Hak Asuh Anak dan Suara yang Diabaikan di Peradilan Agama

Dalam perkara perceraian, anak di bawah usia 12 tahun hampir selalu otomatis diasuh oleh ibunya. Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam memang menyebut bahwa anak yang belum mumayyiz menjadi tanggung jawab ibu. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa aturan ini sering diterapkan secara kaku, tanpa mempertimbangkan kondisi aktual anak dan kedua orang tua.

Ironisnya, pengadilan tetap menyerahkan hak asuh kepada ibu meski ada catatan kekerasan, ketidakhadiran emosional, atau ketidakmampuan ekonomi dan moral. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah putusan benar-benar mencerminkan kepentingan terbaik anak, atau sekadar mengikuti teks hukum secara literal?

Padahal, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia menegaskan hak anak untuk menyampaikan pendapat dalam perkara yang menyangkut dirinya. Namun hingga kini, peradilan agama belum memiliki mekanisme yang sistematis dan aman untuk mendengar suara anak. Anak masih diposisikan sebagai objek sengketa, bukan subjek yang memiliki suara.

Baca Juga :  Kebebasan Berpendapat, Sebuah Hak Istimewa

Anak memang belum cakap hukum, tetapi bukan berarti suaranya boleh diabaikan. Justru karena mereka rentan, negara wajib melibatkan dan melindungi mereka secara aktif. Mengabaikan suara anak dalam perkara hak asuh berisiko membahayakan masa depan psikologis dan emosional mereka.

Penelitian ICJR (2020) menyebut bahwa peradilan agama masih cenderung legalistik dan kurang peka pada aspek psikologis. Data Badan Peradilan Agama tahun 2018 menunjukkan lebih dari 70% perkara hak asuh diputus tanpa mempertimbangkan pendapat anak. Ini menjadi alarm serius bagi sistem hukum keluarga kita.

Anak yang dipaksa tinggal dengan orang tua yang tidak diinginkannya berisiko mengalami gangguan mental seperti kecemasan, stres, bahkan trauma. Putusan yang tidak melibatkan suara anak kerap gagal memahami kompleksitas relasi pasca perceraian.

Baca Juga :  Pj Sekda Atam Luncurkan implementasi core values ASN Berakhlak dan employee branding Bangga Melayani Bangsa

Sudah saatnya reformasi hukum acara peradilan agama dilakukan. Prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” harus diwujudkan dalam prosedur nyata. Mahkamah Agung perlu menyusun pedoman teknis: mulai dari kewajiban pelibatan psikolog, ruang ramah anak di pengadilan, hingga prosedur mendengar suara anak secara langsung atau tidak langsung.

Pendidikan bagi hakim peradilan agama juga penting untuk diperkuat, terutama dalam perspektif perlindungan anak, gender, dan kesehatan mental. Hukum tidak boleh lagi mengandalkan rumus cepat yang mengabaikan manusia dan kompleksitas relasi sosial. Anak bukan angka dalam statistik perceraian. Mereka adalah individu yang layak dilibatkan dalam keputusan besar yang menyangkut hidup mereka. Suara mereka harus dihargai, bukan dikesampingkan.[]

Baca Juga :  Timnas Indonesia U23 akan Membuat Qatar Menangis Malam Ini

Penulis :
Ferlanda, Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung, email: ferlandaubb2023@gmail.com

banner 300250