Fatwa merupakan bagian integral dari tradisi keilmuan Islam yang berfungsi sebagai jawaban atau panduan hukum terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi umat. Meskipun tidak bersifat mengikat secara hukum seperti keputusan hakim, fatwa memiliki kedudukan penting dalam membimbing umat Islam dalam memahami dan menjalankan syariat. Seiring perkembangan zaman, fatwa telah mengalami transformasi dari bentuk yang sederhana di masa Nabi Muhammad SAW hingga menjadi lembaga formal di era modern.
1. Masa Nabi Muhammad SAW (610–632 M)
Pada masa Nabi Muhammad SAW, seluruh persoalan umat diselesaikan langsung oleh beliau berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan ijtihad yang dibimbing oleh wahyu. Nabi berfungsi sebagai rasul, pemimpin umat, sekaligus mufti. Oleh karena itu, fatawa tidak dikenal sebagai institusi terpisah pada masa ini. Keputusan Nabi bersifat final dan otoritatif karena bersumber dari wahyu ilahi.
2. Masa Khulafa al-Rasyidin (632–661 M)
Setelah wafatnya Nabi, para sahabat utama seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali mengambil alih peran dalam memberikan panduan hukum kepada umat. Mereka menggunakan ijtihad, qiyas (analogi hukum), dan ijma’ sahabat (konsensus sahabat) untuk menjawab persoalan yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Pada masa ini, fatwa mulai terlihat sebagai aktivitas keilmuan yang berdiri sendiri, meskipun belum dilembagakan secara formal.
3. Masa Tabi’in dan Pembentukan Mazhab (661–850 M)
Pada masa Tabi’in dan generasi setelahnya, terjadi perkembangan besar dalam bidang fiqh. Munculnya berbagai mazhab fiqh seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menandai pembentukan metodologi hukum yang sistematis. Para ulama besar dari masing-masing mazhab ini berperan sebagai mufti yang memberikan fatwa kepada masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip mazhab mereka. Fatwa mulai dibukukan dan menjadi sumber hukum yang penting di kalangan umat Islam.
4. Masa Klasik dan Institusionalisasi Fatwa (850–1258 M)
Pada masa ini, khususnya di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan kerajaan Islam lainnya, fatwa mulai dilembagakan. Jabatan mufti menjadi bagian dari struktur pemerintahan dan sistem peradilan. Mufti bekerja berdampingan dengan qadhi (hakim), dan fatwa digunakan sebagai referensi dalam pengambilan keputusan hukum. Lembaga seperti Dar al-Ifta didirikan untuk mengoordinasi pengeluaran fattwa. Berbagai koleksi fatwa juga mulai disusun, seperti Al-Fatawa al-Hindiyya dari mazhab Hanafi dan Fatawa al-Nawawi dari mazhab Syafi’i.
5. Masa Kemunduran dan Taqlid (1258–1800 M)
Setelah runtuhnya Baghdad akibat serangan Mongol pada 1258 M, dunia Islam memasuki masa kemunduran. Aktivitas ijtihad semakin jarang dilakukan, dan para mufti cenderung mengulang atau menyalin pendapat ulama terdahulu tanpa inovasi. Masa ini dikenal sebagai masa taqlid, yaitu mengikuti pendapat mazhab secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks baru. Meskipun demikian, fatwa tetap eksis dan berfungsi dalam masyarakat, meskipun kurang responsif terhadap perubahan zaman.
6. Masa Modern dan Kontemporer (1800–sekarang)
Memasuki era modern, umat Islam dihadapkan pada berbagai tantangan baru seperti kolonialisme, modernisasi, globalisasi, dan kemajuan teknologi. Hal ini menuntut pembaruan dalam metode pemberian ftwa. Di berbagai negara Muslim, fatwa mulai kembali difungsikan sebagai instrumen penting untuk menjawab isu-isu kontemporer seperti bank syariah, asuransi, bioetika, dan teknologi digital.
Lembaga fatwa resmi didirikan di berbagai negara :
– Mesir : Dar al-Ifta al-Misriyyah
– Arab Saudi : Lajnah Da’imah lil Ifta’
– Indonesia : Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Selain itu, era digital juga melahirkan banyak mufti independen yang mengeluarkan fatwa melalui media sosial, situs web, dan aplikasi digital. Ini menunjukkan bahwa fatwa telah menjadi bagian dinamis dalam kehidupan umat Islam modern.[]
Pengirim :
Melischa Rachman, Mahasiswa Ekonomi Syariah, Universitas Pamulang, email : melischarachman@gmail.com
