Peran KUA Memayungi Pernikahan Lintas Agama

Penggunaan Kantor Urusan Agama (KUA) tidak hanya terbatas pada urusan keagamaan Muslim, tetapi peran KUA juga dapat melibatkan non-Muslim dalam beberapa konteks tertentu salah satunya konteks pernikahan beda agama. Mentri agama Yaqut Cholil Qoumas menekankan perlunya KUA berpegang pada prinsip moderasi, inklusivitas, dan transparansi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kementrian agama telah memulai program revitalisasi KUA yang bertujuan untuk memperluas layanannya kepada masyarakat luas, tidak hanya umat Islam. Meskipun KUA umumnya dikenal sebagai Islam, namun dalam praktiknya, KUA juga dapat terlibat dalam beberapa aspek kehidupan non-Muslim.

Di tengah keragaman keyakinan dan kepercayaan, Kantor Urusan Agama (KUA) memegang peran penting dalam memayungi proses pernikahan bagi pasangan yang berasal dari latar belakang keagamaan yang berbeda. Tentunya di dalam masyarakat yang multikultural seperti Indonesia, pernikahan lintas keyakinan atau agama menjadi sebuah realitas yang harus diakui dan diakomodasi. Seiring dengan timbulnya semangat Bhinneka Tunggal Ika, KUA mengupayakan agar terciptanya kerukunan antar umat beragama dengan menghormati keberagaman keyakinan dan melalui pendekatan yang inklusif (menyeluruh melibatkan semua orang dari berbagai kelompok tanpa meninggalkan salah satunya).

Pada dasarnya penggunaan KUA (Kantor Urusan Agama) bagi non-Muslim dalam perspektif sosiologi dapat dilihat dari sudut pandang hubungan antar hukum, agama, dan masyarakat yang saling melengkapi. Realitas hukum yang terjadi dalam masyarakat menjadi lebih kaya ketika ditelaah dengan menggunakan perspektif sosiologi. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa penggunaan KUA bagi non-Muslim juga dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika sosial dan hukum yang melibatkan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini mencangkup pemahaman tentang toleransi, pluralisme, dan hubungan antaragama dalam masyarakat.

Baca Juga :  Pj Bupati Asra Cek TPS Jelang Pilkada 2024

Namun pada dasarnya, KUA memiliki fungsi sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pencatatan perkawinan, pembinaan keluarga, dan pemberian bimbingan keagamaan. Dalam konteks pernikahan lintas keyakinan, KUA memfasilitasi proses pernikahan dengan memastikan bahwa semua prosedur administrasi dan syarat syarat pernikahan telah dipenuhi sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, KUA juga berperan sebagai mediator dalam menyatukan berbagai persyaratan dan ketentuan yang berlaku bagi pasangan lintas keyakinan.

Mereka memberikan bimbingan dan informasi terkait prosedur pernikahan, serta memastikan bahwa pernikahan tersebut dilangsungkan sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa mengesampingkan keberagamaan keyakinan agama. Menurut saya menyikapi kebutuhan non muslim dalam layanan agama itu perlu dengan salah satu langkah awal yaitu dengan memahami dan menghormati perbedaan kepercayaan serta praktik keagamaan mereka. Hal ini membutuhkan pendekatan yang terbuka dan penerimaan terhadap keberagaman, serta kesediaan untuk belajar dan memahami kebutuhan spiritual yang berbeda.

Selain itu, penting bagi lembaga agama, termasuk Kantor Urusan Agama (KUA) untuk memastikan bahwa layanan agama yang disediakan dapat di akses oleh semua warga, tanpa memandang agama yang dianut. Hal ini mencangkup penyediaan informasi, bimbingan, dan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan non-Muslim, serta memastikan bahwa proses administrasi pernikahan, penceraian, dan layanan keagamaan lainnya dapat diakses dengan mudah oleh non-Muslim.

Terakhir, penting untuk mengingat bahwa inklusivitas dalam layanan agama tidak hanya memberi manfaat bagi non-Muslim, tetapi juga memperkuat keharmonisan dan kerukunan antarumat beragam. Dengan menyikapi kebutuhan non-Muslim dalam layanan agama secara inklusif, kita juga membangun fondasi untuk masyarakat yang lebih toleran, menghormati, dan saling mendukung, sesuai dengan semangat kebhinekaan yang merupakan salah satu aset berharga bangsa Indonesia.

