Aceh Tamiang, TERASMEDIA.NET – Direktur Eksekutif LSM Kempra Ir. Izuddin Idris mengatakan kondisi kawasan mangrove di wilayah kabupaten Aceh Tamiang sangat mengenaskan. Dari hampir 23.000 hektar wilayah mangrove yang ada di Aceh Tamiang, lebih dari 75 persen dalam kondisi rusak akibat penguasaan dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali serta penebangan bakau untuk dijadikan bahan baku arang, sebut Izzuddin dalam rilisnya yang diterima Terasmedia.net, Senin (19/07).
Menurutnya, permasalahan ini terungkap dalam pernyataan beberapa datok Penghulu dalam diskusi multi pihak bertajuk “Pemanfaatan dan Perlindungan Mangrove Secara Berkelanjutan” yang digelar oleh LSM Kempra dan disupport WWF Indonesia, Rabu (14/07) yang lalu.
Bahkan menurut Izuddin, saat ini kondisi kerusakan mangrove Aceh Tamiang telah memasuki fase paling kritis sepanjang dekade, dan akan terus berlanjut apabila tidk ada kesungguhan dan keseriusan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya untuk menghentikannya.
“Selama ini pemerintah atau pemangku kepentingan di tingkat kabupaten tidak banyak berbuat dan seperti enggan mengambil langkah kebijakan untuk mengurangi atau menghentikan laju kerusakan hutan mangrove yang terjadi di kawasan pesisir” tegas Izuddin.
Dikatakannya, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang selama ini berlindung pada alasan klasik bahwa kewenangan pengelolaan dan pengawasan kawasan hutan dan wilayah mangrove berada di pemerintahan propinsi dan di tingkat pusat.
Menurut Izuddin, itu alasan yang terlalu dibuat-buat. Kewenangan pengelolaan dan pengawasan wilayah hutan boleh saja ada di tangan pemerintah propinsi atau pemerintah pusat, tapi secara geografis dan demografis lahan yang ada pada wilayah hutan tersebut tetap milik Aceh Tamiang, dan pemerintah daerah punya hak untuk mengatur peruntukannya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
“Artinya jika pemerintah Aceh Tamiang serius berupaya untuk menghentikan laju kerusakan mangrove di wilayahnya, dapat dilakukan dengan menerbitkan aturan yang dapat membatasi laju kerusakan mangrove, misalnya dengan menerbitkan aturan moratorium penguasaan dan alih fungsi lahan mangrove atau larangan mengoperasikan dapur arang”, tegas Izuddin.
Tetapi realita hari ini menurut Izuddin, komitmen dari Pemerintah Aceh Tamiang terhadap perlindungan dan penyelamatan hutan mangrove di kawasan pesisir masih sebatas narasi akademis yang tertuang dalam dokumen RPJM, KLHS dan RTRW, sementara langkah tindak lanjutnya belum tampak secara nyata, ungkapnya.
Izuddin juga mengharapkan adanya aksi nyata dan dukungan yang lebih konkrit dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang kepada pemangku kepentingan dan kelompok masyarakat di tingkat desa yang secara swadaya melakukan upaya perlindungan dan penyelamatan mangrove di wilayahnya. [] Red/ril