Perkembangan digitalisasi perbankan terkait erat dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks yang membutuhkan layanan perbankan yang sederhana, aman, dan cepat. Tren digitalisasi perbankan sebenarnya bukan hal baru bagi perbankan. Sebelum pandemi Covid-19, tren digitalisasi perbankan cukup marak ketika dunia sudah memasuki era digital. Namun, selama pandemi, perubahan dalam Perilaku masyarakat mendorong perbankan untuk bertransformasi ke arah digital.
Seiring dengan maraknya bank digital, kontribusi pendanaan perbankan melalui teknologi informasi (fintech) juga meningkat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan financial technology (fintech) sebagai inovasi dalam industri jasa keuangan yang memanfaatkan pemanfaatan teknologi. Dikutip dari Bisnis Indonesia, tentang itu meningkat kontribusi pendanaan perbankan melalui fintech, OJK mencatat bahwa per Juli 2021, porsi pendanaan bank ke fintech mencapai 17,09% dari outstanding pinjaman oleh pemberi pinjaman dalam negeri. Jika dibandingkan Januari 2021 (15%), porsi ini meningkat 2,09% dalam waktu 6 bulan.
Dengan adanya dari bank digital, bank akan lebih aktif bekerjasama dengan fintech. Untuk perbankan, bank digital akan lebih mudah berintegrasi dengan fintech karena keduanya merupakan platform digital. Peningkatan pendanaan dari perbankan juga akan terjadi jika semakin banyak fintech yang berstatus berizin. Saat ini, dibandingkan fintech yang berstatus terdaftar, lebih banyak fintech yang berstatus berlisensi. OJK mencatat hingga 25 Agustus 2021, total penyelenggara fintech peer-topeer (P2P) lending yang telah terdaftar dan berizin di OJK sebanyak 116 penyelenggara. Sekitar 77 penyedia fintech lending berstatus berlisensi.
Perbankan di Indonesia mulai menjalin kerja sama dengan perusahaan fintech dan kerja sama yang terjalin tersebut kebanyakan di bidang sistem pembayaran dan pembiayaan. Kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan, termasuk inklusi ekonomi, dengan menjangkau masyarakat unbanked dan pelaku UMKM.
Dinyatakan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bahwa dengan kehadiranya fintech ini dapat memberikan solusi yang bisa melengkapi ekosistem melalui berbagai layanan yang diberikan oleh perbankan. Karena dengan kehadiran fintech ini sangat membantu untuk bisa memberikan akses keuangan kepada masyarakat yang tidak memiliki rekening bank. Apalagi dengan trennya fintech belakangan ini yang sangat dinamis, dan disamping itu masyarakat juga masih banyak yang kesulitan dalam mengakses pendanaan dari perbankan, baik pelaku maupun dari para usaha kecil dan menengah (UMKM).
Kolaborasi antara bank dan fintech memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak. Pertama, kerjasama ini merupakan strategi yang sangat efektif bagi bank untuk bertransformasi menjadi bank digital karena layanan digital merupakan keunggulan kompetitif fintech. Kondisi perkembangan sektor digital dan perubahan perilaku nasabah yang semakin nyaman dalam melakukan transaksi digital, mendorong perbankan untuk segera bertransformasi ke digital. Transformasi digital ini tidak hanya dalam bentuk bank digital tetapi juga dapat berupa penyediaan layanan digital yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Kedua, memperluas jangkauan pasar perbankan itu sendiri, termasuk pasar unbanked dan underbanked seperti pelaku UMKM. Segmen pasar unbanked dan underbanked, seperti pelaku UMKM yang membutuhkan jasa keuangan dengan sistem yang lebih mudah dibandingkan bank. Kemudahan ini diberikan oleh fintech dan menjadi kekuatannya sehingga dapat menjangkau segmen pasar yang belum tersentuh perbankan.
Ketiga, Bank juga memiliki keunggulan kompetitif yaitu database nasabah yang kuat. Adanya kerjasama antara bank dan fintech tentunya akan memberikan keuntungan bagi fintech yaitu semakin memperluas konsumen basis data. Kolaborasi juga dapat meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap fintech. Seperti diketahui, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap fintech masih rendah. Masyarakat menilai citra perusahaan fintech buruk. Hal ini dikarenakan fintech dinilai memberatkan debitur dengan memberikan bunga yang cukup tinggi (maksimal 0,8% per hari atau maksimal 24% per bulan sedangkan pinjaman bank sekitar 15-25% per tahun) padahal mekanisme pemberian pinjaman lebih mudah.
Selain manfaat yang diperoleh dari kerjasama antara bank dan fintech, ada beberapa risiko yang perlu dipertimbangkan oleh bank dan fintech serta pemerintah. Menurut OJK, ada beberapa risiko yang mungkin timbul dari kerjasama ini.
Tidak ada undang-undang yang menjamin perlindungan dan pertukaran data pribadi nasabah sehingga menimbulkan risiko kebocoran data nasabah. Kasus kebocoran data pribadi telah merajalela selama dua tahun terakhir. Kasus ini sering terjadi di sejumlah instansi pemerintah maupun swasta. Di sektor keuangan juga banyak terjadi kebocoran data, seperti pada Agustus 2020 yang diduga terjadi kebocoran data sekitar 890.000 nasabah perusahaan fintech Kreditplus. Meningkatnya jumlah kasus kebocoran data menunjukkan bahwa sistem perlindungan data pribadi di Indonesia masih lemah. Hingga saat ini, RUU Perlindungan Data Pribadi masih dalam proses pembahasan. Namun sebagai salah satu upaya, OJK merespons risiko ini dengan cepat.
Ada risiko serangan cyber. Serangan dunia maya meningkat selama Covid-19 pandemi. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat selama Januari-Agustus 2021, terdapat lebih dari 888,7 juta serangan siber yang terjadi di Indonesia. Dengan meningkatnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi digital, ancaman keamanan siber juga semakin besar. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan manajemen krisis dan strategi keamanan siber yang memadai.[]
Penulis :
Mohammad Zaki Nabilun Nuha dan Fika Fitriasari
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malang, email : mznaabill@gmail.com