Perilaku Konsumsi dalam Kacamata Syariah

Oleh: Prasetyo Hestina Anggraeni*

Manusia hakikatnya adalah homo economicus yang berarti manusia ekonomi. Dari pengertian ini berarti manusia dalam kesehariannya tidak pernah tidak menjalankan roda ekonomi baik sebagai produsen, distributor, maupun konsumen untuk memenuhi kebutuhan. Kegiatan memenuhi kebutuhan ini disebut dengan konsumsi. Atau lebih lengkapnya, konsumsi merupakan kegiatan yang bertujuan megurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda baik itu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Al-Ghozali, konsumsi ialah penggunaan barang atau jasa dalam upaya pemenuhan kebutuhan melalui bekerja yang wajib dituntut untuk meraih maslahah.

Maslahah adalah sifat dari barang atau jasa yang mampu mendukung menusia mewujudkan lima elemen dasar yakni agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Atau dalam kata lain, maslahah merupakan gabungan dari dua manfaat yaitu manfaat lahiriyah dan berkah. Dalam ekonomi Islam memenuhi kebutuhan harus mengutamakan maslahah dan berkah, bukan hanya menggunakan standar kepuasan atau utility saja. Tidak hanya berlaku untuk pangan, tetapi semua komoditi yang dikonsumsi atau dibeli ada batasannya dan harus mendatangkan maslahah.

Larangan-larangan dalam Islam terkait konsumsi tidak diberikan tanpa sebab, karena kesalahan dalam mengkonsumsi bisa mendatangkan keburukan bagi konsumen dan sekitarnya. Misalnya larangan Allah untuk mengkonsumsi khamr dapat dibuktikan dengan sains. Kendati bermanfaat, tetapi madharat atau efek buruk dari khamr jauh lebih besar. Atau contoh lainnya Allah melarang untuk membelanjakan uangnya berlebihan karena selain pemborosan juga dapat menyebabkan kelangkaan barang yang akan merugikan orang lain dan membuat kekacauan ekonomi.

Pada dasarnya, memahami perilaku konsumsi dan menghindari konsumtif dalam Islam yaitu tidak hanya dengan mengetahui apa saja yang dilarang dan apa saja yang dianjurkan. Tetapi juga harus memahami konsep moderat dalam pola berkonsumsi yang selalu menjunjung dan mementingkan nilai kebersamaan dengan konsumen muslim lain. Juga harus bisa memilah mana yang lebih diprioritaskan, dan melihat konsumsi mana yang mendatangkan keberkahan. Serba-serbi terkait kosumsi ini sebenarnya sudah Allah cantumkan dalam al-Qur’an untuk manusia pahami dan amalkan. Lalu seperti apakah ayat-ayat yang mengatur perihal konsumsi?

Baca Juga :  Gali Informasi Stunting, KKN Gentingsari Hadirkan Tiga Kepala Dusun

Tafsir
Al-A’raf ayat 31 dan 32 : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam keidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”

Maksud dari al-A’raf ayat 31-32 ini adalah agar manusia mengkonsumsi sesuai kebutuhan, tidak berlebihan baik dalam kuantitas maupun kemewahan. Masjid pada ayat tersebut dapat diartikan sebagai masjid tempat beribadah, maupun diartikan dalam artian luas yaitu bumi Allah. Mengkonsumsi yang tidak berlebihan bukan berarti harus sedikit, akan tetapi di tengah-tengah atau sesuai dengan kebutuhan dan tidak mengikuti hawa nafsu. Karena Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Pada ayat 32 Allah menegaskan bahwa kaum musyrikin suka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan mengatasnamakan-Nya.

Al-Furqan ayat 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”

Dalam surat al-Furqan ayat 67 orang mukmin digambarkan sebagai orang yang tidak membelajakan hartanya secara berlebihan hingga menimbulkan keburukan, dan orang yang mempertahankan keseimbangan serta keadilan di antara sikap-sikap ekstrem tersebut. Contoh dari sikap berlebihan yaitu panic buying atau membeli barang dengan jumlah banyak karena takut tidak bisa mendapatkan lagi di lain hari yang dapat mengakibatkan kelangkaan. Atau mengenakan barang-barang mewah di antara teman-temannya yang berpenampilan sederhana, hal ini hanya diperbolehkan jika memang tidak ada pakaian lain yang ia miliki.

Baca Juga :  Mengapa Kita Membutuhkan Guru Bimbingan Konseling?

Al-Baqarah ayat 168: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengkuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki pada seluruh makhluk-Nya. Dan Allah menyerukan pada manusia untuk menikmati makanan yang halal dan baik (halalan tayyiban) serta menjauhi makanan yang buruk dan menjijikkan. []

*Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung

banner 300250