Pemaknaan Kebebasan dan Peran Perempuan dalam Konstruksi Sosial

Setiap manusia menginginkan kebebasan, baik dinyatakan secara langsung maupun tersirat dalam hati. Kebebasan sangat nyata sebagai kebutuhan yang seharusnya dapat diperoleh oleh masing-masing makhluk hidup, baik itu hewan, tumbuhan, maupun yang lebih kompleksitas adalah manusia yang memiliki akal dan pikiran untuk dapat menginterpretasi suatu keadaan.

Memaknai sebuah kebebasan, kebebasan sebagai bentuk seseorang untuk dapat mengekspresikan keinginanannya dengan sangat leluasa tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak manapun. Kebebasan jika dimaknai secara general sebagai kemampuan seseorang dalam bertindak atau berubah tanpa ada suatu batasan yang dapat mengekangnya. Seseorang bebas melakukan apapun sesuai keinginannya tanpa ada rasa takut atau penyesalan setelah bertindak.

Individu dalam memaknai kebebasan

Jika kita mempertanyakan makna kebebasan kepada masing-masing individu, apakah mereka sudah benar-benar merasa bebas atau masih terpenjarai oleh keadaan, kebanyakan dari mereka justru belum

memahami dirinya sendiri sebagai entitas individu yang berhak mendapat kebebasan atau individu itu seolah-olah merasa bebas, akan tetapi sebenarnya ia sedang melanggengkan suatu bentuk pengekangan. Jika kita selalu menganggap kekayaan sebagai tolak ukur seseorang untuk mendapatkan kebebasan, justru dengan kekayaan tersebut membuat seseorang semakin jauh dari makna bebas.

Manusia dengan ambisi kekayaan akan melakukan segala cara meskipun harus terkuras waktu dan tenaga. Hal tersebut dikarenakan pemikiran mereka selalu berorientasi pada point kekayaan tanpa bisa memaknai kehidupan. Jika kebebasan selalu dipahami dengan anggapan tersebut, maknanya baik seseorang yang berada pada taraf ekonomi menengah atas maupun bawah tidak ada yang benar-benar bebas.

Baca Juga :  Mengatasi Banjir: Tantangan dan Solusi Menurut Gen Z

Kebebasan pengaruh kontruksi sosial

Kontruksi dalam sistem sosial sangat berpengaruh dalam memaknai kebebasan. Contohnya seperti anggapan masyarakat dahulu bahwa perempuan identik dengan sumur, dapur, dan kasur. Perempuan sangat dituntut untuk dapat melakukan semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga, sedangkan lelaki dituntut untuk dapat bekerja memenuhi kebutuhan domestik. Artinya, perempuan terus dituntut untuk dapat mengoordinasi segala kebutuhan keluarga, sedangkan lelaki dituntut untuk mencari uang demi menafkahi kebutuhan keluarganya. Perempuan yang bekerja dengan tujuan membantu suaminya terkesan seperti perempuan yang tidak memperhatikan keluarga, sedangkan apabila seorang lelaki melaksanakan pekerjaan rumah tangga seperti tidak memiliki harga diri.

Masih banyak perempuan yang disepelekan karna perannya yang dipandang hanya berkontribusi lewat tenaga, namun tidak dengan uang. Padahal dibalik itu semua, perempuan memegang andil yang besar dalam mengatur keperluan keluarganya, misalnya katakanlah seorang suami hanya memiliki gaji 2 juta perbulan. Perempuanlah yang berpikir keras untuk menemukan cara bagaimana dengan uang 2 juta tersebut dapat mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, meskipun pada akhirnya dengan nominal yang ada belum mampu mencukupi, kebanyakan perempuan hanya diam tanpa bisa berkutik karna ketergantunganya kepada lelaki.

Baca Juga :  Terapi Pandemi, NU Banat Kudus Manfaatkan Media Digital

Bahkan di zaman modern saat ini, perempuan sangat dituntut untuk dapat memiliki fisik yang sempurna sesuai anggapan masyarakat, meskipun masing-masing perempuan diberikan kebebasan dengan cara apapun untuk memperoleh hal tersebut, namun pada akhirnya berujung untuk memenuhi selera masyarakat dengan tameng kebebasan.

Rasanya pada saat ini anggapan kesetaraan gender belum terealisasikan dengan baik. Gender yang dimaknai sebagai sesuatu yang melekat sebagai pembeda peran antara perempuan dengan laki-laki yang terlihat pada unsur nilai atau tingkah laku, dalam kesetaraannya belum termaksimalkan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan masyarakat belum mengerti betul terhadap makna gender yang sesunggunya. Unsur patriaki yang menempatkan laki-laki lebih utama atau diistilahkan sebagai superior telah melekat dalam pandangan masyarakat. Laki-laki dipandang lebih pantas mendapat yang terbaik dibandingkan dengan perempuan, seperti dalam hal pendidikan. Perempuan dianggap tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi, karena tugas mereka pada akhrinya hanya mengurusi urusan rumah tangga saja. Memang benar jika anggapan seperti itu, namun dengan adanya perempuan yang nantinya akan dijuluki sebagai “ibu” seharusnya dapat membawa iklim yang positif untuk keluarganya, seperti mengajari anaknya tentang agama sebagai hal yang paling utama, sopan santun, dan akademik. Wanita sangat perlu mendapat akses pendidikan, meskipun pendidikan tidak hanya didapatkan di institusi formal.

Perempuan selalu identik dengan kelemahan dan banyak dari mereka yang menjadi objek kekerasan. Bagi pihak perempuan yang sudah mengalami kekerasan tersebut, banyak dari mereka yang seolah-olah seperti tidak bisa lepas karena ketergantungannya terhadap lelaki. Hal ini menjadi penjelas bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan berhak untuk bekerja supaya mereka tidak disepelekan dan tidak diperbuat semena-mena. Namun di samping itu, perempuan jangan sampai melupakan kodratnya sebagai ibu yang bertugas untuk mendidik anak-anak mereka, meskipun kewajiban mendidik anak bukan serta-merta dibebankan oleh perempuan saja, melainkan lelaki juga memiliki andil yang sama. Jadi yang diharapkan antara peran perempuan dan lelaki dapat berjalan secara berdampingan tanpa ada unsur penindasan dan pihak yang merasa dirugikan.

Baca Juga :  Pentingnya Kesadaran dalam Keselamatan Berkendara

Dalam hal yang berkaitan dengan gender, peran yang dilakukan oleh lelaki dan perempuan bisa jadi memiliki kesamaan namun yang dapat kita maknai bersama bahwa istilah gender juga mengacu pada sistem kodrati, artinya bahwa meskipun terdapat persamaan peran, baik lelaki maupun perempuan harus memahami dasar dari kutuhannya masing-masing.

Jika kenyataannya unsur patriaki tidak bisa dihapuskan secara keseluruhan, paling tidak bagi pihak yang telah mengerti makna yang sebenarnya, sudah pasti harus menjadi pionir perubahan mengenai hal tersebut. Kebebasan harus tetap ditegakkan meskipun seperti kertas yang buram.[]

Pengirim :
Rahma Nur Azizah, mahasiswa Sosiologi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, email : zzhnurrahma@gmail.com

banner 300250