Oleh : Muhammad Rafli*
Tak dapat dipungkiri, catatan emas perjuangan mencatat bahwa beberapa kali status “mahasiswa” mampu memberikan dampak hingga perubahan pada tatanan sosial masyarakat. Namun, hari ini sayangnya mahasiswa kebanyakan justru terjebak pada romantisme sejarah basi dan juga gerakan pragmatis yang salah secara orientasi. Alih-alih berpendapat gejala pragmatisme, hanya mengutamakan dan menikmati hasil dibanding proses karna berpatok pada kepraktisan, sehingga berdampak pada individu yang hanya sekedar menerima realita, mengikuti arus dan tak memiliki daya dobrak.
Permasalahan utama bagi pergerakan mahasiswa hari ialah mahasiswa sudah kehilangan orientasi murni perjuangannya yang kemudian kondisi tersebut ditambah dengan tekanan dari realita seperti tekanan pengampu kebijakan yang seolah abai dengan gerakan mahasiswa hingga kisruh konflik horizontal antar gerakan mahasiswa itu sendiri. Inilah kondisi perjuangan mahasiswa, terjebak pada absurditas, ketidakjelasan yang disebabkan penghayatannya terhadap garis perjuangan semakin menurun.
Paradoksnya ; Konon katanya, tekanan pengampu kebijakan dalam hal ini otoritas kampus menuntut konsentrasi mahasiswa dalam mengejar IPK, sehingga diadakannya pemerataan kurikulum dengan dalih akselerasi lulus sebagai calon tenaga kerja reproduktif di suatu industri, tanpa mengafirmasi bahwa akankah tujuan Mahasiswa hanya mendapat gelar dan ijazah untuk bekerja?. Di lain sisi tidak menyediakan ruang konsultasi pembelajaran berlanjut; hanya sekedar memenuhi porsi mengajar pada mata kuliah yang diampu. Sungguh gambaran pragmatisme, mainstream menggurita.
Seorang mahasiswa yang sebagai manusia sekaligus bertanya-tanya, mengapa kita cenderung bersikap patuh dan manut tetapi begitu sulit untuk tidak patuh? Selama saya patuh pada otoritas negara atau opini publik saya akan merasa aman-aman saja dan terlindungi. Saya malah tidak sepenuhnya sadar entah pada kekuasaan macam apa yang saya patuhi. Bisa saja, pada suatu institusi atau orang, yang dengan tipu dayanya mereka mendaku maha tahu dan maha kuasa. Kepatuhan itu menjadikan kita bagian dari kekuasaan yang di sembah, dan karena itu kita merasa kuat. Kita tidak mungkin berbuat salah, karena semua telah diputuskan untuk kita. Kita tidak mungkin kesepian, karena kekuasaan itu selalu mengawasi kita (Erich Fromm, 2010:15). Inilah dunia yang kita huni hari ini, tiap orang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar serta tindakannya mencerminkan apa yang orang banyak lakukan. Individu bertindak mengikuti apa yang umum dilakukan oleh individu lainnya. Jika semua patuh maka tiap orang yang tak patuh tampak aneh, menggelikan dan sudah barang tentu.
Seharusnya pendidikan yang dituntut oleh situasi kita ialah pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan masalah-masa lah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan tersebut, pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan memberikan kepercayaan dan kekuatan untuk menghadapi bahaya tersebut. Bukan pendidikan yang menjadikan kita menyerah, menerima dan patuh pada keputusan-keputusan orang lain tanpa landasan. Dengan mengajak manusia terus-menerus melakukan penilaian kembali, menganalisis penemuan-penemuan, menggunakan metode dan proses ilmu pengetahuan, dan melihat diri sendiri dalam hubungan dialektis dengan realitas sosial, pendidikan ini akan menolong manusia untuk meningkatkan sikap kritis terhadap dunia dan demikian mengubahnya (Paulo Freire, 1967:24).
