Oleh : Amelia*
Pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung terhitung sangat banyak dan semakin merajalela setiap harinya. Para pengusaha tambang khususnya tambang timah terus bebas mengeksploitasi bumi dari hasil kekayaan alam di Provinsi ini. Menurut Bambang Yunianto (2009) menyatakan bahwa : Dalam setahun saja, pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung terhitung bisa mencapai hasil 120 ton timah.
Kegiatan penambangan timah telah lama ada di Bangka Belitung, dilakukan baik secara legal maupun illegal oleh masyarakat setempat. Ditambah lagi penambangan yang menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri bisa merusak lingkungan dan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Lingkungan “dirusak” dan masyarakat “dibungkam” paksa demi terlaksananya komoditi prioritas yang menjadi backbone pemasukan di negeri laskar pelangi ini.
Yang menjadi masalah utamanya ialah terdapat lubang bekas tambang yang dibiarkan terbuka begitu saja tanpa adanya proses reklamasinya. Rekmalasi, rehabilitasi dan reboisasi itu sangat penting dilakukan. Dalam hal ini, terkait reklamasi yang seharusnya dilakukan pada tempat bekas pertambangan agar daerah bekas tambang bisa dimanfaatkan kembali untuk hal lain. Dan jika tidak dilakukan, seharusnya pelaku diberi sanksi dan hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku.
Lingkungan dan tanah yang awalnya subur dan indah bahkan dulunya menjadi objek wisata, telah berubah menjadi lubang besar merusak pemandangan dan yang pasti merusak lingkungan dan ekosistem yang ada di Kepulauan Bangka Belitung. Namun tidak hanya itu saja, penambangan timah yang awalnya hanya dilakukan di daratan saja, tapi sekarang telah merambah ke pesisir pantai. Dilansir dari kompasiana.com, Selasa (07/11/2017), degradasi dan kondisi di pesisir pantai di Kepulauan Bangka Belitung terancam kerusakan karena semakin maraknya kegiatan penambangan timah di perairan pesisir seperti aktivitas perusahaan-perusahaan tambang timah, TI (Tambang Inkovensional) apung, kapal hisap dan kapal keruk setelah kondisi penambangan timah di darat semakin sulit.
Penulis merasakan sendiri dampak negative dari pertambangan timah di pesisir pantai ini, karena rumah penulis berada tepat di daerah pesisir pantai Kp. Tanjung Laut, Muntok, Bangka Barat. Di sekitar laut Kp. Tanjung Laut, terdapat kurang lebih 20 kapal hisap yang melakukan kegiatan penambangan timah. Mereka melakukan aktivitas setiap hari dan penulis yang sedang bersantai melihat laut, melihat dengan mata kepala sendiri saat mereka membuang limbah produksi mereka di laut. Sehingga air kotor itu terbawa gelombang ke pesisir pantai.
Air laut yang awalnya bersih dan jernih serta awalnya menjadi objek untuk healing masyarakat setempat berubah menjadi kotor dan berubah warna menjadi cokelat susu. Lingkungan pesisir yang awalnya bersih sekarang banyak sampah-sampah yang berserakan setiap harinya. Air bersih masyarakat Kp. Tanjung pun menjadi tercemar serta ekosistem laut menjadi rusak. Padahal, rata-rata mata pencaharian masyarakat Kp. Tanjung adalah seorang nelayan.
Namun sampai saat ini juga, belum adanya upaya dari pengusaha pertambangan timah serta pemerintah setempat dalam menyelesaikan perkara ini. Masyarakat pun juga tidak berani untuk menyuarakan suara mereka mengenai kondisi tersebut.
Padahal kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan alam, manusia sangat membutuhkan lingkungan untuk kebutuhannya. Maka dari itu, kita harus bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik mungkin.
Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, terdapat 127 pasal dengan perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup sebagai fokus utamanya. Secara garis besar, Undang-Undang ini berisikan upaya sistematis dan terpadu untuk melestarikan lingkungan serta sebagai upaya pencegahan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
Seharusnya, pemerintah perlu ada evaluasi secara bertahap dan menyeluruh terkait sharing profit dan strategi pemulihan ekosistem yang tergolong sudah rusak akibat penambangan secara liar, sehingga perlu adanya langkah nyata dan utama dari berbagai pihak untuk mengembalikan keadaan lingkungan hidup seperti sedia kala.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Email : amellliaaa012345@gmail.com