Perkuliahan Daring : Solusi atau Pelarian?

Oleh : Boy Silaban*

Perkuliahan online bukanlah sebuah sistem baru dalam dunia pendidikan, melainkan suatu sistem yang telah ada dengan beriringnya perkembangan dunia teknologi. Dunia boleh saja berbicara bahwa semua lini kehidupan telah diwarnai dan harus beradaptasi dengan teknologi. Akan tetapi,fakta di lapangan berbicara lain. Salah satunya adalah sistem pendidikan yang dianjurkan dan diharapkan dengan media digital atau daring masih sangat minimalis di Indonesia. Perkuliahan daring tidak hanya memvirtualkan bahan pengajaran,tetapi juga soal fasilitas dan penetrasi jaringan internet. Selain itu, kemampuan para dosen dalam memberikan materinya dan daya tangkap mahasiswa lewat daring.

Perkuliahan online atau daring menjadi alternatif yang kian membias di tengah merebaknya virus corona. Pandemic ini menuntut semua lembaga, tanpa pengecualian untuk menggunakan sarana media digital dalam kegiatan belajarnya semaksimal mungkin. Berbagai universitas berlomba-lomba menelisik cara-cara yang efektif dalam mentransmisikan sistem pengajarannya. Perkembangan teknologi yang kian canggih mengakomodasi dan memobilisasi sistem perkuliahan ini.

Akan tetapi, ada saja kerentanan dalam penerapan sistem perkuliahan darurat yang ada. Penetrasi jaringan internet yang belum merata ke semua daerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019, tingkat penetrasi internet di pedesaan rata-rata 51,91 persen,di perkotaan pun rata 78,08 persen. Hal ini menunjukkan kualitas jaringan yang rendah dan berdampak pada proses perkuliahan yang “lola” (loading lambat).Efektivitas dan mutu perkuliahan menjadi rendah dan sukar untuk dipahami dengan cepat.

Kepemilikan media sosial yang standar dengan penerapan daring. Kepemilikan media pembelajaran jarak jauh juga masih sangat kurang. Tentunya media atau sarana menjadi penentu.Jika masih sangat kurang, bahkan tidak ada akan tidak tercapainya sistem daring. Media bisa menjadi tolak ukur sejauh mana perkuliahan online dinyatakan masih minim atau telah maksimal.

Selain itu, kegagapan para dosen dan mahasiswa dalam mengakses daring. Bisa saja jaringan dan fasilitas lengkap, tetapi kemampuan kedua belah-pihak sangat dan hal amat sangat ini berpengaruh dalam penerapan sistem daring. Kegagapan dari keduanya atau salah satu dari keduanya akan membuat kecanduan minimalis daring tak terobati. Kerentanan-kerentanan ini yang menghadirkan berbagai potretan ketidakpuasaan dan ketidakefektivan dari sistem daring darurat selama pandemic Covid-19. Dengan demikian,perkuliahan daring di tengah pandemi ini adalah sebuah solusi ataukah pelarian semata?

Baca Juga :  Efektivitas SEA Games 2023

Belajar dari (di) Rumah: “Solusi atau Pelarian?”Institusi pendidikan dinilai sebagai salah satu sektor yang cepat menanggapi gelombang penyebaran virus corona. Institusi pendidikan membuat reaksi cepat karena dinilai potensial meningkatkan penyebaran. Sekolah-sekolah dengan basis jumlah murid yang cukup banyak sangat berpengaruh terhadap proses penyebaran Covid-19. Selain sekolahsekolah, universitas-universitas pun ditutup untuk sementara. Perkuliahan dialihkan ke rumah.Semuanya pun berlangsung dari rumah. Proses belajar-mengajar akhirnya tersendat mengingat metode distribusi pengetahuan dirasa kurang optimal dan memadai. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun menerapkan kebijakan sistem belajar dari rumah.

Belajar dari rumah membuat slogan merdeka belajar semakin kelihatan. Apa maksud merdeka dalam konteks belajar dari rumah? Dari fenomena dan kesan umum yang terlihat, proses belajar justru di luar kendali. Belajar dari rumah untuk konteks pelajar SD-SMA adalah liburan. Kita tidak bisa menyangkal bahwa efektivitas kegiatan belajar dengan pantuan jarak jauh oleh para pendidik dan bimbingan langsung dari orangtua hanya berlangsung di pekan awal. Berada di rumah selama pandemi diharapkan tetap produkif dalam belajar. Akan tetapi, kadang-kadang orang justru merasa bebas-merdeka untuk belajar. Dalam hal ini, ia menerapkan prinsip “semau gue. ”Belajar dari rumah adalah sebuah tameng yang dipakai untuk menahan tuduhan bahwa selama Covid-19 sistem pendidikan vakum.

Pada jenjang yang lebih tinggi, seperti Perguruan Tinggi (PT), kebijakan belajar dari rumah ditopang kuat dengan optimalisasi penggunaan sarana teknologi komunikasi. Dari sini kemudian kita mengenal istilah “belajar online. ”Sistem belajar ini diperkuat lagi dengan istilah “e-learning. ”Mekanismenya pun sepenuhnya diberikan kepada teknologi. Kuliah online dengan aplikasi “video-conference,” penilaian dan pengiriman tugas dengan sistem online, hingga absensi kehadiran juga dilakukan dengan sistem virtual-online. Dalam sistem belajar berbasis online ini mengandaikan bahwa semua peserta didik dan pendidik paham tentang teknologi dan fitur-fitur yang dioperasikan. Jika tidak, masalah baru muncul karena ignorance dalam proses belajar.

