Malu dan Asal Lulus: Resep Racun Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu pilar utama pembangunan bangsa. Dalam konteks Indonesia, pendidikan sering kali dipandang sebagai gerbang menuju kesuksesan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya hambatan yang signifikan dalam mencapai pendidikan yang ideal. Salah satu fenomena yang jarang dibahas tetapi memiliki dampak besar adalah budaya malu dan mentalitas “asal lulus” di kalangan siswa dan bahkan di antara para pendidik.

Budaya malu di sini bukanlah rasa malu yang sehat, seperti malu ketika melanggar norma. Sebaliknya, ini adalah rasa takut untuk bertanya, takut salah, atau takut mencoba sesuatu yang baru. Budaya ini membelenggu proses belajar karena siswa menjadi pasif dan menghindari interaksi. Di sisi lain, mentalitas “asal lulus”, yang ditandai dengan keinginan sekadar memenuhi standar minimum tanpa memedulikan kualitas pemahaman, turut memperburuk situasi. Ketika kedua fenomena ini berpadu, mereka menciptakan resep racun yang melemahkan sistem pendidikan Indonesia.

Budaya malu diduga penghalang kreativitas dan partisipasi, budaya malu dalam konteks pendidikan Indonesia memiliki akar yang kompleks. Banyak siswa merasa malu untuk bertanya karena takut dianggap bodoh oleh teman sekelas atau bahkan oleh guru. Hal ini sering kali diperparah oleh lingkungan yang tidak mendukung diskusi terbuka. Sebagai contoh, survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi aktif siswa Indonesia dalam pembelajaran termasuk salah satu yang terendah di dunia.

Akibat budaya malu ini, siswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas. Mereka cenderung menerima informasi secara pasif tanpa berani mempertanyakan keabsahannya. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan lulusan yang kurang kompetitif di pasar global karena minimnya kemampuan problem-solving dan inovasi.

Baca Juga :  Dinamika Politik Pemilu 2024 dan Tantangan Demokrasi Lokal di Daerah

Di sisi lain, mentalitas “asal lulus” sangat mengorbankan kualitas siswa, mentalitas “asal lulus” merupakan bentuk pragmatisme yang keliru dalam dunia pendidikan. Fenomena ini muncul dari tekanan sistemik, baik dari sisi siswa, orang tua, maupun
sekolah. Siswa hanya berfokus pada nilai akhir atau sekadar memenuhi syarat kelulusan, tanpa memahami esensi pembelajaran itu sendiri. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, sekitar 80% siswa Indonesia merasa tertekan untuk mendapatkan nilai tinggi demi memenuhi harapan keluarga atau masyarakat.

Tekanan ini sering kali memaksa siswa mengambil jalan pintas, seperti mencontek atau hanya belajar untuk ujian tanpa memahami materi secara mendalam. Apalagi sejak ujian nasional dihilangkan siswa menjadi sangat kurang partisipasinya dalam belajar, tentu ini sangat mempengaruhi perspektif siswa dalam pendidikan. Karena biasanya siswa tidak akan berjuang atau belajar lebih keras lagi untuk menghadapi ujian nasional yang merupakan syarat kelulusan, hal ini tentunya membuat kebanyakan siswa tidak perlu belajar lagi dan hanya malas-malasan karena memiliki pemikiran “tanpa belajar juga lulus kok”.

Kombinasi budaya malu dan mentalitas “asal lulus” menciptakan lingkungan pendidikan yang stagnan. Guru kesulitan mendorong siswa untuk lebih aktif, sementara siswa hanya mengikuti pembelajaran dengan tujuan minimalis Akibatnya, sistem pendidikan gagal menghasilkan individu yang benar-benar kompeten dan siap menghadapi tantangan dunia nyata.

