Perundungan di Sekolah dan Dampak Psikologis Bagi Korban

Kasus perundungan marak timbul dalam berbagai media akhir-akhir ini dan apa sekiranya peran daripada pihak sekolah dan orangtua? Bagaimana dampaknya terhadap psikologis para korban? Sekolah kerap kali mengabaikan perundungan yang dialami oleh siswanya dan tidak memberikan ruang aman bagi korban tersebut untuk berlindung, sehingga para korban tidak merasa nyaman dan aman berada di sekolah dan akibatnya tidak bisa menikmati kegiatan belajar di kelas.

Kasus perundungan marak terungkap dan beberapa penyebabnya ialah kurangnya pendidikan moral dan akhlak, minimnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak, dan juga rendahnya kepedulian dan empati guru kepada para siswa. Kurangnya Pendidikan moral dan akhlak membuat anak-anak menjadi tidak mawas akan batasan dalam bercanda, kepedulian terhadap sekitar, dan pentingnya rasa empati. Minimnya pengawasan orang tua terhadap anak rawan menjerumuskan anak ke dalam pergaulan bebas. Rendahnya kepedulian terhadap guru terhadap siswa juga berakibat pada perilaku siswanya, yakni mereka akan cenderung berbuat semena-mena terhadap lingkungan sekitarnya.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, siswa SD di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang menjadi korban perundungan yang dilakukan oleh kakak kelasnya. Mirisnya, siswa SD tersebut sampai jatuh koma dan aktivitas ini ternyata sudah dilakukan selama satu tahun terakhir, sejak korban masih kelas satu hingga naik ke kelas dua. Orangtua korban mengaku bahwa sang anak tidak pernah melaporkan kejadian yang dialami kepada mereka.

Dari kejadian tersebut, korban perundungan tidak hanya mengalami luka pada bagian fisik, namun juga secara psikis. Korban perundungan biasanya membutuhkan rentang waktu yang relatif lama untuk sembuh dari traumanya. Meski sudah berada dalam lingkungan yang ‘sehat’ dan mendukung, tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan dan rasa aman bagi korban perundungan seperti semula. Dampak psikologis lain yang dialami oleh korban perundungan yaitu kurangnya rasa percaya diri dan kurangnya kemampuan bersosialisasi dalam masyarakat. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan kehidupan korban di masa depan.

Lalu apa peran pihak sekolah dalam kasus ini? Apakah sudah cukup membantu? Bagaimana cara pihak sekolah agar memastikan kasus perundungan tidak terjadi lagi? Sepatutnya, pihak sekolah sudah mengajarkan nilai-nilai agama, norma, dan akhlak disamping pembelajaran akademis. Membentuk kepribadian anak tidak hanya dilakukan oleh orangtua saja, guru setidaknya juga ikut berperan dalam mengembangkan sikap emosional, empati, cara berperilaku pada anak, dan mengembangkan sikap peduli terhadap sekitar.

Tidak hanya itu, pihak sekolah dan masyarakat juga harus berani untuk memberikan sanksi sosial kepada pelaku perundungan. Jika hukuman dari pihak sekolah sekiranya belum cukup untuk menyadarkan pelaku, maka masyarakat lah yang bertindak. Cancel culture mungkin bisa menjadi salah satu cara.

Di Indonesia cancel culture merupakan istilah yang baru muncul sekitar tahun 2019. Cancel culture sering ditujukan kepada artis atau public figure, namun masyarakat umum juga berkesempatan untuk merasakan cancel culture. Cancel culture di Indonesia kebanyakan menyerang pelaku yang diduga melakukan pelecehan secara seksual atau tindakan yang melawan norma.

Seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Korea Selatan, mereka tidak segan untuk memberi sanksi sosial kepada pelaku perundungan baik kepada public figure maupun masyarakat biasa. Cancel culture tidak hanya berlaku pada individu saja, bisa juga melibatkan suatu instansi. Masyarakat Indonesia saat ini perlu menyadari pentingnya Cancel culture, karena beberapa pelaku perundungan dan pihak sekolah seringkali mengabaikan kasus seperti ini hingga mendapatkan kesan buruk di mata masyarakat.

Sementara korban perundungan masih diselimuti rasa takut, gelisah, dan trauma yang tak berkesudahan, pelaku perundungan justru menjalani hidup seolah mereka tak melakukan dosa di masa lalu. Secara tidak langsung mereka telah menghancurkan kehidupan orang lain. Sungguh realita yang mau sampai kapan kita terus-terusan tutup mata? Hanya karena bukan kita yang mengalami, bukan berarti peduli kia menjadi tuli. Dengan memberikan perhatian dan ruang nyaman bagi korban seharusnya cukup untuk sedikit membabtu dan menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk korban. Perhatian-perhatian kecil yang kita berikan bisa bermakna lebih. Memberikan senyum dan membuat mereka bangkit perlahan, melupakan rasa gelisah dan juga teror yang selama ini mereka rasakan. Mari tingkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap sesama, tidak ada salahnya berbuat baik untuk membantu kehidupan sesama agar lebih baik lagi.[]***

Pengirim :
Adinda Dian Salsa Sabila, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang, email : adindadiansabila@gmail.com