Faktanya Mahasiswa sekaligus sebagai manusia, telah diamanatkan tanggung jawab sedari rahim ibu. Hakikatnya manusia ialah gerak. Dan gerak meniscayakan perubahan. Jika manusia tidak mampu melihat secara kritis tema-tema zamannya dan dengan demikian tidak bisa secara aktif menangani realitas, mereka akan terbawa hanyut oleh arus perubahan. Mereka melihat bahwa zaman sedang berubah, tapi mereka tenggelam dalam perubahan itu dan tidak bisa melihat arti dramatis dari perubahan itu. Dan suatu peralihan masyarakat dari satu kurun ke kurun lain membutuhkan jiwa yang luwes dan kritis. Tanpa jiwa itu, manusia tidak akan mampu melihat kontradiksi nyata yang terdapat dalam masyarakat, yakni benturan antara nilai-nilai baru yang menyatakan diri dan mau diwujudkan dengan nilai-nilai lama yang mau dipertahankan. Saat-saat peralihan kurun adalah saat yang secara kultural historis menerangkan kontradiksi antara cara mengada, mengerti, bertingkah laku, dan menilai berdasarkan hari kemarin, dengan cara mengerti dan menilai serta memaklumkan hari esok. Semakin tajam kontradiksi ini mengakibatkan manusia hanya mewujudkan harapan orang lain dan perubahan hanyalah ilusi belaka (Paulo freire, 1967:7).
Tools atau alat dalam mewujudkan perubahan salah satunya adalah pendidikan. Sederhananya terbagi dua, yang pertama bersifat dogmatis dan otoriter. Yang kedua bersifat kritis dan luwes. Dalam soal waktu bersamaan, ia mengakui hubungan antara satu kurun dan kurun lainnya, sehingga membentuk struktur horizontal yang memungkinkan “keberlangsungan” kultural. Dalam konsepsi pertama pendidikan adalah penindasan, dan dalam konsepsi kedua pendidikan adalah usaha dialog komunikatif terus menerus.
Ilmu Pengetahuan dijadikan sebagai instrumen untuk meningkatkan derajat, harkat martabat dan mampu menaklukkan alam. Negatifnya, sebagai instrumen memanfaatkan kaum minoritas atau miskin akan potensi dirinya. Itulah manusia yang rendah dari segala yang rendah. Sejatinya manusia perlu membaca cepat kondisi realitas. Karena manusia secara naluriah senantiasa bergerak dari kebodohan ke arah ilmu pengetahuan.
Sosial Praksis ; Rekonstruksi Skema Distribusi Ilmu Pengetahuan
Pendidikan adalah proses sosial
Pendidikan adalah pertumbuhan
Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup, tetapi adalah kehidupan itu sendiri (John Dewey)
Pendidikan adalah “keberlangsungan”, karena muncul dari saling pengaruh antara kedua kutub dialog itu (Dosen-Mahasiswa/Guru-Murid). Pendidikan merupakan keberlangsungan dalam ketegangan antara permanensi dan perubahan. Inilah sebabnya mengapa dapat dikatakan bahwa pendidikan hanyalah permanen dalam rangka keberlangsungan. Dalam hal ini “permanensi” tidak berarti permanen dalam nilai-nilai, melainkan permanensi proses pendidikan, yang merupakan ketegangan antara permanensi kultural dan perubahan kultural.
Dialektika tadi; antara permanensi dan perubahan-yang memungkinkan berlangsungnya proses pendidikan, membuat pendidikan sebagai suatu keadaan menjadi, bukan sesuatu yang selesai. Itulah segi sosiologis-historis pendidikan. Bila pendidikan tidak menyesuaikan diri dengan realitas, maka pendidikan takkan “bertahan”, karena tak lagi menjadi. Karena itu pendidikan juga dapat menjadi kekuatan pengubah, karena hanya hidup, hanya bertahan (Paulo Freire, 1967:123). Tugas para pendidik bukanlah menceritakan ke para terdidik apa realitas menurut anggapan pendidik dan segi-segi teknis apa saja yang termuat di dalamnya. Sebaliknya tugas para pendidik adalah untuk menggugah para terdidik untuk sekali lagi memasuki arti isi tematis yang sedang mereka hadapi. Inilah bentuk kodifikasi yang menampilkan bentuk riil eksistensial, situasi yang dialami oleh terdidik, karena mereka tidak memasuki pengalaman sehari hari para pendidik, mungkin hanya memasuki secara dangkal saja.
