Oleh : Madyasim, S.Pd (Anak Hulu Sunge Temiang)*
Di sebuah ujung rimba yang tidak tergambar pada peta manapun, tersembunyi sebuah negeri bernama Temiang. Negeri ini tak terlihat oleh mata manusia biasa, karena diselimuti kabut lembut dan dilindungi oleh hutan bambu raksasa yang bersenandung bila diterpa angin.
Tersebutlah seorang anak bernama Pucuk Suluh, berusia dua belas tahun, yang tinggal di kaki Gunung Pindeng bersama ibunya yang seorang pembuat anyaman bambu. Pucuk Suluh adalah anak yang dilahirkan oleh ibunya di dalam rumpun bambu dan dia memiliki sifat rasa ingin tahu, tapi ia belum pernah meninggalkan desanya. Ia sering memandangi puncak gunung yang menjulang tinggi sambil bertanya-tanya: “Apa yang ada di balik sana?”
Sampai suatu pagi, ketika seekor burung Punai Tanah hinggap di jendela rumahnya, membawa secarik daun rebung yang tertulis dalam aksara aneh. Ibunya yang membaca pesan itu mendadak terdiam. Ia lalu memeluk Pucuk Suluh erat-erat dan berkata, “Anakku, waktumu telah tiba. Ini adalah panggilan dari Negeri Pucuk Rebung. Leluhur kita berasal dari sana. Dan kau, Pucuk Suluh, ditakdirkan melakukan perjalanan suci untuk membangunkan penjaga rebung terakhir.”
Pucuk Suluh hanya bisa terpaku. Ia tak tahu bahwa darah petualang mengalir dalam dirinya. Tapi malam itu, ia memutuskan untuk berangkat. Dengan bekal kue rasidah, kendi air, dan selembar tikar rajutan ibunya, ia menapaki hutan bambu dan melangkah ke dalam kabut.
Hutan itu bukan hutan biasa. Setiap batang bambu bernafas perlahan, dan jika diperhatikan, mereka bergoyang meski tanpa angin. Di tengah perjalanan, Pucuk suluh bertemu dengan seorang makhluk kecil berwajah bulat, bertelinga panjang, mengenakan topi daun keladi. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Mente, penjaga jalan rahasia.
“Kau akan diuji, Pucuk suluh,” kata mente sambil berjalan dengan langkah kecil. “Jalan menuju Negeri Pucuk Rebung bukan hanya soal kaki yang kuat, tapi juga hati yang bersih.”
Pucuk Suluh dan Mente menyeberangi sungai dari air bening seperti kaca, memanjat pohon yang tumbuh terbalik, dan melewati jurang yang dijaga burung-burung bayangan. Namun ujian sebenarnya datang ketika mereka tiba di Lembah Buluh —tempat di mana setiap orang bisa kehilangan ingatan bila tak waspada.
Saat Pucuk Suluh mulai melupakan nama ibunya dan tujuan perjalanannya, Mente menyanyikan lagu bambu tua yang pernah diajarkan ibunya dulu. Lagu itu menjadi nyala di hatinya dan menyelamatkannya dari lupa. Itulah kali pertama Pucuk Suluh sadar: cinta pada keluarga adalah tali yang mengikatnya pada jati diri.
Perjalanan membawa mereka ke Kota Bambu, tempat orang-orang hidup dalam rumah berbentuk gulungan daun rebung. Di sini, Pucuk suluh harus bertemu dengan Pucuk Rotan, seorang tetua tua yang konon tahu rahasia Negeri Pucuk Rebung.
Pucuk Rotan ternyata tidak mudah diajak bicara. Ia hanya mau menjawab satu pertanyaan, dan jika salah, maka Pucuk Suluh akan dikurung dalam buku bambu selama seratus tahun.
Pertanyaannya sederhana, namun menjebak:
“Apa yang lebih kuat dari angin, lebih dalam dari akar, tapi tak bisa disentuh tangan?”
