Aksesibilitas Penggunaan Gas Elpiji 3 Kg sebagai Penopang UMKM di Alun-Alun Pangkalpinang

Gas di Indonesia memainkan peran yang secara krusial dalam mendukung proses pembangunan. Selain berperan sebagai sumber utama devisa hal ini juga penting untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Pada tahun 2011, pemerintah yang mengambil langkah secara strategis untuk merngurangi beban anggaran negara akibat subsidi, melalui upaya yang dilakukan dengan program konversi dari minyak tanah bersubsidi ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) berukuran 3 kg.

Elpiji 3 Kg atau sering disebut elpiji Melon merupakan Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 Kg adalah satu komoditas di sektor migas yang diproduksi oleh PT. Pertamina (Persero) dan mendapatkan subsidi secara penuh dari pemerintah yakni minyak tanah, dengan tujuan konsumen yang dapat beralih ke elpiji (Norjanah,2024 et.al). Tabung elpiji 3Kg adalah elpiji tabung yang diisi dengan gas elpiji seberat 3 Kg.

Tabung yang memiliki warna hijau muda, menjadi ciri khas pada produk bersubsidi dengan menggantikan minyak tanah. Penggunaan elpiji sebagai bentuk dari pengganti minyak tanah, dengan mengkhususkan subsidi pada masyarakat miskin yang selama ini dapat ditanggung oleh APBN dalam pemakaian elpiji tersebut.

Di Indonesia, cadangan gas alam jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan minyak bumi. Namun, dalam hal pemanfaatannya, situasi justru berbeda. Penggunaan minyak tanah di sektor rumah tangga mencapai 17,35%, sementara gas bumi hanya 0,05%. Selama ini, minyak tanah telah menjadi bahan bakar yang disubsidi dengan total mencapai Rp 48,2 triliun pada tahun 2008.

Tujuan dari kebijakan konversi minyak tanah bersubsidi ke elpiji 3 kg ini adalah untuk melakukan diversifikasi pasokan energi guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk efisiensi anggaran pemerintah, mengingat penggunaan gas elpiji lebih efisien dan subsidi yang diberikan lebih kecil dibandingkan subsidi minyak tanah. Dengan demikian, elpiji diharapkan dapat menyediakan bahan bakar yang praktis, bersih, dan efisien bagi rumah tangga dan usaha mikro (Anonim, 2014 dalam Safitri).

Program konversi dari minyak tanah ke gas elpiji telah dijalankan selama lebih dari lima tahun, dimulai pada tahun 2011. Namun, dalam pelaksanaannya, program ini tidak sepenuhnya sesuai dengan keadaan yang dihadapi masyarakat. Proses perubahan dari penggunaan minyak tanah ke gas elpiji di berbagai wilayah ternyata tidak gampang, mengingat tantangan dalam mengubah perilaku konsumsi energi bahan bakar rumah tangga (Amiruddin, 2016 dalam Safitri).

Baca Juga :  Apkasindo Persilakan Kajati Aceh Usut Dugaan Penyimpangan Peremajaan Sawit

Permintaan yang terus meningkat di masyarakat dalam pemenuhan konsumsi di kalangan masyarakat terhadap Gas Elpiji 3 kg. Peningkatan permintaan Gas Elpiji 3 kg yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Peningkatan permintaan masyarakat terhadap jumlah Gas Elpiji 3Kg mengalami peningkatan baik dikalangan masyarakat bersubsidi, maupun permintaan masyarakat untuk usahanya.

Fenomena pengaruh peningkatan harga dan pemasokan yang terjadi di masyarakat, mengalami proses peningkatan sehingga menimbulkan terjadinya kelangkaan yang dialami oleh masyarakat. Permasalahan kelangkaan yang terjadi di Kota Pangkal Pinang yang disebabkan ketersediaan pasokan gas elpiji juga tersendat-sendat sehingga menyebabkan harganya juga ikut melambung naik.

Karena stok kosong harga gas elpiji 3 Kg yang sempat menyentuh Rp.35.000,-hingga Rp.40.000,-pertabung, padahal gas yang seharusnya dijual sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp. 18.000 ribu per tabung, begitu pula gas elpiji 12 Kg (Bangkapos, 28 Januari 2025).

Kelangkaan gas elpiji 3 kg berpengaruh pada masyarakat yang bukan hanya dikalangan rumah tangga saja, tetapi juga berpengaruh pada UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menegah) di alun-alun kota Pangkal pinang yang merasakan dampak akibat kelangkaan gas elpiji 3 kg dan harga yang melambung tinggi, dengan aksesibilitas dalam pengambilan gas elpiji 3 kg sesuai dengan persyaratan dari setiap pendistribusian gas.

Penggunaan gas elpiji saat sampai di pangkalan dengan harga elpiji 3 kg telah disubsidikan oleh pemerintah. Namun realitanya yang terjadi dilapangan, ada pula pihak pangkalan yang menjual diatas harga eceran tertinggi (HET) kepada masyarakat. Selain itu, dapat memanfaatkan pasukan gas dengan cara menjual pada eceran kios-kios atau pedagang eceran dengan keuntungan yang melebihi dari standar.

Harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan oleh pemerintah Rp.18.000 per tabung.Namun, yang dilakukan oleh pihak pangkalan tersebut yang menjual kemasyarakat dan kepada pedagang eceran dengan harga yang lebih dari harga subsidi dan pedagang eceran menjual kepada masyarakat, harga kisaran Rp.20.000, Rp.25.000 s/d Rp.35.000, bahkan mencapai Rp.40.000 per tabung. Gas elpiji 3 kg merupakan elpiji subsidi yang diberikan kepada masyarakat kurang mampu dengan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Baca Juga :  Peran dan Tantangan Akuntan Menjaga Stabilitas Usaha di Masa Pandemi

Kebijakan pemerintah untuk menjual elpiji 3kg hanya dipangkalan resmi Pertamina dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang bertujuan untuk memastikan distribusi yang tepat sasaran. Namun, kebijakan ini bisa menimbulkan maslaah baru, terutama bagi masyarkat menengah ke bawah.

UMKM yang sangat tergantungan pada gas elpiji ini sebagai kebutuhan utama. Adanya pembatasan distribusi elpiji 3 kg bisa mempersulit masyarakat yang mengandalkan ketersediaan elpiji di pangkalan. Dengan kebijakan ini, masyarakat harus mengambil tindakan jauh untuk mendapatkan elpiji bersubsidi.

Kondisi ini tidak hanya berdampak pada rumah tangga akan tetapi juga berdampak pada rumah tangga, akan tetapi juga berdampaj pada pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang berimbas kenaikan harga bahan bakar atau biaya transportasi meningkat yang mempengaruhi biaya produksi dan distribusi elpiji. Ini dapat mendorong kenaikan harga dipasar.

Pada peraturan kebijakan yang menekan ketidakseimbangan dalam distribusi dan menjaga stabilitas harga. Dengan mewajibkan penjual elpiji 3 kg hanya dipangkalan resmi, masyarakat diharapkan dapat membeli gas tersebut sesuai dengan HET yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan ini juga bertujuan agar subsidi elpiji 3 kg benar-benar tepat sasaran.

Sebab, elpiji bersubsidi seharusnya hanya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha mikro. Praktiknya banyak rumah tangga yang mampu dan bahkan perusahaan besar ikut memanfaatkan gas melon ini. Dengan menerapkan sistem distribusi yang lebih ketat di pangkalan resmi, pemerintah diharapkan dapat lebih mudah mengawasi siapa saja yang berhak membeli gas bersubsidi.

Namun disisi lain, kebijakan ini juga dianggap menyulitkan masyarakat, terutama mereka yang tinggal jauh dari pangkalan resmi. Selama ini, pengecer menjadi solusi praktis bagi warga yang ingin mendapatkan gas dengan mudah tanpa harus menempuh perjalanan jauh ke pengkalan. Kebijakan ini berpotensi menambah beban masyarakat, khususnya didaerah pedesaan dan pelosok.

Baca Juga :  Strategi Pemasaran Pelaku UKM di Era Digitalisasi

Seiring berjalannya waktu, distribusi elpiji 3 kg telah mengalami berbagai perubahan, salah satunya adalah kebijakam terbaru yang mewajibkan pencatatan pembelian menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk mencegah penyalahgunaan subsidi. Implementasi kebijakan ini justru menyulitkan masyarakat yang sebenarnya sangat membutuhkan. Banyak warga yang belum terdaftar dalam sistem atau mengalami kesulitan akses, sehingga mereka kesulitan untuk membeli elpiji dengan mudah.

Adapun persepsi masyarakat terhadap kelangkaan gas elpiji 3 kg yang menunjukkan bahwa gas ini memiliki peranan penting, terutama bagi kalangan masyarakat kelas bawah yang sangat bergantung pada subsidi pemerintah. Kebijakan larangan penjualan elpiji 3 kg di pengecer ternyata justru menyulitkan masyarakat kecil dan para pengusaha mikro. Kebijakan ini membatasi akses masyarakat terhadap gas melon, terutama di daerah-daerah terpencil, mengancam keberlangsungan usaha pengecer kecil.

Dalam konteks ini, kebijakan tersebut bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mendukung rakyat kecil. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengevaluasi kebijakan ini kembali demi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat UMKM (usaha mikro kecil menengah) sebagian yang mengungkapkan kekhawatirannya terkait kelangkaan gas elpiji 3 kg, dengan harapan penyaluran dapat lebih lancar dan tepat sasaran.

Bahkan di beberapa pangkalan yang menjadi pemasokan bagi masyarakat UMKM yang mengalami keterbatasan dari pemasukan gas elpiji 3 kg, sehingga mengharuskan masyarakat terutama UMKM harus mencari pangkalan lain untuk memenuhi gas tersebut, yang digunakan untuk saat berdagangnya.

Untuk mendapatkan gas elpiji 3 kg di Kota Pangkalpinang saat ini masih tergolong sulit untuk mengakses gas elpiji terkhususnya bagi usaha mikro, rumah tangga, petani dan nelayan. Sedangkan, usaha mikro kecil menengah (UMKM) di alun-alun kota Pangkalpinang untuk mendapatkan gas elpiji 3 Kg melalui pangkalan, yang sudah menjadi langganan bagi UMKM itu sendiri.[]

Pengirim :
Riyadus soleha, Deby Afriani, Hestika Nabilah (mahasiswa Universitas Bangka Belitung)

banner 300250