Pinjaman Online Meresahkan, Diberangus atau Dibina?

Oleh : Riskiyah Wulandari dan Farah Adiba*

Perkembangan dan pengaruh teknologi informasi saat ini berkembang sangat pesat di berbagai bidang, dan bahkan untuk melakukan semua hal serasa serba mudah. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah munculnya Financial Technology atau yang dikenal dengan fintech yang merupakan penggabungan antara teknologi dengan sistem finansial (keuangan) yang merupakan inovasi dibidang jasa keuangan.

Fintech memberikan pengaruh kepada masyarakat secara luas dengan memberikan akses terhadap produk keuangan secara cepat dan praktis, misalnya dalam hal permodalan, yang dulunya jika masyarakat sangat sulit mendapatkan pinjaman kini untuk mendapatkan pinjaman uang begitu mudah, salah satu yang memudahkan ialah adanya platform penyedia jasa pinjaman secara digital atau yang biasa disebut dengan pinjaman online (pinjol).

Pengajuan pinjaman secara online biasanya tidak memerlukan jaminan, hanya saja cukup dengan menyiapkan dokumen data diri dan mengisi formulir isian secara online, maka sudah bisa mengajukan dan proses verifikasinya juga cepat. Dengan adanya akses kemudahan tersebut, ternyata respon pasar juga meningkat. Sehingga beberapa perusahaan di bidang itu semakin banyak bermunculan dan baik yang legal dan yang illegal.

Dalam layanan pinjol ini biasanya menggunakan suatu platform/badan yang mana debitur nantinya dapat melakukan peminjaman uang dalam jangka waktu tertentu, dan debitur wajib untuk mengembalikan dengan jumlah yang dipinjam beserta bunga yang telah ditentukan, yang mana bunga dari pinjaman tersebut bervariasi, dari tingkat bunga yang kecil hingga dengan bunga yang sangat mencekik masyarakat. Hal tersebut menimbulkan permasalahan bagi pengguna pinjaman online terutama saat penagihan pembayaran.

Baca Juga :  Pinjaman Online di Kalangan Gen Z

Penagihan pinjol ini menjadi suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian banyak pihak, mengingat sudah bukan rahasia umum lagi bahwa dalam pinjol yang ilegal proses menagihnya terhadap debitur, biasanya melakukan pemaksaan atau pengancaman mulai dari pesan online hingga didatangi oleh debt collector yang tentunya dapat meresahkan si peminjam. Namun dibalik hal yang meresahkan tersebut, ada payung hukum yang dapat digunakan oleh peminjam apabila terjadi pengancaman atau bahkan terjadi kekerasan oleh si pemberi pinjaman.

Pada dasarnya dalam hukum pinjam meminjam telah diatur dalam BAB XII Buku KUH Perdata, pasal 1754 yang isinya : “pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menetukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat hais terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama”. dari pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu aktifitas terjadinya pemberian suatu barang dengan suatu perjanjian serta syarat dimana pihak kedua (yang meminjam) harus mengembalikan dengan jumlah barang yang sama dan jumlah yang sama. `

Adapun yang dimaksud adanya perjanjian diatas tentunya juga harus dilandaskan kepada KUH Perdata pasal 1320 yang berbunyi : “ Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat : 1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3) Suatu pokok persoalan tertentu 4)Suatu sebab yang tidak terlarang”.

Konstruksi dasar atas hukum peminjaman dan pembiayaan juga berkembang dalam studi hukum ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam pinjam-meminjam uang masuk ke dalam pembahasan fiqh muamalat persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi merupakan asas yang sangat penting untuk keabsahan setiap akad. Untuk mengetahui kepastian akad tersebut maka perlu adanya ijab dan kabul atau serah terima antara kedua pihak yang melakukan transaksi. Namun, bagaimana dengan sistem pinjol ini?

Baca Juga :  Antusias Siswa SD Dalam PTM Terbatas di Masa Pandemi

Apakah adanya payung hukum tersebut sudah benar-benar terelaisasi? Jawabannya tentu belum sepenuhnya terealisasi. Walaupun pengaturan dan pengawasan telah dilakukan melalui peraturan OJK No. 77/PJOK.01?2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, namun belum semua perusahaan pinjol yang terdaftar pada OJK tersebut, sehingga sampai saat ini masih terdapat pihak penyedia jasa layanan legal dan illegal (tidak terdaftar).

Dalam system hukum di Indonesia selain peraturan perundang-undangan juga terdapat Fatwa Dewan syariah nasional yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam fatwa dewan syariah nasional majelis ulama Indonesia no 117/DSN-MUI/IX/2018 tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah menjelaskan mengenai ketentuan terkait pedoman umum layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah.

Baca Juga :  Freelancing dalam Perspektif Eknomi Syariah: Meraih Kemakmuran dengan Prinsip Halal

Selain fatwa DSN-MUI, dalam pedoman perilaku pemberian layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi secara bertanggungjawab mengikuti pedoman yang telah disetujui dan disepakati oleh Asosiasi Fintech Indonesia dibawah OJK.

Dari apa yang dijelaskan, dapat kita pahami, pandangan fatwa DSN-MUI dalam peminjaman uang online melalui aplikasi financial teknologi itu diperbolehkan yang terpenting penyelenggara layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, yaitu antara lain terhindar dari riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, dan haram. Untuk akadnya juga memenuhi prinsip keseimbangan, keadilan, kewajaran sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta akad atau kontrak yang digunakan untuk pengumpulan dan penyaluran pembiayaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan aturan syariah.

Masyarakat perlu untuk berhati-hati dalam memilih layanan pinjaman online, apakah penyelenggara tersebut legal atau ilegal. Maka, perlu adanya ketelitian sebagai kunci utama untuk memberantas oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Penyelenggara pinjol tentu wajib hukumnya untuk melakukan pendaftaran kepada OJK, adapun masyarakat yang merasa dapat gangguan ataupun keresahan dari adanya pinjol illegal, maka mereka dapat melakukan pengaduan kepada OJK sesuai pasal 29 UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

*Penulis adalah mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Program Studi Perbankan Syariah 2020, email: (riskiyahwulandari51@gmail.com), (Faraadiba0@gmail.com)

banner 300250