Pucuk Suluh berpikir keras. Ia hampir menjawab “waktu”, tapi kemudian ia mengingat pelukan ibunya, suara Mente, dan lagu yang menyelamatkannya. Maka ia menjawab:
“Kenangan.”
Pucuk Rotan tersenyum. “Benar. Kau telah membuka gerbang Pucuk Rebung. Tapi perjalananmu baru dimulai.”
Dari beliau, Pucuk Suluh mendapat sepotong rebung cahaya, yang hanya akan menuntun jalan saat malam paling gelap tiba.
Di punggung pegunungan, mereka menemukan Danau Cermin, tempat langit terpantul begitu sempurna hingga tak bisa dibedakan mana di atas mana di bawah. Di sini tinggal makhluk yang disebut Harimau Aulia, penjaga antara dunia manusia dan Negeri Pucuk Rebung.
Untuk bisa melanjutkan perjalanan, Pucuk Suluh harus menjawab pertanyaan dari Miang:
“Apa yang kau cari, Pucuk Suluh? Apakah kemuliaan? Keajaiban? Atau jawaban tentang dirimu sendiri?”
Pucuk Suluh, yang telah melihat begitu banyak keajaiban, menjawab dengan jujur, “Aku tak tahu pasti. Tapi aku merasa harus melanjutkan, karena hatiku tak bisa diam.”
Harimau Aulia menatapnya lama. Lalu ia berlutut, dan tubuhnya berubah menjadi jembatan cahaya menyeberangi danau. Di ujung jembatan itu, berdiri sebuah gerbang bambu yang tumbuh sendiri, membuka pelan-pelan.
Pucuk Suluh akhirnya tiba. Negeri Pucuk Rebung terbentang indah. Gunungnya dari batu giok, sawahnya dari embun, dan langitnya dihuni kupu-kupu berwarna Hijau.
Namun negeri ini sepi. Sunyi. Penduduknya membeku menjadi patung bambu. Di tengah kota utama, berdiri sebuah menara rebung yang memanjang ke langit. Dari dalam menara terdengar suara tangisan kecil.
Pucuk Suluh mendaki menara itu. Di puncaknya, ia menemukan seorang gadis kecil berpakaian sutra pucuk, duduk sendirian dengan air mata yang terus menetes. Namanya adalah Sari Langit, sang penjaga rebung terakhir yang tertidur selama seribu bulan, menunggu seseorang yang benar-benar tulus untuk membangunkannya.
Pucuk Suluh tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya mendekat dan mengulurkan tikar rajutan ibunya. “Kau tak sendiri,” katanya.
Dengan satu sentuhan, air mata Sari Langit berubah menjadi hujan cahaya yang membasahi negeri.
Patung-patung bambu hidup kembali. Negeri itu pun bangkit, bernyanyi, menari, dan bunga-bunga rebung mekar di seluruh penjuru. Pucuk Suluh tidak tahu bahwa dengan perjalanannya, ia telah memulihkan kehidupan yang hilang.
Sari Langit menawarkan Pucuk Suluh untuk tinggal dan menjadi pelindung negeri. Tapi Pucuk Suluh berkata, “Aku ingin pulang. Ibuku menungguku. Dan aku ingin menceritakan bahwa keajaiban memang nyata.”
Sebagai hadiah, Sari Langit memberinya sebiji rebung emas. “Tanamlah di halaman rumahmu. Ia akan tumbuh hanya sekali seumur hidup, tapi saat itu tiba, dunia akan tahu bahwa Negeri Pucuk Rebung bukan dongeng.”
Pucuk Suluh dan Mente pun kembali. Perjalanan pulang terasa singkat, karena hati mereka telah penuh. Setiba di rumah, ibunya menanti dengan senyum dan peluk yang tak pernah berubah.
Ia menanam rebung itu diam-diam di belakang rumah. Dan suatu pagi, bertahun-tahun kemudian, rebung itu tumbuh hingga menembus awan. Dan dari ujungnya, turun cahaya yang membimbing anak-anak di kampungnya.[]
*Guru di SMP Negeri 1 Karang Baru Aceh Tamiang








