Penulis : Shinta Lestrai Oktarini, Merrita, Sarah Hafifah, Fabri Lukman, Abdurrahman, Novi Andrianto, Novri (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung)
Seorang Penyanyi sekaligus pengusaha bernama Isa Zega alias Sahrul, dia adalah seorang transgender, transwomen, waria, yang di awalnya adalah seorang laki-laki, Sosok yang dikenal sebagai selebgram ujar Mufti Anam dalam akun Instagramnya yang sudah mengizinkan detikcom mengutip, Selasa (19/11). Iza Zega melakukan ibadah umrah dengan menggunakan hijab syar’i hingga cadar yang belakangan ini menjadi sorotan publik. Kontroversi ini memicu kecaman dari anggota DPR RI F-PDIP Mufti Anam menilai aksi Isa Zega itu sebagai bentuk penistaan agama.Video yang mengenakan hijab abu-abu saat menjalankan prosesi umroh viral di media sosial. Viral Isa Zega Transgender Umrah Pakai Hijab (Sumber : Instragam/zega_real).
Hal ini menuai kritik tajam dari Mufti Anam, politisi PDIP, yang menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran norma agama dan hukum. Konten Jadi Bukti” Menurut Mufti, meskipun sudah mengubah wujudnya menjadi perempuan, Isa Zega tetap laki-laki secara lahiriah. Oleh karena itu, semestinya Isa Zega menggunakan tata cara laki-laki saat melakukan ibadah. “Bagaimana laki-laki dalam hukum Islam bahkan menurut fatwa MUI, seorang laki-laki walaupun diubah jenis kelaminnya, bahwa secara lahiriah dia tetap seorang laki-laki, dan dalam melakukan prosesnya tetap harus menggunakan cara-cara seorang laki-laki.
Transgender Isa Zega Dipolisikan Buntut Umrah Berhijab, Konten Jadi Bukti” Isa Zega ini berbeda, dia melakukan umrah dengan menggunakan prosesi dan cara-cara perempuan, ini adalah bagian dari penistaan agama. Bagaimana seorang penista agama sudah diatur dalam KUHP Nomor 156A dengan ancaman 5 tahun penjara Hal ini menuai kritik tajam dari Mufti Anam, politisi PDIP, yang menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran norma agama dan hukum. https://news.detik.com/berita/d-7651088/transgender-isa-zega-dipolisikan-buntut-umrah-berhijab-konten-jadi-bukti
Dalam kasus tersebut dapat kita lihat bahwa transgender di Indonesia semangkin menjadi jadi Dimana zaman modern sekarang menguplod sebuah foto atau video perjalanan kehidupan sehari hari itu sudah menjadi asupan duniawi.Perlu kita ketahui Pentingnya bersosial media yang baik dan benar tanpa merugikan diri sendiri serta pihak -pihak lain . Kasus Isa Zega yang dipolisikan setelah umrah dengan mengenakan hijab memunculkan perdebatan sengit: apakah ini bentuk kebebasan individu dalam mengekspresikan keyakinan, atau justru sebuah penistaan terhadap simbol agama yang sakral?
Di satu sisi, beberapa berargumen bahwa kebebasan beragama seharusnya memberi ruang bagi setiap individu untuk mengekspresikan dirinya, termasuk dalam hal berbusana. Namun di sisi lain, tindakan ini dianggap oleh sebagian orang sebagai pelanggaran terhadap norma agama yang sudah sangat kuat terpatri dalam masyarakat, di mana hijab dianggap sebagai simbol kesucian dan identitas perempuan. Pada akhirnya, perdebatan ini mencerminkan bagaimana kita menyeimbangkan kebebasan individu dengan penghormatan terhadap nilai-nilai yang dianggap sakral oleh banyak orang.
Terutama menimbulkan perdebatan mengenai kebebasan individu, penistaan agama, serta pandangan Islam dan hukum terhadap hal ini.