Contoh kongkret dalam analogi kodifikasi mengarah pada tema sentral yang hendak dianalisis. Situasi itu dapat ditampilkan dengan foto, lukisan, ataupun poster. Obyek yang mengetengahkan kodifikasi apakah itu foto, lukisan atau poster-semata-mata hanyalah sarana visual, disisi lain diinterpretasikan dan digunakan sebagai alat komersialisasi, disisi lain sebagai representasi bukti sejarah yang diabadikan. Tentu kesadararan magis ini tak boleh dibiarkan tumbuh subur. Ironis
Dalam proses pendidikan, pendidik-terdidik dan terdidik-pendidik sama-sama menjadi subyek kognitif di hadapan obyek pengetahuan yang menjembatani mereka. Benar, seseorang dapat berkata: “Bagaimana mungkin dalam rangka pencarian pengetahuan pendidik dan terdidik dapat berkedudukan sederajat?, apabila pendidiklah yang sudah tahu, bagaimana terdidik dapat dianggap mengetahui peranannya hanyalah belajar dari pendidik?. Pengamatan itu yang sebenarnya berupa sanggahan-sanggahan yang tak dapat menyembunyikan praanggapan-praanggapan mereka yang menyatakannya. Pernyataan – pernyataan itu biasanya keluar dari mereka yang menganggap diri pemilik kebijaksanaan, sementara para terdidik mereka anggap tidak tahu apa-apa (Paulo Freire, 1967:117). Inilah dinamakan kesadaran magis.
Kesadaran magis menggambarkan keadaan masyarakat yang tidak mampu melihat adanya kaitan antar satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lahir dari paradigma konservatif. Paradigma ini menjelaskan, masyarakat yang memiliki kesadaran magis mempunyai pandangan bahwa ketidaksederajatan masyarakat lahir dari sebuah proses yang alami yang mustahil dihindari karena sudah merupakan takdir Tuhan.
Pendidikan bagi mereka adalah pengalihan “pengetahuan”. Pendidikann semacam itu dijalankan dengan menyebarluaskan pengetahuan kepada para terdidik yang pasif dan mencegah para terdidik mengalami perkembangan kondisi aktif dan partisipatif, yang perlu bagi seseorang yang mau tahu (Paulo Freire, 1967:119).
Teori Transitif Naif-Transitif Kritis melampaui ‘Kesadaran Magis’
Dari pendidik andil khusus diperlukan kepada terdidik di era millenium ketiga ini ialah, pendidikan kritis yang akan menunjang dan membantu terbentuknya sikap-sikap kritis, mengangkat kesadaran magis antara dosen dan mahasiswa yang telah menenggelamkannya dalam proses sejarah dan membuatnya mudah termakan irasionalitas. Hanya pendidikan yang memperlancar pergeseran kesadaran magis menuju transitif-kritis yang akan mengembangkan kemampuan manusia untuk melihat tantangan-tantangan dari zamannya, yang dapat menyiapkan mahasiswa untuk menghalau kecenderungan emosional dari masa transisi. Tetapi dalam meraih kesadaran transitif-kritis perlu melampaui level kesadaran transitif-naif terlebih dahulu selain daripada kesadaran magis.
