Indonesia tengah memasuki tahun-tahun politiknya. Tak terasa sebentar lagi warga Indonesia akan turut merayakan pesta demokrasi Pemilu Presiden 2024. Dalam pemilu kali ini, terdapat sedikit perbedaan dari pemilu-pemilu sebelumnya jika ditinjau dari segi pemilih. Pemilih muda akan memegang peran penting dalam Pemilu 2024 ini.
Menurut data yang dikemukakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024 sebesar 204.807.222 jiwa. Dari jumlah kurang lebih 55-60% diantaranya merupakan pemilih muda atau sekitar 106.358.447 jiwa.
Data dari Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) mengatakan bahwa generasi milenial yang lahir pada periode 1981-1996 menjadi pemegang suara terbesar sebanyak 33%. Generasi X kelahiran tahun 1965-1980 akan menjadi pemilih dengan jumlah suara terbesar kedua yaitu sebanyak 28%.
Sementara, generasi Z yang terhitung lahir pada tahun 1997-2012 akan memegang peranan dalam pemilihan sebanyak 23% suara. Generasi Baby Boomer kelahiran era 1946-1964 memiliki pengaruh sebanyak 14% suara. Generasi Pre-Boomer yang lahir sebelum tahun 1945 menjadi pemilih terkecil dengan persentase hanya 2%.
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa generasi muda menjadi generasi yang paling menentukan siapa yang akan maju menjadi presiden Indonesia selanjutnya. Fakta ini menjadikan suara generasi muda menjadi sasaran utama yang menggiurkan untuk diperebutkan.
Masing-masing tim kampanye dari tiap-tiap pasangan calon nampaknya harus lebih kreatif dalam menarik suara kaum muda. Karena pada saat ini, kaum muda dinilai kurang tertarik dengan cara kampanye klasik dengan pemasangan spanduk-spanduk yang berada di sepanjang jalan. Tak sedikit kaum muda yang beranggapan bahwa pemasangan spanduk hanya akan merusak estetika dan mengganggu pemandangan kota. Sehingga cara klasik tersebut dinilai kurang efektif untuk menarik suara kaum muda.
Lalu bagaimana cara terbaik untuk menarik suara kaum muda?
Menurut survei Status Literasi Digital Indonesia pada 2022 yang dilakukan Kominfo, dikatakan bahwa gabungan generasi Y dan Z menggunakan internet lebih dari 6 jam per hari. Hal ini dapat menjadi peluang bagi masing-masing paslon untuk menggunakan platform media sosial guna menyebarluaskan informasi agar dapat menarik simpati kaum muda.
Di era sekarang, media sosial memegang peranan utama dalam penyebarluasan informasi mengenai Pemilu 2024.
Dan benar saja, hal ini terbukti dengan ramainya anak muda yang mulai melek terhadap politik yang sampai kepada mereka melalui jalur media sosial. Anak muda memiliki akses yang lebih cepat menuju informasi-informasi yang berkaitan dengan Pemilu 2024. Bahan dan materi kampanye pun dibuat semenarik dan sesimpel mungkin guna menyasar kaum muda sebagai target pasarnya.
Bahan kampanye juga dikemas dalam trend-trend yang kemudian terasa akrab dan menyenangkan bagi kaum muda.
Namun dibalik dampak positifnya, terdapat pula dampak negatif dari besarnya pengaruh media sosial terhadap Pemilu 2024. Dari kemudahan akses yang didapat terhadap informasi ini, pada akhirnya menciptakan chaos di media sosial. Rasa fanatisme yang tinggi terhadap salah satu paslon menciptakan pergesekan antara pendukung satu dan lainnya.
Aksi adu argumen dan perang kata-kata menjadi hal yang kerap kali kita temukan di berbagai media sosial. Hal semacam ini dapat dikenal dengan istilah puber politik. Dimana seseorang cenderung menggunakan emosi dan teguh pendirian akan suatu hal yang ia percayai dalam konteks politik. Namun, walaupun menimbulkan kegaduhan, ternyata fenomena puber politik ini bisa kita pandang pula dari sisi positif, dimana artinya telah banyak kaum muda yang peduli terhadap politik di negaranya. Selain itu juga, perdebatan pendapat yang terjadi menandakan bahwa demokrasi kita masih terlaksana dengan sebagaimana mestinya, tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
Selain kekacauan yang terjadi di media sosial tersebut, dampak negatif lainnya adalah disinformasi dan masifnya penyebaran hoax melalui media sosial. Tentunya hal ini dapat berakibat fatal terhadap kefaktualan informasi yang didapatkan, terutama bagi first voter yang dapat kita asumsikan sebagai pemula dalam pemilu kali ini.
Maka dari itu, pencegahan dari dampak negatif tersebut perlu untuk dilakukan dengan cara menjaga etika dalam bermedia sosial, melakukan cross check terhadap informasi yang didapat, serta memperbanyak sumber bacaan agar tidak terpaku oleh satu sumber guna menghindari penyebaran hoax.
Generasi muda merupakan penentu dalam pemilu kali ini, sudah saatnya anak muda bijak dalam memilih, untuk Indonesia yang jauh lebih baik kedepannya.[]
Pengirim :
Mumtaz Azzahra, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, email : 0812585346XX