Perspektif Islam: Dalam hukum Islam, ada pandangan yang jelas mengenai peran dan identitas gender, terutama terkait dengan pemakaian hijab. Berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, hijab adalah kewajiban yang diperintahkan untuk wanita sebagai simbol kesucian, kehormatan, dan perlindungan dari pandangan atau gangguan yang tidak diinginkan. Rasulullah SAW melaknat orang yang menyerupai wanita dari kalangan laki-laki dan orang yang menyerupai laki-laki dari kalangan wanita.” (Sahih Bukhari, Hadis No. 5885)
Sahih Bukhari (Hadis No. 5885):
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الرَّجُلَ يَتَرَجَّلُ فِي حَلْيَةِ النِّسَاءِ وَالْمَرْأَةَ تَتَحَلَّى فِي حَلْيَةِ الرِّجَالِ
Rasulullah SAW la’ana ar-rajula yatarajalu fi haliyati an-nisai wal-mara’ata tatahallā fi haliyati ar-rijali.
Terjemahan:
“Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dalam hal perhiasan (pakaian) dan wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal perhiasan (pakaian).”
(Sahih Bukhari, Hadis No. 5885)
Hadis ini menegaskan larangan bagi pria untuk menyerupai wanita, begitu juga sebaliknya, sebagai bagian dari menjaga identitas gender yang telah ditetapkan dalam Islam.
Perspektif ahli hukum Islam : Para ulama fiqih, seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, berpendapat bahwa sepakat bahwa pemakaian pakaian harus sesuai dengan jenis kelamin. Pria yang mengenakan hijab dianggap melanggar pembagian peran gender yang diajarkan dalam Islam, karena hijab adalah simbol yang hanya diperuntukkan bagi wanita. Ulama kontemporer juga menilai bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip dasar syariat Islam mengenai peran pria dan wanita dalam masyarakat.
Perspektif hukum : Kasus Isa Zega dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap norma sosial dan simbol agama yang dianggap sakral. Di Indonesia, meskipun kebebasan beragama dan berekspresi dijamin oleh UUD 1945, seorang penista agama sudah diatur dalam KUHP Nomor 156A dengan ancaman 5 tahun penjara .tindakan tersebut juga perlu menghormati norma sosial dan agama. Meskipun kebebasan individu dalam beribadah dihormati, tetap ada aturan hukum dan norma agama yang harus dipatuhi.Isa Zega Dipolisikan Usai Umrah Berhijab: Kebebasan atau Penistaan Agama? ada beberapa pandangan terhadapat kasus tersebut seperti beriukut
Kebebasan Beragama dan Berekspresi : Sebagian orang berpendapat bahwa kebebasan berekspresi dan beragama adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Dalam hal ini, setiap orang berhak memilih dan mengekspresikan keyakinan mereka, termasuk dalam cara berpakaian, selama itu tidak mengganggu ketertiban umum. Oleh karena itu, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa tindakan Isa Zega tidak bisa dianggap sebagai penistaan agama, melainkan sebuah pernyataan pribadi atau kebebasan berekspresi.
Penistaan Agama : Namun, bagi sebagian kelompok, tindakan Isa Zega dianggap sebagai penistaan agama, karena hijab merupakan simbol agama Islam yang sangat sakral dan identik dengan norma-norma tertentu dalam ajaran Islam. Jika seseorang mengenakan hijab tanpa niat yang sesuai dengan ajaran agama, beberapa orang bisa melihatnya sebagai penghinaan terhadap makna hijab itu sendiri dan nilai-nilai yang ada dalam agama tersebut.
Proses Hukum : Kasus seperti ini memunculkan dilema dalam masyarakat yang pluralistik, di mana banyak perbedaan pandangan mengenai kebebasan pribadi dan norma agama. Proses hukum akan menentukan sejauh mana tindakan ini bisa dipandang sebagai sebuah pelanggaran hukum atau tidak.Jadi, apakah itu kebebasan atau penistaan agama? Jawabannya sangat bergantung pada perspektif individu terhadap agama, kebebasan berpendapat, dan nilai-nilai yang mereka anut.
1. Pendekatan Bijaksana dalam Penyelesaian Konflik
Perbedaan pandangan terkait simbol agama harus diselesaikan dengan pendekatan yang lebih bijaksana. Langkah hukum seharusnya dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama ketika ada potensi ketegangan yang lebih besar jika masalah ini tidak diselesaikan dengan cara yang lebih damai.
Saran: Sebaiknya kasus seperti ini diselesaikan melalui mediasi atau diskusi untuk mencari pemahaman bersama, dari pada langsung mengarah pada langkah hukum yang dapat memperburuk ketegangan antar kelompok. Pendekatan yang mengutamakan perdamaian akan lebih mendatangkan manfaat bagi semua pihak.
