Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, bersama lingkungan peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, berada di bawah Mahkamah Agung (Pasal 24 UUD 1945, Pasal 18 UU No.48 Tahun 2009). Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Pasal 1 ayat 1 UU No.7 Tahun 1989), merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dengan Undang-Undang (Pasal 2 UU No, 3 Tahun 2006).
Hukum Islam bukalah sebutan yang terkenal dalam tradisi Islam awal. Ini merupakan konsep yang sama sekali baru. Sehingga, kala diucap kata hukum Islam, hingga wajib ditelisik lebih lanjut apa yang dimaksudkan sebutan tersebut. Lalu, gimana metode kerja sistem hukum di peradilan berbasis agama dewasa ini?
Sebutan hukum dewasa ini merujuk pada bermacam peraturan ataupun norma yang sudah terdapat ataupun yang terencana terbuat buat mengendalikan tingkah laku orang dalam suatu masyarakat. Serta itu ditegakkan oleh kekuasaan. Sebaliknya sebutan Islam merujuk pada agama Islam itu sendiri. Dengan demikian, bisa dimengerti kalau Sebutan hukum Islam ialah peraturan legal- positif yang digali dari prinsip- prinsip Islam yang diberlakukan pada suatu masyarakat oleh kekuasaan.
Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memtus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orag yang beragama Islam di bidang : Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Shadaqah, dan Ekonomi syariah.
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Sebuah daerah di Indonesia yang mempraktikkan qanun merupakan Aceh. Dalam sistem hukum kontemporer dalam konteks nation state, qanun tersebut setara dengan peraturan daerah( Perda). Dalam permasalahan ini, sudah jelas kalau itu merupakan fiqih serta ataupun syariah yang sudah hadapi positivisasi. Mereka yang terletak dalam daerah tersebut terikat dengan qanun tersebut. Walaupun dalam sebagian permasalahan, qanun tersebut terus dipersoalkan sebab dikira diskriminatif. Banyak golongan yang mempersoalkan qanun di Aceh. Para aktifis HAM banyak yang mengancam dalam kaitannya dengan hudud serta sejenisnya. Apalagi qanun Aceh ini umumnya diucap perda bernuansa agama ataupun apalagi perda diskriminatif.
Terlepas dari perkara tersebut, pembahasan ini hendak berikan ilustrasi tentang hukum Islam. Contoh tidak hanya qanun Aceh merupakan Kompilasi Hukum Islam( KHI). KHI ialah penumpukan fikih yang sudah hadapi positivisasi sebagaimana qanun.
Peradilan Agama pada masa penjajahan kolonial Belanda dapat dilihat kedalam dua bentuk yaitu: Pertama, toleransi pihak Belanda melalui VOC (Vereenigde Oots-Indische Compagnie) yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan Hukum Islam, dikenal dengan penerapan teori Receptie in complex yang dipelopori oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg yang mengajarkan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka.
Dalam sistem ketatanegaraan Hindia Belanda, Peradilan Agama secara yuridis formal memiliki kedudukan sebagai Pengadilan Negara. Kedudukan Peradilan Agama menjadi Lembaga Negara, menjadi dasar bagi kewajiban pemerintah membentuk Peradilan Agama di setiap daerah yang sudah ada landraad (Pengadilan Negeri). Kedua, upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum Adat.
Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven menentang teori Receptie in complex, mereka membuat teori baru, yaitu teori receptive yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia bukan hukum Islam melainkan Hukum adat, hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak Kedua, upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum Adat. Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven menentang teori Receptie in complex, mereka membuat teori baru, yaitu teori receptive yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia bukan hukum Islam melainkan Hukum adat, hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat dan sudah diterima (diresepsi).
Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam struktur organisasi Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.[]
Penulis :
Karintan Marela, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Hp/WA : 822-8122-40xx