalam bertindak. Sebaliknya, masyarakat yang berada pada daerahnya cenderung memiliki karakteristik yang bersifat heterogen, norma bukanlah acuan yang sangat penting dalam mengikat individu, meskipun pada kenyataannya individu selalu dihadapkan oleh norma sosial.
Menyikapi keberagamaan masyarakat yang bersifat plural, tolak ukur pemikiran yang berbeda antara kondisi masyarakat homegenitas dan heterogenitas yang terkadang dapat menimbulkan pemikiran yang berkontradiksi. Masyarakat dengan kondisi sosial homogenitas banyak yang mengganggap masyarakat plural seakan lebih bebas dan tidak mengindahkan norma yang seharusnya berlaku. Kesatuan masyarakat yang bersifat heterogenitas mengganggap bahwa masyarakat homogen terlalu mengekang dan tidak memberi peluang kebebasan masyarakatnya dalam mengekspresikan jati diri.
Norma seakan memberi penindasan kepada individu
Anggapan bahwasanya norma adalah tameng dari bentuk penindasan dapat dipahami sebagai konsekuensi keberlangsungan norma tersebut diterapkan. Norma yang semula berfungsi sebagai acuan keselarasan individu atau konsensus yang kuat dalam masyarakat, kini seakan terdapat bentuk penafsiran yang mengaggap bahwa norma seperti bentuk pengekangan yang berkelanjutan.
Pemikiran individu yang semakin luas dan keterkaitanya dengan teknologi membuat difusi budaya sebagai penyebab atas pergesaran nilai-nilai yang sudah lama hidup dalam kesatuan masyarakat. Norma yang semula ditaati oleh masing-masing individu, saat ini menghadapi krisis dalam implikasinya.
Individu selalu berhadapan oleh norma sosial, namun individu itu sendiri sebagai aktor mempunyai sikap untuk dapat melakukan penyimpangan. Jika ia memiliki anggapan bahwa keterkaitannya dengan norma justru membuatnya stagnan pada suatu kondisi dan membuatnya tidak bisa berkembang. Sehingga keberadaan norma yang semula mengikat lambat laun akan pudar dan menyebabkan munculnya norma baru melalui penyesuaian dengan kebudayaan atau kebiasaan masyarakat yang diterapkan.
Labelling masyarakat dan kaitannya dengan norma sosial
Teori Labbelling melihat penyimpangan yang terjadi dalam individu merupakan hasil dari cap atau julukan yang diberikan oleh masyarakat kepada individu tersebut. Penilaian masyarakat terhadap perilaku atau tindakan baik hal positif maupun negatif akan membentuk kepribadian atau karakter individu dalam melakukan suatu tindakan. Cap yang diberikan kepada seseorang membuatnya cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang dan berakibat pada kelanggengan penyimpangan tersebut dilakukan.
Ironisnya, penyimpangan tersebut berasal dari norma sosial itu sendiri. Norma sosial sebagai penjelmaan atas kepribadian masyarakat seolah-olah menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh individu yang mendiami suatu daerah harus sesuai dengan peraturan yang ada. Jika perilaku individu tersebut bertentangan dengan norma sosial, maka akan diberikan suatu cap yang melekat pada individu tersebut.
Seseorang yang mendapat labelling negatif memiliki anggapan bahwa norma dan lingkungan masyarakat sangat kejam dan membuat mereka terus merasa termarjinilasai oleh keadaan. Norma yang terdapat dalam masyarakat seakan-akan tidak ada bentuk pemaafan untuk individu tersebut berubah. Individu tersebut akan terus diberi stigma negatif oleh masyarakat meskipun pada kenyataannya ia sudah melakukan tindakan yang dianggap benar oleh masyarakat tersebut. Stigma tersebut bahkan akan terus melekat dalam kehidupan individu dan menjadikan individu tersebut terus terbayang-bayang oleh kesalahan dan membuatnya terus melakukan perilaku menyimpang.
Cara yang dapat dilakukan individu tersebut untuk melepaskan stigma negatif yang selalu memenjarainya adalah pergi ke suatu tempat yang jauh dari lingkungan yang memberinya stigma negatif dan memulai kehidupan baru di sana. Atau individu tersebut dapat memupuk keyakinan yang kuat untuk terus berkembang tanpa memedulikan anggapan negatif dari masyarakat.[]
Pengirim :
Rahma Nur Azizah, mahasiswa Sosiologi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, email : zzhnurrahma@gmail.com