Kesadaran naif adalah kesadaran yang mana masyarakat meyakini bahwa suatu peristiwa yang terjadi dalam hidupnya disebabkan oleh diri mereka sendiri. Jadi, dalam hal ini, masyarakat menempatkan manusia sebagai akar penyebab masalah. Kesadaran naif lahir dari paradigma pendidikan liberal. Kesadaran naif menjelaskan, masyarakat yang memiliki kesadaran ini sudah bisa memahami adanya permasalahan sosial yang terjadi di lingkungannya, namun belum sepenuhnya bisa memberikan solusi. Parahnya, kesadaran ini menjadikan manusia bagian dari massa berdampak menjadi fanatik oleh golongan irasional.
Sejalan dengan pandangan Peter Ludwig Berger seorang sosiolog, teori berger diserap dalam arus perkembangan media membentuk tatanan masyarakat yang bukan lagi berangkat dari struktur alamiah manusia (Luckmann, 1966). Dengan melihat bentuk fenomena dari pengaruh media, misalnya, ada beberapa anak berkumpul dan berlari seperti di anime Naruto, seakan-akan mereka ada di Konoha; memanjat tebing, melompat jurang dan memainkan alat tajam. Ini mengindikasikan bagaimana media membentuk budaya atau gaya hidup konsumtif, standar demi standar terbentuk di tengah-tengah masyarakat. Gambaran ini jika mengacu pada Berger berarti media mengalami proses yang dinamakan tahapan eksternalisasi.
Tahapan eksternalisasi media, dimana interaksi dimulai dari pesan iklan ataupun konten media dengan individu atau pemirsa melalui media massa terjadi secara kontingen, berlanjut hingga di afirmasi secara fisik dan mental. Dalam artian, pencurahan kedirian manusia dimanifestasikan melalui media dengan ragam pola kekuasaan (hegemoni) dan kenikmatan semu melalui simbol-simbol yang disalurkan dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Hal ini terjadi secara berulang-ulang, sehingga membentuk pola habitualisasi, pengendapan dan tradisi.
Tentu saja untuk membawa kita dari kesadaran naif ke kesadaran kritis kita tidak dapat menggantungkan diri pada proses modernisasi teknologis semata-mata. Suatu analisis yang kritis terhadap masyarakat teknologi maju biasanya akan menampilkan adanya “penjinakan” kemampuan kritis manusia oleh situasi yang membuat manusia dijadikan massa, dimana kebebasan memilih hanya ilusi. Manusia semakin diombang-ambingkan dengan media massa sehingga ia tidak mempercayai apa-apa yang didengarnya selain dari radio, dilihatnya ditelevisi, atau dibacanya dari surat kabar. Seperti pohon yang mudah dicabut akar-akar nya.
Dalam dunia yang ditandai oleh teknologi maju, produksi massa sebagai pengorganisasian tenaga kerja manusia barangkali merupakan salah satu alat paling potensial untuk masifikasi. Produksi massa menuntut manusia bertindak secara mekanis, sehingga menjinakkan manusia. Produksi massa menuntut manusia untuk tidak memiliki sikap kritis menyeluruh terhadap produksi, sehingga produksi massa menidakmanusiakan manusia. Dalam spesialisasi secara berlebihan, produksi massa mempersempit manusia, sehingga ia membatasi cakrawala manusia, membuat pasif, cemas dan naif. Dan disinilah letak kontradiksi utama dari produksi massa; yakni memperbesar potensi manusia untuk berpartisipasi, namun sekaligus menyelewengkan peluang itu dengan memperkecil kemampuan kritis manusia melalui spesialisasi yang berlebihan (Paulo Freire, 1967:34).
Hal serupa dengan konsep pendidikan gaya bank. Pendekatan dalam pendidikan orang dewasa misalnya, tidak akan pernah menyarankan kepada peserta didik agar mereka melihat realitas secara kritis. Pendekatan gaya bank tidak mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan penting, seperti apakah budi sudah memanjat pohon untuk memetik buah mangga?, disisi lain andaikan pemikiran yang dilontarkan “kenapa tidak berusaha membuat fruit picker (alat pemetik buah) guna kepentingan bersama sekaligus efisiensi; selama kita masih ada dan dapat membantu?”.