Kebijakan yang Ada: Sudahkah Efektif? Berbagai kebijakan telah diterapkan untuk mengatasi permasalahan dalam sistem pendidikan Indonesia. Program seperti Kurikulum Merdeka dan pendekatan berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS) dirancang untuk mendorong siswa berpikir kritis dan aktif berpartisipasi. Namun, implementasinya masih jauh dari ideal. Misalnya, evaluasi awal Kurikulum Merdeka pada tahun 2023 menunjukkan bahwa hanya sekitar 35% guru yang merasa cukup percaya diri menerapkan metode pembelajaran yang menekankan pada diskusi dan kreativitas.

Baca Juga :  5 Tips Menjaga Kesehatan Mental Remaja

Sebagian besar guru mengaku kesulitan mengubah pola pikir siswa yang terbiasa dengan pendekatan tradisional, di mana guru menjadi pusat pembelajaran. Selain itu, kebijakan penilaian berbasis kompetensi sering kali gagal karena kurangnya dukungan infrastruktur dan pelatihan bagi pendidik. Akibatnya, siswa tetap fokus pada nilai akhir sebagai tolak ukur utama, yang memperkuat mentalitas “asal lulus”.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan seperti Menciptakan Lingkungan Pembelajaran yang Inklusif: Guru perlu membangun budaya kelas yang mendukung partisipasi aktif tanpa takut dihakimi. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan metode pembelajaran berbasis kolaborasi, seperti diskusi kelompok kecil atau proyek bersama.

Dengan demikian, siswa merasa lebih nyaman untuk bertanya dan mengungkapkan pendapat mereka. Mengubah Sistem Penilaian: Sistem penilaian harus lebih menekankan proses daripada hasil. Sebagai contoh, pemberian nilai tambahan untuk partisipasi aktif atau kreativitas dapat menjadi insentif bagi siswa untuk lebih berani terlibat dalam pembelajaran. Pelatihan Guru yang Berkelanjutan: Pemerintah harus menyediakan pelatihan yang berfokus pada pengembangan metode pembelajaran interaktif. Guru yang terlatih dengan baik dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam membongkar budaya malu dan mentalitas “asal lulus”.

Baca Juga :  Menkumham Anugerahkan 57 Anggota JDIHN Terbaik Tahun 2023

Melibatkan Orang Tua dalam Proses Pendidikan: Orang tua perlu diberikan pemahaman bahwa pendidikan bukan sekadar soal nilai, tetapi juga pengembangan karakter dan keterampilan. Kampanye edukasi bagi orang tua dapat membantu mengurangi tekanan berlebihan terhadap siswa. Pemanfaatan Teknologi untuk Mendukung Belajar Mandiri: Platform pembelajaran digital seperti Ruangguru atau Zenius dan masih banyak lainnya dapat digunakan untuk mendorong siswa belajar secara mandiri. Namun, penggunaannya harus diarahkan untuk mendukung pemahaman mendalam, bukan sekadar mempersiapkan ujian.

Budaya malu dan mentalitas “asal lulus” adalah dua racun yang merusak fondasi pendidikan Indonesia. Jika dibiarkan, fenomena ini tidak hanya akan menghambat pengembangan individu tetapi juga memperburuk kualitas sumber daya manusia secara nasional. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah nyata untuk membongkar budaya lama yang tidak relevan dan menggantinya dengan paradigma baru yang lebih mendukung kreativitas, partisipasi, dan pembelajaran bermakna. Pendidikan adalah proses jangka panjang yang tidak hanya berorientasi pada hasil tetapi juga pada proses.

Mengutip perkataan dari Imam Syafi’i “Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang memberikan keuntungan selamanya”. Bagi semua pihak, baik pendidik, siswa, maupun orang tua, adalah untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendorong keberanian mencoba, salah, dan belajar dari kesalahan. Dengan demikian, generasi mendatang akan tumbuh menjadi individu yang kompeten, kritis, dan berdaya saing tinggi di era global.[]

Penulis :
Muhammad Naufal Nazhif, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, email: muhammadnaufalnazhif0@gmail.com

banner 300250