2. Meningkatkan Pemahaman dan Pendidikan Toleransi
Penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya toleransi antar umat beragama dan saling menghormati perbedaan, agar tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang bersifat sensitif. Pendidikan yang mengajarkan penghormatan terhadap kebebasan individu dan simbol agama akan sangat membantu dalam menciptakan masyarakat yang harmonis.
Saran: Perlu ada upaya lebih dalam memperkuat pendidikan tentang toleransi, baik di sekolah maupun di masyarakat. Hal ini akan membantu generasi mendatang untuk memahami dan menghargai perbedaan, sehingga dapat menghindari tindakan yang merugikan pihak lain.
3. Proses Hukum yang Adil dan Tidak Memberatkan
Hukum harus memberikan perlindungan yang adil tanpa memberatkan pihak mana pun secara berlebihan. Setiap individu berhak untuk menyuarakan pendapatnya, namun jika ada pihak yang merasa terhina, harus ada pertimbangan yang bijaksana dalam proses hukum agar tidak menimbulkan ketegangan lebih lanjut.
Saran: Proses hukum perlu dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan semua bukti dan konteks yang ada . Selain itu, sangat penting untuk memberikan kesempatan bagi setiap pihak untuk menyelesaikan masalah ini melalui pendekatan dialog dan klarifikasi sebelum mengambil langkah hukum yang lebih jauh.
Kasus Isa Zega yang dipolisikan setelah mengenakan hijab saat umrah memunculkan perdebatan panjang terkait kebebasan berekspresi dan penistaan agama. Di satu sisi, ada yang melihat tindakan Isa sebagai ekspresi kebebasan pribadi, di mana setiap individu berhak memilih cara berpakaian dan mengekspresikan keyakinannya. Mereka berpendapat bahwa kebebasan beragama dan berekspresi adalah hak yang harus dihormati, dan seharusnya tidak ada yang menghakimi keputusan seseorang dalam hal penampilan, selama tidak melanggar ketertiban umum.
Namun, di sisi lain, ada pihak yang merasa bahwa tindakan Isa tidak bisa dipandang enteng, karena hijab bagi umat Muslim adalah simbol agama yang sangat sakral. Bagi mereka, hijab bukan sekadar aksesori, tetapi bagian dari identitas dan kewajiban agama. Oleh karena itu, mengenakan hijab tanpa pemahaman atau kesungguhan dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap ajaran Islam. Dalam perspektif ini, tindakan Isa Zega dianggap sebagai penistaan agama, yang bisa merusak makna dan kesakralan hijab itu sendiri.
Perdebatan ini menyentuh isu penting dalam masyarakat yang pluralistik, yaitu bagaimana menyeimbangkan kebebasan individu dengan penghormatan terhadap norma agama yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Dalam hal ini, hukum harus mampu menavigasi perbedaan pandangan tersebut dengan bijaksana. Sementara itu, penting untuk diingat bahwa kebebasan beragama seharusnya tidak menjadikan seseorang merasa dihakimi atau dipaksakan mengikuti suatu standar yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
Harapan ke depannya adalah agar perdebatan ini bisa membuka ruang untuk dialog yang lebih konstruktif mengenai kebebasan beragama dan berekspresi di tengah masyarakat yang majemuk. Semoga masyarakat dapat lebih memahami bahwa perbedaan pandangan terkait simbol agama, seperti hijab, bukanlah alasan untuk saling menghujat atau menyinggung perasaan. Sebaliknya, kasus ini bisa menjadi momentum untuk saling menghormati perbedaan dan lebih terbuka terhadap perspektif orang lain.
Selain itu, diharapkan hukum di Indonesia mampu memberikan perlindungan yang adil dan bijaksana, dengan mempertimbangkan nilai-nilai kebebasan pribadi dan penghormatan terhadap agama dan budaya. Semoga melalui perdebatan ini, masyarakat dapat lebih matang dalam menyikapi perbedaan, menjaga toleransi, dan merayakan keragaman yang ada. Ibadah harus dilakukan sesuai aturan dan syariat yang ditetapkan oleh agama yang kita anut.[]