Mereka yang menggunakan pendekatan gaya bank ini, secara sadar atau tidak sadar (karena terdapat juga guru-guru bergaya pegawai bank ini yang sesungguhnya beritikad baik, namun tidak menyadari mereka sedang bekerja untuk tujuan dehumanisasi), tidak memahami kalau pengetahuan yang mereka tanamkan itu berisi kontradiksi dengan realitas. Tetapi cepat atau lambat, kontradiksi itu pada akhirnya akan mengarahkan murid-murid yang semula pasif untuk berbalik menentang penjinakan atas mereka dan berusaha menjinakkan realitas. Mereka akan menemukan lewat pemgalaman bahwa pandangan hidupnya yang sekarang tidak sama sekali tidak sesuai dengan fitrahnya untuk menjadi manusia yang seutuhnya (Paulo Freire, 1972:57).
Konsep pendidikan gaya bank tidak akan memungkinkan hubungan loyalitas. Untuk mencari jalan keluar dari kontradiksi-kontradiksi ini, dalam mengubah guru sebagai penabung, pemberi resep, penjinak. Seseorang bukan hanya mempertahankan pola produksi yang ketinggalan zaman melainkan dengan menggugah realitas dan mencoba memecahkan secara objektif. Jawabannya tidak terletak pada penyediaan mesin-mesin, sarana-prasarana tetapi pada paradigma pendidikan kritis yang akan melahirkan kesadaran kritis.
Kesadaran kritis adalah jenis paling ideal, holistik di antara jenis kesadaran sebelumnya. Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praksis. Seseorang itu memiliki kematangan menafsirkan masalah dari magis ke sebab-akibat, mendahulukan dialog secara luas tanpa pandang hierarki dan stratifikasi sosial bukan polemik, menolak peran pasif serta solusi atas dehumanisasi. Disamping itu ia mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial. Sebuah kesadaran yang melihat adanya keterkaitan antara ideologi dan struktur sosial sebagai akar masalah.
Jika bagi kaum konservatif (kesadaran magis) pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal (kesadaran transitif naif) ditujukan untuk perubahan moderat dan acapkali juga pro status quo, maka bagi penganut paradigma kritis (kesadaran transitif kritis) menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara kritis diri dan struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial.
Timbul pertanyaan, mungkinkah perubahan kesadaran dari magis menjadi kritis tanpa perlu melewati fase liberal atau naif terlebih dahulu?
Jawabannya tidak. Tak bisa dinavikan fase berpikir liberal dalam kehidupan manusia wajib dilakukan, namun jangan terlalu “larut” karena justru akan memperkecil potensi kemampuan transitif kritis. Semua nilai-nilai atau pahaman-pahaman tradisional termasuk pemahaman yang paling fundamental seperti agama harus diruntuhkan atau dibongkar. Bukankah keyakinan yang dimulai dari keragu-raguan akan melahirkan keyakinan yang mutlak terhadap sesuatu, apapun itu? Rene Descartes sendiri pernah mengatakan “De Omnibus Dubitandum” yang artinya adalah segala sesuatu harus diragukan. Jadi pahaman tentang nilai-nilai yang selama ini sangat kuat tertanam dalam diri sejak kecil harus digali dan dipertanyakan kembali dan dijawab sendiri. Singkatnya, dengan sendiri nya kesadaran berparadigma kritis akan lahir ketika telah mengalami fase berfikir liberal tersebut.
