Persoalan Kelompok Kriminal Bersenjata Papua yang Tak Kunjung Usai

Oleh : Fikri Miftakhul Azka*

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) hingga saat ini masih menjadi momok tersendiri bagi masyarakat yang berada di Papua. Aksi-aksi teror berupa kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil yang tidak berdosa, maupun perusakan fasilitas publik masih terus terjadi hingga saat ini tanpa bisa dicegah atau diantisipasi oleh aparat keamanan. Kelompok ini diduga berlokasi di wilayah Kabupaten Puncak,Nduga,Paniai,Intan Jaya dan Mimika.

Menteri Koordinator Bidang Politik,Hukum,dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut,masifnya pembunuhan dan kekerasan menjadi alasan pemerintah menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai organisasi teroris.

Aksi kekejaman KKB tersebut menuai tanggapan berbagai pihak. Salah satunya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga yang mengecam penyerangan KKB pada nakes. Menurut dia, negara harus hadir dan menggunakan kekuatan yang diperlukan untuk mengeliminasi semua potensi ancaman terhadap warga Papua demi tegaknya hak asasi dan keadilan sosial di Papua.

“Masyarakat khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan harus mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak untuk dapat hidup aman, bebas dari segala aksi kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa. Karena tidak boleh ada toleransi sekecil apapun terhadap segala bentuk kekerasan dan kita harus bebas dari segala bentuk diskriminasi,” ujar Menteri Bintang melalui siaran pers di Jakarta, Senin (20/9/2021).

Baca Juga :  KKB Tembak Anggota Paskhas TNI-AU, Bandara Aminggaru Ditutup Sementara

Hingga saat ini kekerasan dan pembunuhan oleh KKB masih terus berlanjut, kabar terbaru KKB menembak 8 pekerja PT Palaparing Timur Telematika (PPT) di Distrik Beoga Kabupaten Puncak,Papua.

Keberadaan KKB ini seperti melebur dan menyatu dengan kehidupan sosial masyarakat di tanah papua.Hal tersebut yang menyulitkan aparat keamanan untuk memberantas kelompok tersebut. Pengamat Intelijen Ridwan Habib menjelaskan,setidaknya ada tiga hal yang membuat KKB di Papua sulit untuk ditumpas. Salah satunya dikarenakan adanya faktor taktikal geografis yang lebih sulit dan menantang ketimbang faktor KKB itu sendiri. Faktor berikutnya,menurut Ridwan,yakni masih adanya “Perlindungan” yang diberikan oknum tokoh-tokoh lokal setempat kepada anggota KKB.

Anggota KKB diberikan tempat berlindung di wilayah-wilayah adat sehingga hal itu memberikan perlindungan ketika mereka tengah dikejar oleh aparat keamanan. Ketiga adalah faktor koordinasi antar lintas tim yang ikut bergerak Bersama-sama melawan KKB.

Menurut Ridwan,ada banyak tim atau unsur yang ikut dilibatkan dalam memberantas kelompok tersebut,seperti TNI,POLRI,BIN,dan satuan tugas lokal dari Kodam setempat.

Baca Juga :  Pencemaran Air Limbah, Penyebab dan Dampaknya bagi Manusia

Mengapa KKB masih hidup dan kerap melakukan kekerasan terhadap warga sipil bahkan tak sungkan membunuh warga sipil,termasuk aparat keamanan?Pertanyaan ini penting untuk dijawab agar perlahan terungkap apa motif di balik aksi kekerasan KKB dapat terurai demi menjaga ketertiban dan keamanan di tanah Papua. Sehingga pemerintah dan masyarakat leluasa menyelesaikan berbagai agenda percepatan pembangunan yang berada di daerah-daerah yang sebelumnya terjadi konflik tanpa adanya ancaman.

Pertama yang harus dilakukan adalah Presiden Jokowi perlu menggelar dialog yang melibatkan semua unsur-unsur yang terkait dalam persoalan tersebut antara lain Kementerian yang terkait, Gubernur Papua, Bupati, Kapolda, Kapolres dan para tokoh masyarakat,pemimpin agama,tokoh pemuda,dan DPRP serta DPRD untuk duduk satu meja mencari format ideal penyelesaian akar konflik agar persoalan tersebut tak berlarut-larut melanda Papua.

Kedua, Memperbaiki komunikasi antarsejumlah elemen baik pemerintah maupun dan aparat keamanan. Ketiga, Evaluasi seacara menyeluruh pelaksanaan UU.No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua guna mengetahui sejauhmana efektivitas otonomi khusus di tingkat bawah.

Baca Juga :  Indonesia di Tengah Krisis: Menghadapi Tantangan Pemecahan Negara

Evaluasi itu bertujuan juga mendeteksi berbagai kekurangan sekaligus mencari format baru yang lebih efisien,termasuk mempertimbangkan alokasi dana otonomi khusus dan mekanisme pengawasannya yang melibatkan masyarakat paling bawah. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua sejak diberlakukannya otonomi khusus yang sudah berjalan selama 14 tahun. ternyata belum mampu mensejahterakan rakyat Papua dengan baik, padahal dengan sumber kekayaan alam yang melimpah seharusnya Papua mampu untuk meningkatkan infrastruktur dan kesejahteraan rakyat. Sejak tahun 2001 pemberian dana dalam rangka otonomi khusus sudah mencapai Rp. 28 triliun diluar dana pertimbangan lainnya, namun begitu belum memberikan dampak perubahan yang signifikan di tanah Papua atas dana yang sebanyak itu.

Terjadinya kekerasan dan pembunuhan yang masih terus dilakukan oleh KKB hingga saat ini terlihat jelas bahwa pemerintah perlu mengubah cara pendekatan agar konflik bersenjata ini segera teratasi. Persoalan ini dapat terselesaikan jika pemerintah beserta aparat negara dan masyarakat saling berkomitmen dan bergerak secara progresif dalam menyelesaikan konflik. Solidaritas merupakan modal utama menyelesaikan konflik Papua.[]

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : fikriaska221@gmail.com

banner 300250