Transparansi RUPS sebagai Upaya Perlindungan Pemegang Saham Minoritas

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan forum tertinggi dalam struktur tata kelola perusahaan yang memiliki wewenang penting, seperti mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris, mengesahkan laporan keuangan, dan mengambil keputusan strategis lainnya. Namun, realitanya, RUPS kerap kali hanya menjadi formalitas, yang di mana keputusan ini telah ditentukan oleh pemegang saham mayoritas sebelum rapat dimulai. Hal ini dapat berpotensi merugikan pemegang saham minoritas yang tidak memiliki suara signifikan dalam pengambilan keputusan.

Saya berpandangan bahwa pelaksanaan RUPS di Indonesia masih perlu ditinjau kembali dari sisi praktik akuntabilitas dan transparansi. Dengan maraknya konflik kepentingan, ketimpangan informasi, dan dominasi pemegang saham mayoritas, perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham minoritas menjadi penting untuk ditegakkan demi menciptakan iklim investasi yang sehat dan berkeadilan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), RUPS dibedakan menjadi RUPS Tahunan dan RUPS Luar Biasa, yang masing-masing memiliki agenda tersendiri. Namun, dalam praktiknya, banyak pemegang saham minoritas mengeluhkan ketidakjelasan informasi dan keterbatasan akses terhadap dokumen penting sebelum RUPS dilangsungkan.

Contohnya terjadi dalam kasus PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) pada tahun 2018, di mana pemegang saham minoritas mempertanyakan keabsahan RUPS yang menetapkan manajemen baru. Kasus ini sempat mengundang perhatian publik karena dinilai tidak transparan dan memunculkan konflik kepentingan antar pemegang saham besar. Hal ini menunjukkan bahwa RUPS rentan disalahgunakan bila tidak diawasi dengan baik.

Baca Juga :  Presiden Resmikan Pabrik Bahan Anoda Baterai Litium di KEK Kendal

Ketimpangan informasi yang terjadi antara pemegang saham mayoritas dan minoritas melanggar prinsip Good Corporate Governance (GCG), khususnya prinsip transparansi dan keadilan. Menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), salah satu indikator tata kelola perusahaan yang baik adalah keterlibatan aktif pemegang saham minoritas dalam proses pengambilan keputusan (OECD Principles of Corporate Governance, 2015).

Lemahnya penegakan sanksi terhadap direksi dan komisaris yang tidak transparan memperparah ketidakadilan dalam RUPS. Direksi atau komisaris seharusnya menyampaikan semua informasi penting secara baik, benar dan terbuka kepada pemegang saham. Namun, dalam praktiknya, jika mereka lalai atau bahkan menyembunyikan terkait informasi, sanksi yang diberikan oleh OJK seringkali tidak cukup tegas. Padahal, menurut Peraturan OJK No. 31/POJK.04/2015, perusahaan publik yang tidak melaporkan informasi penting bisa dikenai denda, pembatasan kegiatan usaha, bahkan pencabutan izin. Tetapi faktanya, sanksi ini jarang ditegakkan secara maksimal, sehingga pelanggaran seperti ini terus berulang tanpa efek jera bagi pelaku.

Baca Juga :  Pentingnya Keimanan dalam Menjaga Kesehatan Mental

Selain itu, pengawasan RUPS oleh notaris dan OJK masih terbatas. Notaris memang hadir dalam RUPS untuk memastikan prosedur dijalankan secara resmi, tapi mereka tidak punya kewenangan untuk menilai apakah keputusan yang diambil merugikan pihak tertentu atau tidak. Di sisi lain, OJK sebagai pengawas pasar modal juga tidak selalu memantau semua jalannya RUPS, terutama jika terjadi manipulasi oleh pemegang saham mayoritas di balik layar.

Sebuah artikel dalam Jurnal Komunikasi Hukum (2022) menyebutkan bahwa celah inilah yang sering dimanfaatkan oleh pihak mayoritas untuk mendominasi keputusan perusahaan tanpa mempertimbangkan kepentingan pemegang saham minoritas. Dengan kondisi seperti ini, maka penting sekali untuk mendorong penguatan sistem pengawasan, serta bagaimana memastikan bahwa sanksi benar-benar diterapkan. Tujuannya adalah untuk menjaga keadilan dan prinsip Good Corporate Governance agar seluruh pemegang saham baik besar maupun kecil, bisa mendapatkan perlindungan hukum yang layak.

Saya berpendapat bahwa harus ada penguatan regulasi, khususnya terkait mekanisme pengaduan dan keberatan dari pemegang saham minoritas. Selain itu, transparansi wajib ditingkatkan dengan menyediakan akses publik terhadap agenda RUPS, laporan keuangan interim, serta dokumen pendukung melalui sistem elektronik resmi yang diawasi langsung oleh OJK.

Baca Juga :  Judi Online yang Memasuki Dunia Modern

Pelaksanaan RUPS yang transparan dan akuntabel merupakan kunci utama dalam menjaga kepercayaan investor dan keberlanjutan perusahaan. Pemegang saham minoritas tidak seharusnya menjadi korban praktik dominasi pemilik modal besar. Oleh sebab itu, OJK perlu memperkuat pengawasan atas pelaksanaan RUPS serta menindaklanjuti setiap laporan dari pemegang saham minoritas secara profesional dan terbuka.

Perusahaan juga diwajibkan menyediakan akses digital terhadap dokumen penting RUPS secara merata bagi seluruh pemegang saham, serta membentuk mekanisme penyelesaian sengketa RUPS yang cepat dan efektif, baik melalui pengadilan maupun lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Saya berharap opini ini dapat menjadi kontribusi nyata dalam membangun budaya korporasi Indonesia yang menjunjung tinggi keterbukaan, kesetaraan, dan keadilan. Karena pada akhirnya, keadilan dalam pelaksanaan RUPS adalah pondasi dari kepercayaan investor dan keberlanjutan bisnis di tengah tantangan ekonomi modern.[]

Penulis :
Amanda Putri Febi Lestari, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

banner 300250