Dimana yang kita ketahui RUU Perampasan aset sudah ada sejak tahun 2000-an, sebagai respons terhadap upaya peningkatan penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi. RUU ini pertama kali diusulkan dalam Prolegnas periode 2010-2014 dan 2015-2019, tetapi terus di tunda. Hingga saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset belum disahkan oleh DPR RI. Meskipun sudah diusulkan dalam beberapa periode, Pada tahun 2023, Presiden Joko Widodo kembali mengajukan pembahasan RUU ini, dan masuk dalam Prolegnas Prioritas.
Presiden Joko Widodo telah menyatakan dukungannya terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai langkah penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Jokowi mengirimkan surat Presiden ke DPR untuk mendesak pembahasan RUU ini. Menurutnya, regulasi ini penting untuk mempercepat proses perampasan aset ilegal yang terkait dengan tindak pidana, sehingga dapat memulihkan kerugian negara lebih efektif.
Saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tengah menjadi sorotan publik dan pemerhati hukum di Indonesia. Di satu sisi, undang-undang ini dianggap sebagai senjata ampuh untuk melawan korupsi dan kejahatan keuangan yang masih menggerogoti negeri ini. Dimana ini menjadi harapan untuk pemberantasan korupsi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kejahatan korupsi di Indonesia masih menjadi masalah serius.
Skandal demi skandal yang mencuat menunjukkan betapa mengakar kuatnya praktik korupsi di berbagai lini, mulai dari pemerintahan hingga sektor swasta. RUU Perampasan Aset menawarkan solusi yang lebih progresif dengan memungkinkan negara untuk menyita aset yang diduga berasal dari kejahatan, bahkan sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jika diterapkan dengan benar, undang-undang ini akan memberikan efek jera yang lebih kuat bagi para pelaku kejahatan. Bukan hanya ancaman hukuman penjara yang akan mereka hadapi, tetapi juga risiko kehilangan semua aset yang mereka peroleh dari hasil kejahatan. Ini bisa menjadi langkah maju dalam upaya pemulihan kerugian negara dan memastikan bahwa hasil kejahatan tidak dapat dinikmati oleh pelaku atau diwariskan kepada pihak lain.
Meski begitu, penerapan RUU ini tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa tanpa memperhatikan aspek keadilan dan kepastian hukum. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum. Tanpa pengawasan yang ketat, kekuasaan untuk menyita aset bisa disalahgunakan untuk tujuan yang tidak semestinya, seperti kriminalisasi pihak tertentu atau penindasan terhadap oposisi politik. Yang dimana Presiden Jokowi biasanya mengedepankan pentingnya upaya pemberantasan korupsi dan perlindungan terhadap aset negara.
Terkait RUU perampasan aset, Jokowi mungkin menekankan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan memperkuat langkah-langkah dalam menindak pelanggaran yang merugikan negara. Dukungannya terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai langkah penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Namun, Jokowi juga mengakui bahwa pembahasannya perlu dilakukan secara hati-hati agar sesuai dengan prinsip hukum dan keadilan. Oleh karena itu, mekanisme perampasan aset ini harus dirancang sedemikian rupa agar tetap menghormati prinsip due process of law.
RUU bisa juga menjadi ancaman dari Hak Asasi Manusia dan Kepastian Hukum. Dimana RUU ini harus mempertimbangkan aspek kepastian hukum. Karna dalam prinsip hukum pidana sesorang tidak dapat dikatakan bersalah hingga terbukti melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Bayangkan jika seorang warga negara yang belum terbukti bersalah tiba-tiba harus kehilangan asetnya karena dugaan yang belum terbukti. Dampak sosial, ekonomi, dan psikologis bagi individu dan keluarganya tentu tidak bisa dianggap remeh. Ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintah, yang pada akhirnya justru kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
Untuk itu, agar RUU Perampasan Aset dapat berjalan efektif tanpa mengabaikan prinsip keadilan, diperlukan penguatan pada lembaga-lembaga pengawasan dan penegakan hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan.
RUU ini harus melalui proses uji publik yang mendalam agar tidak hanya responsif terhadap kebutuhan pemberantasan korupsi, tetapi juga tidak mengabaikan hak-hak dasar warga negara.
Pada akhirnya, RUU Perampasan Aset memang menawarkan harapan baru dalam upaya melawan korupsi di Indonesia. Namun, kita tidak boleh menutup mata terhadap potensi risiko yang mungkin timbul. Kita membutuhkan regulasi yang kuat, tetapi juga adil dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta prinsip-prinsip negara hukum. Regulasi ini harus dirancang dan diterapkan dengan sangat hati-hati agar tujuan mulianya tidak berubah menjadi bumerang yang merusak tatanan hukum dan keadilan.[]
Pengirim :
Cahya Fitri Ramadhani, Mahasiswa FH Universitas Bangka Belitung, Hp/WA : 087890386287