Attack on Titan bukan sekadar kisah peperangan melawan monster raksasa. Di balik aksi dan drama emosionalnya, serial ini menyimpan lapisan narasi yang sangat kompleks—tentang pengkhianatan, politik kotor, konspirasi yang mendalam, sejarah yang dipelintir, dan siklus kebencian yang terus berulang. Semua tema ini tidak hanya membentuk inti cerita, tetapi juga menjadi refleksi dari kenyataan pahit yang kita hadapi dalam dunia nyata.
Salah satu tema sentral dalam Attack on Titan adalah pengkhianatan. Karakter seperti Reiner, Bertholdt, dan Annie yang awalnya hadir sebagai pahlawan, ternyata adalah musuh dalam selimut. Namun, seiring waktu, kita menyadari bahwa mereka bukan semata-mata jahat, melainkan korban dari propaganda dan sistem yang lebih besar. Pengkhianatan dalam cerita ini bukan hitam-putih, melainkan abu-abu yang menohok nurani—seperti dalam dunia nyata, di mana kepentingan negara, kelompok, atau ideologi seringkali membuat seseorang mengorbankan prinsip dan bahkan nyawa orang lain.
Cerita ini juga dibumbui politik busuk. Pemerintahan di dalam tembok merahasiakan kebenaran sejarah demi menjaga kekuasaan. Informasi dikendalikan, rakyat dibohongi, dan pemberontakan dipadamkan dengan kekerasan. Ini mengingatkan kita pada rezim totaliter di dunia nyata, di mana manipulasi informasi dan penghapusan sejarah menjadi senjata ampuh untuk mempertahankan kekuasaan. Fakta bahwa tokoh seperti Historia dimanfaatkan demi legitimasi politik juga menggambarkan bagaimana simbol-simbol diolah untuk kepentingan elite.
Konspirasi dan manipulasi sejarah menjadi senjata paling berbahaya dalam cerita. Sejarah yang dilupakan atau disalahartikan menciptakan konflik antar generasi dan bangsa. Bangsa Eldia dianggap iblis oleh Marley, padahal kebenaran jauh lebih kompleks. Ini mencerminkan bagaimana sejarah dunia nyata sering ditulis oleh pihak yang menang, mengaburkan fakta demi menjaga narasi tertentu. Genosida, penjajahan, dan perbudakan diselimuti oleh justifikasi moral yang palsu.
Puncaknya, Attack on Titan adalah cerita tentang siklus kebencian. Dendam antara Eldia dan Marley telah berlangsung selama ratusan tahun. Eren, yang awalnya pahlawan, menjadi lambang kebencian dan kehancuran saat mencoba mengakhiri siklus itu dengan cara ekstrem. Hal ini paralel dengan konflik dunia nyata—antara bangsa, agama, atau ideologi—yang diwariskan dari generasi ke generasi, hingga tak lagi bisa dibedakan siapa korban dan siapa pelaku.
Isayama secara cerdas menyusun cerita ini bukan untuk memberikan solusi, tapi untuk membuka mata kita: bahwa dunia bukan soal benar atau salah, melainkan soal memahami dan memutus rantai kebencian. Kita hidup di zaman di mana kebohongan politik, konflik kepentingan, dan dendam sejarah terus memicu perang, diskriminasi, dan perpecahan.
Attack on Titan bukan sekadar fiksi. Ia adalah cermin. Dan kita, para penontonnya, harus berani menatap pantulan itu—lalu bertanya, apakah kita akan terus mengulang sejarah… atau mulai menciptakan akhir yang berbeda?
Penulis :
Anjaz Saputra, Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Pamulang