Jeumpa dan Cempala Kuneng: Simbol Aceh yang Kian Terlupakan

Aceh, Opini0 Dilihat

Oleh: Sayed Mahdi, SP, M.Si, M.MA*

SETIAP tanggal 5 November bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Ini merupakan sebuah momentum yang sejatinya menjadi pengingat bagi kita untuk mencintai, melestarikan, dan selalu mengenal lebih dekat akan flora serta fauna khas negeri ini. Namun, di tengah antusias dan semarak kampanye cinta lingkungan hidup, ada cerita sunyi dari ujung barat Nusantara, dua simbol kebanggaan daerah perlahan mulai memudar dari pandangan dan ingatan generasi muda.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 1989 tanggal 1 September 1989 tentang Pedoman Penetapan Identitas Flora dan Fauna Daerah, telah ditetapkan yang menjadi flora identitas Provinsi Aceh adalah Bunga Jeumpa (Michelia champaca) dan Fauna Identitas Povinsi Aceh, Ceumpala Kuneng (Trichixos pyrropygus).

Bungong Jeumpa, bunga keharuman yang mewakili keelokan Nanggroe Aceh, kini nyaris tak lagi mekar di pekarangan rumah warga. Nama bunga yang dahulu harum bukan hanya karena wanginya, tetapi karena maknanya yang dalam di dalam budaya Aceh, kini hanya tersisa dalam bait-bait lagu daerah yang dinyanyikan di acara-acara seremonial. Ironisnya lagi, banyak anak muda Aceh masa kini mungkin bisa melantunkan lagu “Bungong Jeumpa”, tetapi tak tahu bagaimana rupa, warna, atau bahkan aroma bunga aslinya si bungong jeumpa.

Dulu, Bungong Jeumpa tumbuh mekar di bawah sinar matahari pagi di rumah-rumah warga di pedesaan. Warnanya yang putih agak menguning keemasan melambangkan semangat, keteguhan, dan keharuman nama baik daerah dan bangsa Aceh. Ia menjadi simbol perempuan Aceh yang lembut namun tegar, serta melambangkan semangat hidup masyarakat yang gigih dalam menghadapi tantangan. Namun kini, pemandangan itu nyaris hampir punah. Bungong Jeumpa seakan tergantikan oleh tanaman hias impor yang lebih modern, atau bunga plastik yang tak pernah layu, namun juga tak pernah punya makna.

Baca Juga :  Tradisi Lopis Raksasa Desa Krapyak Kota Pekalongan

Yang lebih menyedihkan lagi, generasi Gen Z bahkan hampir tak pernah mendengar nama bunga ini disebut di luar lagu daerah Aceh. Mereka lebih mengenal lavender, tulip, bugenvil, cherry blossom, atau sunflower, tetapi tidak tahu apa itu Bungong Jeumpa yang merupakan puspa resmi daerah mereka sendiri. Padahal bunga ini bukan sekadar tanaman hias; tapi ia adalah simbol identitas, bagian dari jiwa kebudayaan Aceh yang telah diwariskan turun-temurun.

Sementara itu, satwa khas Aceh Cempala Kuneng, juga menghadapi nasib yang tak kalah muram. Burung berwarna kuning kecokelatan yang dulunya sering terlihat beterbangan di sawah dan rawa-rawa pedesaan Aceh, kini hampir tak pernah lagi menampakkan keindahannya dirinya. Di tahun 1980-an dan 1990-an, nama Cempala Kuneng masih populer bahkan diabadikan dalam lagu daerah yang sering diputar di radio-radio lokal. Namun kini, nyanyian itu seolah telah lenyap, begitu juga dengan sosok burungnya.

Banyak faktor yang berkontribusi menghilangnya si cicem cantik ini, mulai dari perubahan bentang alam, alih fungsi lahan, dan hilangnya ekosistem alami menjadi faktor utama hilangnya Cempala Kuneng dari langit Aceh. Sawah berganti permukiman dan perkebunan, rawa yang dikeringkan dan hutan yang ditebang. Padahal, kehadiran burung ini dulu menjadi penanda keseimbangan alam, ketika Cempala Kuneng masih terbang di atas pematang sawah, itu berarti alam masih sehat, air masih jernih, dan serangga masih melimpah. Kini, yang tersisa hanya kenangan dan lagu “Cempa Kuneng” yang tak lagi dinyanyikan.

