Draf rancangan undang–undang Hukum Pidana (KUHP) baru saja disahkan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan bahwa pengesahan ini merupakan momen yang bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia karena bertahun-tahun Indonesia masih mempertahankan penggunaan KUHP Belanda, dan kini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri.
Rancangan Kontroversial
Terdapat pasal kontroversial dalam RUU atau Rancangan Undang–Undang Hukum Pidana yang membahas tentang santet atau hal gaib lainnya.
Dalam Undang–Undang pada Pasal 252 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang menyatakan kepemilikan kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental bahkan fisik akan di denda paling banyak masuk dalam kategori IV dan pada Pasal 252 Ayat (2) setiap orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikannya sebagai mata pencaharian sehari–hari, tindak pidana tersebut akan ditambah menjadi 1/3.
Hal ini masih menjadi tanda tanya besar di benak masyarakat. Mengingat Santet adalah suatu hal yang sulit untuk dijelaskan oleh nalar atau bahkan sulit untuk dibuktikan secara ilmiah. Namun, sebelum pemerintah mengesahkan Undang–Undang tersebut, pemerintah pasti yakin dan sudah mempertimbangkan beberapa aspek dalam pembuktian adanya santet dan pengaduan korban pada pihak berwajib.
Cara melaporkan kasus santet ke pihak berwajib yang dinilai kurang relevan pun mencuat dan masih menjadi tanda tanya besar, apakah hal tersebut sudah sesuai dan mampu membuktikan adanya santet di Indonesia?.
Cara untuk melaporkan tindak pidana santet juga terbilang cukup rumit yakni dengan membuktikan adanya kepemilikan bukti berupa rekaman atau video yang mengaku atau menerangkan bahwa orang tersebut memiliki ilmu gaib atau sejenisnya. Lalu mendapatkan keterangan dari para ahli bahwa orang tersebut memang benar memiliki keahlian santet.
Jika dipikir secara logika, cara tersebut kurang tepat dan butuh perombakan. Karena di Indonesia ini orang yang memiliki ilmu gaib tidak akan membuka secara terang-terangan atau bahkan menyatakan orang tersebut sakti atau memiliki kekuatan yang dapat menyakiti orang lain.
Paranormal atau dukun yang dipercaya oleh orang di daerah terpelosok sekalipun tidak akan mengakui secara terang-terangan bahwa dirinya adalah dukun sakti. Orang dengan profesi ini cenderung diam dan merahasiakan keahliannya agar tidak diketahui orang lain.
Sangat disayangkan orang yang datang cenderung didominasi oleh masyarakat yang bertempat tinggal jauh dan orang tersebut mengetahui informasi dari mulut ke mulut atau word of mouth (WOM). Promosi ini digunakan untuk menarik minat konsumen dengan cara menceritakan hasil yang didapat setelah mengunjungi sang dukun.
Modernisasi Tidak Menjadi Hambatan
Modernisasi yang ada saat ini juga tidak mengurangi kepercayaan sebagian orang yang menganggap bahwa santet atau hal gaib lainnya itu tidak ada.
Faktanya masyarakat yang melek teknologi sekalipun dan didominasi oleh masyarakat kota tak mau kalah dengan masyarakat desa terpencil yang gagap teknologi. Wajar jika mereka mempercayai hal gaib dalam menyelesaikan permasalahan karena minimnya informasi yang mereka terima. Tak jarang masyarakat kota yang lancar bermedia sosial malah menjadi pelanggan yang mempercayai hal gaib.
Banyaknya pejabat negara yang memanfaatkan hal mistis untuk menunjang karir atau bahkan digunakan sebagai senjata gaib untuk menjadikan kekuatan tersebut sebagai pelindung diri atau bahkan menyelakai orang lain. Masih mempercayai bahkan mengagung-agungkan hal gaib mengakibatkan banyak ditemukannya kasus–kasus santet atau bahkan kasus yang melibatkan hal gaib dan merugikan banyak korban.
Hal tersebut didukung dengan mudahnya ditemui brosur yang ditempelkan di dinding dan SMS yang menawarkan jasa santet, sehingga masyarakat yang kurang mengerti teknologi mudah mempercayai informasi yang tersebar dan menggunakan jasa tersebut tanpa pikir panjang.[]***
Pengirim :
Yovi Ade Surya, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis jurusan Akuntans Universitas Muhammadiyah Malang, email : yoviade1505@gmail.com