Baca Juga :  Peran Edukasi Cryptocurrency dalam Pendidikan Tinggi: Membekali Mahasiswa untuk Masa Depan Digital

Selama pandemi, pendidikan terasa adanya leap terhitung sejak awal akhir Februari 2020. Pasca instruksi pemerintah untuk belajar dari rumah, bekerja dari rumah, ataupun beribadah dari rumah dan lain sebagainya membuat situasi di Indonesia menjadi beda. Hal ini juga berdampak dalam proses pendidikan. Bagaimana tidak, hampir 100% aktivitas kerja dan sekolah dilakukan dari (di) rumah. Dengan fenomena ini teknologi menjadi penguasa yang membius mata masyarakat. Serba-serbi kehidupan diwarnai oleh dunia online. Absensi, materi pembelajaran, tugas, kuis, ulangan harian, dan berbagai ujian dilakukan dari (di) rumah via beragam aplikasi yang ada dalam jasa daring. Dengan adanya sistem ini seolah semua orang telah pandai dengan sistem daring.

Akan tetapi, fenomena di lapangan mengafirmasi adanya kendala yang tak terelakkan. Hal ini disebabkan oleh ‘dosa’ masa lalu proses pendidikan Indonesia, masih menjadi momok mematikan bagi proses pembelajaran daring. Kita perlu menyadari bahwa tidak semua mahasiswa berasal dari keluarga kelas menengah ke atas. Tidak semua mahasiswa dan pengajar di Indonesia menikmati proses ‘milenial’ ini. Tidak semua mereka memiliki gawai dan laptop. Ada yang punya tetapi susah untuk mendapatkan akses internet.Bahkan di daerah tertentu tidak ditemukan jaringan internet. Ada yang tidak memiliki dua-duanya.

Selain itu,kapabilitas dan kreativitas para dosen adalah salah satu tuntutan terbesar dalam sistem perkuliahan daring atau jarak jauh di satu sisi. Di lain sisi, ketekunan,keseriusan mahasiswa menjadi tuntutan lain.Akan tetapi keduanya tidak terlepas dari jaringan atau koneksi. Hal ini tentunya menjadi salah satu faktor penentu dalam pelaksaan perkuliahan online. Sistem ini sebenarnya sebuah peralihan metode face to face (jarak dekat) ke metode screen to screen (jarak jauh). Dasarnya adalah ketersediaan semua informasi yang relevan secara real time melalui jaringan dengan menghubungkan orang, benda dan sistem dioptimalkan, terorganisir secara mandiri dan penciptaan nilai lintas jaringan yang dapat sesuai dengan berbagai kriteria seperti biaya,ketersediaan dan sumber daya. Tentunya sistem ini mempunyai visi yang sangat membantu mahasiswa dan pengajar dalam keadaan apa pun dan di mana pun tetap bisa melaksanakan perkuliahan.

Baca Juga :  Apa Kabar Dunia Hari Ini?

Lalu,seberapa efektif model pembelajaran online ini berpengaruh bagi proses belajar para peserta didik atau mahasiswa?Dari fenomena yang terlihat, intensitas ketertarikan peserta didik dalam mengikuti kuliah online sangat kecil. Bahkan, kebanyakan menciptakan kejenuhan dalam proses belajar. Beberapa mahasiswa merasa kehilangan momen perjumpaan langsung dengan dosen-dosen favorit. Seperti tak ada yang dipelajari selama semester ini. Ini reaksi-reaksi spontan yang disampaikan mahasiswa terkait sistem belajar virtual-online.

Intensitas ketertarikan pada sistem belajar online tentunya membuat seseorang tidak produktif dan memilih absen. Padahal,kehadiran (presence) merupakan salah satu tolak ukur dalam membantu proses internalisasi pendidikan dalam kegiatan belajar. Dari sharing banyak mahasiswa, kebanyakan telah memilih pulang kampung dan berlibur. Tak ada kuliah. Kuliah memberatkan karena memerlukan data dan harus mencari tempat baik agar terkoneksi. Kuliah online dengan kata lain menambah beban perkuliahan karena harus membeli data agar bisa masuk dalam kelas video-conference dan mendownload-upload tugas perkuliahan.

Hemat penulis,sistem perkuliahan daring di tengah pandemi adalah sebuah solusi dan sekaligus pelarian. Mengapa demikian? Dapat dikatakan solusi jika pihak universitas atau fakultas telah memberikan input dan praktik skill dalam penetrasi berbagai fasilitas “elearning”. Pemantapan dalam soal fasilitas dan skill para pengajar menjadi salah satu standar penting dalam perkuliahan daring. Sementara di lain sisi, dapat dikatakan sebagai pelarian jika proses perkuliahan yang terjadi dalam kebingugan, entah karena sarana maupun skill minimalis dari para dosen.

Hal ini diafirmasi oleh banyaknya keluhan dari mahasiswa. Perkuliahan online hanyalah judul belaka. Banyak dosen kebingungan, dalam waktu singkat harus mempelajari macam-macam sarana pembelajaran daring. Karena tuntutan segera melanjutkan proses pembelajaran, metode ralat dan galat (trial and error) terpaksa di terapkan. Dan yang terjadi adalah para pengajar hanya dan selalu memberikan tugas online setiap kali jam pelajarannya, tanpa mengadakan tatap muka dengan menggunakan berbagai aplikasi yang ada.[]

*Penulis berdomisili di Desa Lumban Holbung Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, email : boysilaban12032003@gmail.com

banner 300250