Poligami dalam Perspektif Hukum Islam adalah sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri lebih dari satu orang. Dasar hukum poligami dapat dijumpai dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 4 (1) (2) Undang-Undang tahun 1974 yang menjelaskan alasan yang dapat dijadikan seorang suami untuk berpoligami dan pasal 57 KHI yang dimana Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari satu.
Pada dasarnya, jika istri pertama tidak menyetujui suami untuk menikah lagi, maka suami tidak dapat melakukan poligmi. Namun, dalam hal permohonan izin poligami diajukan ke Pengadilan Agama berdasarkan alasan yang sah menurut hukum, Pengadilan Agama dapat memberi izin setelah memeriksa dan mendengar keterangan dari istri yang bersangkutan.Dalam Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. AlQur’an membolehkan seorang suami memiliki hingga empat istri, namun dengan syarat suami harus dapat berlaku adil dan setara terhadap semua istri.
Poligami dalam Islam juga memiliki sejarah yang panjang, dengan Rasulullah SAW. berpoligami hanya dalam waktu sekitar 8 tahun, jauh lebih pendek daripada hidup bermonogami beliau. Ajaran Islam membolehkan pengikutnya melakukan poligmi dengan batasan jumlah sebanyak empat kali atau hanya empat istri. Namun, poligami juga memiliki kritik dan kontroversi, dengan beberapa orang berpendapat bahwa poligmi tidak dapat memenuhi syarat adil dan setara terhadap semua istri.
Poligami dalam pandangan masyarakat adat sering dianggap sebagai sesuatu yang kurang baik, walaupun agama tidak melarangnya dan memperbolehkannya. Poligmi terus bergulir di kalangan masyarakat Indonesia dengan kasus demi kasus terjadi di lingkungan kita dengan segala permasalahannya. Poligami didefinisikan sebagai menikah dengan lebih dari satu pasangan, dimana menikahi dalam waktu yang bersamaan, (waktu bersamaan dapat diartikan dalam satu tahun menikah lebih dari satu kali) namun harus dapat berlaku adil dan setara terhadap semua istri.
Masyarakat memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap poligami, ada yang pro dan ada yang kontra, dengan beberapa orang berpendapat bahwa poligami tidak dapat memenuhi syarat adil dan setara terhadap semua istri. Dasar hukum poligami dalam Islam dapat dijumpai dalam Surat Al-Nisa’ ayat 3 yang artinya ‘’ jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap ( hak-hak ) perempuan yatim ( bilamana kamu menikahinya ), nikahilah perempuan( lain ) yang kamu senangi : dua , tiga , atau empat.
Ayat ini menyatakan bahwa Allah menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan hartanya, melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan kamu pilihlah perempuan lain yang kamu senangi satu, dua, tiga, atau empat, dengan konsekuensi kamu memperlakukan istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu bermalam (giliran), nafkah, perumahan serta hal-hal yang lainnya. Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi pada dasarnya satu istri lebih baik.
Keadilan dalam polgami adalah syarat yang sangat penting dan sulit untuk dilakukan. Polgami hanya dibolehkan jika keadaan memaksa seperti tidak dapat hamil dan suami harus dapat berlaku adil terhadap semua istri. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang bersifat materialistis, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam pemberian nafkah lahir dan batin. Setiap istri berhak mendapatkan hak-haknya dari suami berupa kemesraan hubungan jiwa, dan nafkah berupa pakaian, makanan, tempat tinggal dan lain-lain.
Dalam poligmi, hak istri sama saja. Namun, perbedaan pendapat tentang konsep adil dalam poligami ini menarik untuk dikaji, terutama jika dilihat dari perspektif hukum Islam. Secara sosiologis, perbuatan poligami masih dipandang tabu bagi masyarakat Indonesia. Poligami merupakan masalah problematika tersendiri, krusial, dan kontroversional dalam masyarakat modern. Untuk melihat beberapa ketimpangan sosial dalam masyarakat diperlukan pembahasan yang lebih spesifik yang bisa diawali dari keluarga, individu, dan masyarakat secara umum.
Namun, kenyataannya yang terjadi dalam masyarakat, justru ketimpangan sosial itu dimulai dari dalam rumah tangga, diantaranya dengan melakukan pelaksanaan poligami yang tidak komunikatif, lebih jelasnya praktek poligami yang terjadi justru mengaburkan substansi tujuan dan prinsip-prinsip dasar dalam pernikahan. Secara garis besar dampak negatif poligami bersumber dari sulitnya mewujudkan keadilan antar istri sehingga dapat memiliki efek sulit membangun suasana keluarga tentram, bahagia, adil dan keluarga yang damai, yang berasal dari membangun keluarga Sakinah.
Lalu bagaimana jika seorang suami melakukan poligmi tanpa sepengetahuan istri? Hal tersebut bisa dijelaskan dengan pasal 4 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan poligami tanpa izin pengadilan tidak diakui negara dan tidak berkekuatan hukum. Bahkan, UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan poligami tanpa izin pengadilan dapat dibatalkan oleh pengadilan. Selain itu, akan ada sanksi pidana bagi orang yang melakukan poligami tanpa izin istri. Dalam hukum Islam, menikah tanpa adanya izin dari istri pertama itu sah asal semua rukun nikah terpenuhi. Namun, karena setiap hak semua warga negara Indonesia dilindungi, maka negara mengharuskan pernikahan kedua, ketiga, dan seterusnya harus ada izin tertulis dari istri pertama.[]
Pengirim :
Harvila Intan Nurmala Sari, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : harvilaintann@gmail.com