Baca Juga :  Pj Bupati Atam : Kakao Komoditi Penting Pengembangan Ekonomi Lestari

Kehilangan Bungong Jeumpa dan Cempala Kuneng bukan hanya soal hilangnya dua spesies lokal. Lebih dalam daripada itu, ini adalah hilangnya identitas ekologis dan budaya Aceh. Dua simbol ini bukan sekadar flora dan fauna, melainkan bagian dari narasi tentang harmoni manusia dan alam, tentang keindahan yang berpadu dengan kearifan. Dan di saat keduanya hilang dari pandangan dan ingatan, kita bukan hanya kehilangan keanekaragaman hayati, tapi juga kehilangan sebagian dari jati diri kita sebagai orang Aceh.

Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, budaya lokal sering kali tersisih. Kita lebih sibuk mempercantik taman dengan tanaman yang “instagramable” daripada menanam bunga atau puspa asli daerah sendiri. Kita lebih sering mendengar kicauan burung peliharaan dari daerah lain bahkan dari luar negeri daripada suara satwa endemik yang seharusnya menjadi kebanggaan kita. Dan ironisnya, kita baru menyadari semua ini ketika semuanya hampir benar-benar hilang.

Momentum Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional seharusnya tidak hanya menjadi seremonial tahunan, tetapi juga menjadi titik balik untuk menghidupkan kembali kesadaran ekologis dan kultural di Aceh. Pemerintah daerah bisa memulai dengan langkah-langkah sederhana namun bermakna, menanam Bungong Jeumpa di setiap kantor dan sekolah-sekolah, memasukkan pengetahuan tentang flora dan fauna lokal dalam kurikulum muatan lokal, serta menggelar lomba atau festival bertema Jeumpa dan Cempala Kuneng untuk anak-anak sekolah.

Baca Juga :  DKPP Berhentikan 2 Penyelenggara Pemilu, Satu dari Aceh Jaya

Lembaga pendidikan, komunitas lingkungan hidup, dan media juga mempunyai peran yang penting dalam usaha menghidupkan kembali memori kolektif masyarakat terhadap dua simbol ini. Lagu-lagu daerah Aceh terkait Bungong Jeumpa dan Cempala Kuneng perlu dipopulerkan kembali, bukan hanya sebagai hiburan, tapi sebagai sarana pendidikan budaya. Begitu pula dengan taman-taman kota dan ruang terbuka hijau, yang bisa dijadikan sarana konservasi dan edukasi publik.

Kita semua tentu sungguh tak ingin jika suatu hari nanti, anak-anak Aceh hanya mengenal Bungong Jeumpa dari arsip lagu lama yang hanya diakses di YouTube, atau mendengar nama dan melihat gambar Cempala Kuneng hanya sebagai catatan sejarah dalam buku pelajaran ataupun hanya sekadar hasil browsing di internet. Kita semua tentu sungguh tidak ingin kehilangan warisan alam dan budaya yang telah lama menjadi kebanggaan rakyat dan daerah Tanah Rencong.

Semoga Cinta terhadap puspa dan satwa tidak hanya diwujudkan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata, dengan menanam, melindungi, dan memperkenalkan kembali kepada generasi muda. Bungong Jeumpa dan Cempala Kuneng harus kembali hidup dan berkembang biak, bukan hanya di tanah Aceh, tapi juga di hati setiap orang Aceh.

Sebab, ketika Bungong Jeumpa tak lagi mekar dan Cempala Kuneng tak lagi terbang, itu suatu pertanda bukan hanya tanda alam yang sakit, tetapi itu suatu pertanda juga bahwa kita orang Aceh mulai kehilangan siapa diri kita sebenarnya.(*)

*Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, email: smahdi_kspg@rocketmail.com

banner 300250