Dulu, begitu dengar kata “korupsi,” kita bisa langsung naik darah. Marah, kesal, bahkan ingin turun ke jalan. Tapi sekarang? Reaksinya hambar. Hanya menghela napas, lalu mengganti channel TV atau scroll layar HP. Korupsi sudah tak lagi bikin kaget. Hampir tiap minggu muncul berita soal suap, gratifikasi, atau proyek bodong. Tapi yang kita rasakan bukan lagi kemarahan, melainkan kelelahan. Seolah-olah korupsi sudah dianggap bagian dari rutinitas harian. Iya, makan uang rakyat sekarang seperti hal yang lumrah, meski tetap salah.
Dari Kantor Pejabat ke Obrolan Warung Kopi
Belum lama ini, seorang pejabat tinggi kembali tertangkap tangan oleh KPK. Modusnya ya begitu-begitu lagi: proyek diakali, jabatan dibayar, dan uang terima kasih yang katanya “cuma bentuk apresiasi.” Duit yang harusnya dipakai buat bangun jalan, sekolah, atau puskesmas malah mampir ke rekening pribadi. Tapi publik? Biasa saja. Ada yang malah nyeletuk, “Paling bentar lagi keluar juga.”
Inilah akar masalah kita. Korupsi sudah tidak dianggap sebagai penyimpangan besar, melainkan sesuatu yang biasa-biasa saja. Di banyak tempat, memberi uang agar urusan cepat beres dianggap normal. “Ngambil sedikit” dari dana proyek dianggap hak diam-diam. Bahkan ada yang bilang, “Udah capek-capek jadi pejabat, masa enggak boleh dapat bagian?”
Padahal itu uang rakyat. Uang dari pajak orang tua kita, tetangga kita, dari pedagang kaki lima sampai tukang becak. Tapi uang itu berubah jadi mobil mahal, rumah di luar negeri, atau saldo tak tersentuh di bank luar negeri. Semua karena mental rakus segelintir orang.
Korupsi Kecil: Jangan-jangan Kita Juga Terlibat?
Coba kita berkaca sebentar. Benarkah kita bebas dari sikap koruptif?
Pernah “titip” anak masuk sekolah atau kampus?
Pernah kasih “uang rokok” biar pelayanan jadi cepat?
Pernah pura-pura sakit supaya bisa bolos kerja?
Pernah akali laporan keuangan kegiatan?
Kalau pernah, berarti kita juga bagian dari masalah ini. Korupsi bukan cuma urusan mereka yang duduk di kursi empuk. Tapi juga tumbuh subur di kantor desa, sekolah, tempat kerja, sampai grup WA orang tua siswa. Dari pungutan liar sampai mark-up kecil, semua ikut mencederai negeri ini.
Korupsi jadi sulit diberantas bukan cuma karena sistemnya lemah, tapi karena kita sendiri kadang menutup mata dan membiarkannya.
Budaya Diam, Budaya Toleransi
Kenapa korupsi susah hilang?
Pertama, karena hukum sering tidak adil. Kasus besar hilang begitu saja, tapi orang miskin yang mencuri karena lapar dihukum berat. Masyarakat jadi apatis, merasa hukum tak bisa dipercaya.
Kedua, karena contoh dari pemimpin minim. Kalau yang di atas doyan foya-foya dengan uang negara, bagaimana bisa rakyat di bawahnya tetap jujur? Yang terlihat, itu yang ditiru.
Ketiga, karena kita terbiasa diam. Takut ribut, malas ribet, atau merasa tak ada gunanya bicara. Akhirnya, perilaku menyimpang dibiarkan, dan terus beranak-pinak.
Viral Tapi Tak Mengubah Apa-Apa
Begitu ada kasus korupsi baru, media sosial langsung ramai. Saling sindir, saling hujat, saling menyalahkan. Tapi beberapa hari kemudian? Lupa. Tak ada yang benar-benar berubah.
Media sosial kadang cuma tempat melampiaskan emosi, bukan wadah edukasi. Kita lebih senang mencaci pelaku ketimbang mencari solusi. Padahal, upaya pencegahan bisa dimulai dari rumah, dari sekolah, dari lingkungan sekitar—bukan cuma dari gedung KPK.
Generasi Muda: Penerus atau Pengulang?
Anak muda seharusnya jadi garda terdepan melawan korupsi. Tapi banyak dari mereka sudah terbiasa dengan jalan pintas. Mencontek dianggap cerdas, nitip kerja lewat kenalan dianggap wajar. Bahkan di pemilu kampus pun, sudah ada politik uang.
Kalau sejak muda sudah diajarkan cara curang untuk sukses, bagaimana nanti ketika mereka jadi pemimpin?
Tanpa perubahan serius di pendidikan dan lingkungan keluarga, korupsi cuma akan ganti pemain. Sistem tetap rusak, hanya wajahnya yang baru.
Korupsi Bukan Sekadar Masalah Hukum
Korupsi adalah kejahatan bersama. Bukan cuma soal pelanggaran hukum, tapi juga penghancuran nilai dan masa depan. Kalau kita diam saja, atau bahkan menikmati hasilnya, maka kita juga bagian dari dosa itu.
Makan uang rakyat bukan cuma soal legal atau ilegal. Tapi soal hati nurani. Karena di balik setiap rupiah yang dikorupsi, ada sekolah yang tak selesai dibangun, ada orang sakit yang tak bisa berobat, dan ada rakyat kecil yang hidup makin susah.[]
Penulis :
Tsamrotul Janiyah, mahasiswa Teknik Informatika – Universitas Pamulang



 
																						




