Politik Agama, Baik atau Buruk Bagi Indonesia?

Oleh : Ninda Nisari*

Indonesia, negara yang memiliki ragam kepercayaan dan agama. Dimulai dari Islam Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Semua itu disatukan menjadi satu kesatuan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Sayangnya, keberadaan agama tersebut mulai kehilangan jati dirinya ketika dicampuradukkan ke dalam dunia perpolitikkan. Agama yang seharusnya menjadi pedoman untuk memperoleh kedamaian hidup. Namun, semua tujuan itu berubah ketika sekelompok elite politik menggunakan agama sebagai ajang untuk mencapai suatu posisi kekuasaan. Bahkan tidak hanya satu atau dua kali dipraktikkan, melainkan sudah berulang kali.

Memang, keberadaan agama seringkali dipergunakan dalam politik. Bukan hanya di Indonesia, di luar negeri pun mengalami hal serupa. Sejak dahulu, agama menjadi sebuah landasan dalam berpolitik dimulai dari pembuatan kebijakan, aturan, ketatanegaraan, serta pemerintahan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal itu. Agama boleh saja ikut berpartisipasi dalam berpolitik, tetapi yang salah adalah jika politik berani menggunakan agama demi mencapai suatu kepentingan tertentu. Bukankah itu melanggar prinsip demokrasi yang kita sepakati?

Semakin ke sini perpolitikkan di Indonesia semakin runyam. Menggunakan agama sebagai kendaraan dalam berpolitik sudah menjadi hal yang biasa.

Inilah yang perlu dikhawatirkan. Karena agama yang sifatnya suci bisa ternodai begitu saja. Hingga pada akhirnya, muncullah persaingan politik yang tidak sehat dan menyebabkan berbagai konflik sosial di Indonesia.

Baca Juga :  Bukan Sekedar Ucapan Poster, Selamat Hari Guru

Konflik sosial yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh ajaran agama itu sendiri, melainkan adanya campur tangan dari elite politik yang ingin berkuasa. Karena mereka menganggap bahwa agama sangatlah menguntungkan.

Mengapa bisa menguntungkan? Karena sebagian masyarakat Indonesia terutama umat beragama masih memercayai bahwa seorang pemimpin haruslah yang seiman atau seagama dengannya. Sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh para elite politik untuk mengumpulkan suara rakyat.

Padahal jika ditelaah lebih dalam, agama tidak mengajarkan untuk tetap memilih yang seiman. Akan tetapi, yang agama ajarkan adalah untuk memilih calon pemimpin yang bijaksana dan amanah. Lalu apa yang menyebabkan masyarakat berpikir demikian? Jika boleh berpendapat, sebenarnya yang membuat masyarakat berpikir seperti itu karena para elite politik itu sendiri.

Para politisi menggunakan agama sebagai ajang mempromosikan dirinya agar mendapatkan kekuasaan yang diinginkan. Apa pun akan dilakukannya untuk menarik perhatian masyarakat. Walaupun demikian, kemungkinan besar itu akan menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat luas terutama konflik perpecahan.

Jadi, jangan sekali-kali salahkan agama jika timbul perpecahan, karena dalam agama tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Lalu siapa yang harus disalahkan? Ya itu tadi, para elite politik atau orang yang tidak bertanggung jawab yang melakukannya.

Jika kita lihat kembali terhadap pemilihan umum yang sudah diselenggarakan sebelum-sebelumnya, yang menggunakan unsur keagamaan dalam ajang mempromosikan calon pemimpin. Lalu apa yang kita dapatkan dari hasil tersebut sekarang? Apakah sistem pemerintahan sekarang menjadi lebih baik? Permasalahan-permasalahan yang terjadi dapat segera ditangani?

Baca Juga :  Evolusi Digital: Manusia atau Mesin yang Beradaptasi?

Jika memang agama itu dimanfaatkan dengan baik, pasti hasil yang diperoleh akan baik pula. Karena agama mengandung nilai moral yang berfungsi dalam mengatur tata kelola negara dan pemerintahan agar berjalan sesuai dengan cita-cita bangsa.

Dengan melihat kondisi sekarang ini, menurut saya pemerintah belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai agama dengan baik dalam berpolitik. Lihat saja masalah-masalah yang seharusnya berkurang, justru meningkat.

Contohnya kasus korupsi yang kian merajalela, menjerat para politisi dari kalangan menengah hingga atas. Artinya apa? Mereka telah gagal menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan politiknya. Mereka hanya menggunakan agama untuk mempermudah mendapatkan posisi kekuasaan, tetapi setelah mendapatkannya mereka langgar begitu saja.

Secara tidak sadar, kita sebagai rakyat merasa telah dibohongi. Para elite politik yang telah memberikan janji manis ternyata hingga sekarang tak kunjung berbuah manis. Awalnya kita yang percaya bahwa mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik, malah yang didapat sebaliknya.

Jadi sebenarnya yang saya tanyakan adalah “Apakah mereka yang menggunakan agama dalam berpolitik benar-benar bisa menjalankannya? Atau mereka menggunakan agama hanya sebagai hiasan belaka?”

Baca Juga :  Pentingnya Mengetahui Instrumen Teknik Tes

Oleh sebab itu, kita sebagai warga negara harus betul-betul dalam memilih calon pemimpin. Jika ingin memilih seorang pemimpin haruslah yang dapat diandalkan untuk melayani masyarakat. Bukan hanya sekadar omongan yang membawa kalimat-kalimat keagamaan saja. Namun juga perlu dibuktikan kebenarannya. Karena, memilih seorang pemimpin yang baik, sah, tegas, bersih, dan berpengalaman merupakan sebuah keharusan.

Negara kita, negara yang memiliki sistem politik demokrasi. Sudah seharusnya menghindari praktik-praktik politik yang dapat merugikan negara Indonesia. Apalagi politisasi agama, yang hanya akan menyebabkan timbulnya perpecahan dan ujaran kebencian.

Padahal agama di sini tidak ada kaitannya sama sekali. Akan tetapi, karena oknum elite politik telanjur menggunakan agama dalam berpolitik. Maka, nama agama tersebut ikut terbawa sehingga menciptakan citra buruk bagi agama yang bersangkutan.

Presiden Mesir pernah berkata: “Kalau agama dicampur dengan politik, maka politik rusak. Kalau politik dicampur agama maka agama rusak.”

Sejatinya, seseorang yang benar-benar religius dan taat agama tidak akan pernah berani memanfaatkan agama demi mencapai kepentingan politiknya. Orang yang taat agama sejatinya memfokuskan diri untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Bukan memfokuskan diri untuk mencapai kekuasaan.

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) – Banten.

banner 300250