Baca Juga :  Kepopuleran Lagu APT di Semua Generasi

Kantor Urusan Agama (KUA) mempunyai sejarah yang panjang di Indonesia, sejak berdirinya lembaga penghulu, bahkan sebelum indonesia merdeka pada tahun 1945. Khususnya, Hadratussyeikh KH Hasyim Asy`ari tercatat sebagai penghulu sebelum kemerdekaan. Lembaga penghulu ini kemudian menjelma menjadi Kementrian agama. KUA didirikan pada bulan Maret 1942, setelah pendudukan militer Jepang di Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama Shumubu. Shumubu merupakan departemen independen yang menangani urusan keagamaan, dibentuk dan dipimpin oleh Kolonel Horie dengan penasihat Dr.Karim Amroellah yang baru saja keluar dari pengasingan di Sukabumi.

Menurut Menteri Yaqut Cholil Qoumas, KUA bermula ketika kesultanan Mataram menunjuk seseorang yang mempunyai tugas dan wewenang khusus di bidang penghulu. Sejarah KUA dimulai pada masa pra kemerdekaan, awalnya sebagai lembaga penghulu. Padahal, lembaga penghulu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945, kata Mentri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Oleh karena itu, KUA mempunyai akar yang kuat dalam sejarah Indonesia setelah kemerdekaan. Di Indonesia, Kantor Urusan Agama (KUA) bertanggung jawab untuk mencatat pernikahan bagi umat Islam, sedangkan non-Muslim wajib mendaftarkan pernikahan mereka di Kantor Pencatatan Sipil (Kantor Catatan Sipil).

Pembagian tanggung jawab ini berdasarkan hukum di Indonesia, khususnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah yang berlaku sejak zaman penjajahan Belanda dan tidak berubah. Peran KUA dalam pencatatan perkawinan khusus bagi pasangan yang beragama Islam, sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum dan kepercayaan masing-masing. Agama atau keyakinan. Artinya KUA fokus pada pencatatan perkawinan yang di lakukan menurut syariat Islam, sedangkan perkawinan beda agama dicatat diKantor Sipil.

Baca Juga :  Baznas Kirim Bantuan Kemanusiaan 12 Kontainer untuk Palestina

Menteri agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut mengatakan bahwa mulai tahun 2024 ini Kantor Urusan Agama (KUA) akan menjadi tempat pernikahan untuk seluruh agama. Hal itu dikatakannya pada Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam di Jakarta, Sabtu (24/2/2024). Namun usulan dari Gus Yakut di kritik oleh Hidayat Nur Wahid selaku Wakil Ketua MPR-RI sekaligus anggota DPR-RI Komisi VIII yang diantaranya membidang urusan agama, beliau mengatakan “rencana tersebut tidak sejalan dengan sejarah, filosofi KUA di Indonesia, aturan yang berlaku termasuk amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan berpotensi menimbulkan permasalahan sosial dan psikologis di kalangan non-Muslim, serta inefisiensi prosedur. “ Beliau juga menegaskan, faktor sejarah terkait pembagian pencatatan nikah patut menjadi acuan agar niat baik Mentri Agama tidak melewati batas.” dikatakan oleh Hidayat Nur Wahid.

Dengan demikian, peran KUA dalam memayungi pernikahan lintas keyakinan atau agama tidak hanya sekedar menjadi proses administratif, tetapi juga menjadi simbol dari semangat keberagamaan, harmoni, toleransi yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia, bertindak sebagai pengayom lintas keyakinan dan juga sebagai perwakilan dari pemerintah yang berkomitmen untuk memastikan bahwa hak-hak setiap individu dalam menjalani kehidupan berumah tangga dihormati dan dilindungi. Melalui pendekatan yang inklusif dan penuh kearifan, KUA menjadi mitra yang dapat dipercaya bagi pasangan lintas keyakinan dalam melangkah ke jenjang pernikahan, sambil tetap menghormati dan memuliakan keberagaman keyakinan agama yang ada.[]

Pengirim :
Rahmila Nurul Izzani Fajri, Mahasiswa Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah UIN K.H. Abdurahman Wahid Pekalongan, email : izzaninurul7@gmail.com

banner 300250