Hukum Jaminan; Antara Perlindungan dan Pemberdayaan

Saya Irfan Fauzan sebagai mahasiswa Hukum, melihat hukum jaminan itu bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah instrumen krusial untuk menggerakkan roda ekonomi. Tanpa jaminan, bank dan lembaga keuangan mana yang berani kasih kredit besar? Tentu mereka butuh kepastian bahwa utang bisa dilunasi, dan di sinilah peran penting jaminan.

Ia memberikan rasa aman bagi kreditur dan memungkinkan debitur untuk mendapatkan modal yang mereka butuhkan. Ini adalah bentuk perlindungan hukum yang sangat vital bagi sektor perbankan dan industri.

Di sisi lain, hukum jaminan juga bisa menjadi bumerang. Seringkali kita lihat, posisi debitur itu sangat lemah di hadapan kreditur. Ketika gagal bayar, agunan yang mereka jaminkan bisa langsung dieksekusi, kadang dengan prosedur yang terkesan sepihak dan kurang transparan.

Kasus-kasus eksekusi jaminan yang kontroversial, misalnya yang melibatkan rumah tinggal atau aset produktif, sering kali menyisakan cerita pilu tentang masyarakat yang kehilangan segalanya. Di sini, hukum jaminan seakan-akan lebih berpihak pada pemberi pinjaman, sementara perlindungan terhadap hak-hak debitur terasa kurang kuat.

Satu hal yang perlu jadi perhatian, praktik eksekusi yang kurang adil ini seringkali terjadi karena minimnya pemahaman hukum di kalangan masyarakat. Debitur sering kali tidak membaca detail perjanjian atau tidak mengerti konsekuensi hukum dari aset yang mereka jaminkan.

Ini membuka celah bagi praktik-praktik yang merugikan, baik oleh oknum perbankan maupun perusahaan pembiayaan. Oleh karena itu, penting sekali untuk adanya edukasi hukum yang lebih masif, terutama mengenai hak dan kewajiban dalam perjanjian jaminan.

Idealnya, hukum jaminan harus mampu menyeimbangkan dua kepentingan yaitu perlindungan bagi kreditur agar roda ekonomi tetap berjalan dan perlindungan yang adil bagi debitur agar mereka tidak terjebak dalam posisi yang sangat merugikan.

Mungkin sudah saatnya kita memikirkan ulang beberapa pasal dalam hukum jaminan yang ada, misalnya dengan memperketat prosedur eksekusi, memberikan ruang mediasi yang lebih besar, atau bahkan mempertimbangkan mekanisme bagi aset-aset tertentu yang sangat vital bagi kelangsungan hidup debitur.

Kesimpulannya, hukum jaminan adalah pilar ekonomi yang tak terbantahkan. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa keadilan adalah pondasi utama hukum. Hukum jaminan harus terus berevolusi untuk menciptakan ekosistem finansial yang tidak hanya kuat, tapi juga berkeadilan dan humanis. Jangan sampai tujuannya untuk memberdayakan, justru malah menjerumuskan.[]

Penulis :
Irfan Fauzan, mahasiswa Jurusan Hukum, Universitas Bangka Belitung