Term Rausyan Fikr adalah Pemikiran Yang Tercerahkan
Peningkatan pemahaman memiliki 2 tujuan ; yang pertama, untuk peningkatan pengetahuan kita; dan yang kedua,untuk memungkinkan kita menyampaikan atau menyebarkan pengetahuan kita kepada orang lain. (John Locke)
Dalam mendukung ejawantah transitif kritis, dibutuhkan “ruang” yang bersifat aktif dan dialektis yang berhubungan dengan menjiwai antara kesatuan poros berpikir, memahami, serta mengidentifikasi kapasitas antar personil yang penuh keberagaman watak; jenaka, pemarah, pendiam, humoris dan sebagainya. Disinilah transitif kritis berperan. Murid, mahasiswa, junior, peserta, anak, ataukah seorang awam tak membutuhkan kompleksitas berpikir dan paksaan menghafal. Hal ini pula disiapkan untuk menghindari bahaya masifikasi dan memastikan keberlangsungan pendidikan yaitu dialog komunikatif terus-menerus.
Tradisi pendidikan di brazil, bagaimanapun bukan merupakan pertukaran ide-ide, melainkan pendiktean ide-ide itu; bukan merupakan debat, melainkan pembenaran pelajaran atau kuliah; bukan merupakan kerja bersama dengan murid, melainkan bekerja atas murid; memaksakan suatu perintah yang harus dituruti oleh para murid. Dengan memberi rumusan yang harus diterima dan dihafalkan oleh para murid, kita tidak memberinya perangkat seperti gadget untuk berpikir otentik (Paulo Freire, 1967:38).
Ruang dapat didefinisikan suatu wadah yang berisikan komponen komponen lingkungan hidup yang saling mempengaruhi, berhubungan, dan bergantung. Ruang dapat berisikan seorang individu atau masyarakat (kumpulan lebih dari individu-individu) yang setiap hari, setiap saat pada hakikatnya gerak. Karena gerak hanya berlaku dalam dimensi ruang dan waktu. Pertanyaannya bagaimana cara memastikan lingkungan hidup yang saling mempengaruhi, berhubungan dan bergantung?. Meminjam kutipan Ernest Mandel, seorang ekonom dalam buku tesis-tesis pokok marxisme, bahwa 2 syarat mencetuskan gerakan kolektif :
1.) Kesesuaian antara teori dan praksis.
2.) Wadah kolektif
Kesadaran Transitif kritis sebagaimana yang telah diketahui ; Seseorang itu memiliki kematangan menafsirkan masalah dari magis ke sebab-akibat, mendahulukan dialog secara luas tanpa pandang hierarki dan stratifikasi sosial bukan polemik, menolak peran pasif serta solusi atas dehumanisasi. Indikator tersebut menjadikan nya sebagai sosok episentrum, orbit, pemersatu bahkan pemimpin diatas segala-gala pemimpin. Dengan tersedianya ruang ia mampu aktif bagaimana ia berhubungan dengan masyarakat, dan mengapa orang-orang bisa mendatanginya atas ketertarikan pada dirinya, ataukah ucapan-ucapannya merupakan bagian dari sistem nilai dan warisan yang dimuliakan sepanjang masa. Perlunya menjelajahi nilai-nilai dalam mengkomunikasikannya kepada masyarakat dengan bahasa yang hangat dan mudah dicerna, maka kita akan mampu menyiapkan masyarakat dalam memberi kredibilitas pada kita dalam hati mereka. Ali syariati menyebut sosok inilah sosok rausyan fikr.
Pemikir yang tercerahkan ialah terlepas dari kejahatan fisik dan kejahatan moral. Hasil dari keselerasan transitif kritis untuk menolong dan menggerakkan kehendak bebas manusia yang penuh kompleksitas golongan, jabatan, gelar, pangkat hingga latar belakang pengalaman historis. Alhasil kesadaran kolektif tercipta dan akan bermakna karena selalu saling berada ditengah-tengah masyarakat, menerangi masyarakat, membimbing masyarakat, dan bersama-sama masyarakat menuju pembaharuan ke arah kehidupan yang lebih baik. Penuntasan problem di atas lahir karena tidak bisa dinavikan, bahwa masyarakat tidak dapat bergantung pada wujudnya seorang pemimpin yang saleh dalam hal ini nabi dan rasul, secara terus menerus.[]
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, email : rafly1403@gmail.com