Korporasi dan Kepatuhan Hukum: Formalitas atau Komitmen Nyata?

Di tengah pesatnya perkembangan ekonomi Indonesia, satu pertanyaan mendasar patut diajukan: apakah perusahaan-perusahaan di negeri ini benar-benar berkomitmen menjalankan bisnis secara etis, atau sekadar mematuhi hukum demi menghindari sanksi?

Regulasi di Indonesia, seperti Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, telah mewajibkan perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR). Begitu pula prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak perusahaan hanya menjadikan kepatuhan hukum sebagai formalitas, bukan sebagai bagian dari nilai dan budaya perusahaan.

Salah satu contoh nyata adalah bagaimana perusahaan-perusahaan di sektor gig economy menghindari tanggung jawab ketenagakerjaan dengan mengklasifikasikan pekerjanya sebagai “mitra”. Dalam sistem ini, pengemudi ojek online, kurir, dan pekerja digital lainnya tidak memiliki perlindungan ketenagakerjaan yang layak, seperti asuransi kesehatan, jaminan sosial, dan hak pesangon. Mereka bekerja di bawah tekanan algoritma tanpa kepastian pendapatan, tetapi perusahaan tetap mengklaim bahwa model bisnis mereka telah sesuai hukum.

Baca Juga :  Perspektif Pengaruh Peran Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Keluarga

Regulasi yang Memihak Korporasi?

Alih-alih memperkuat perlindungan tenaga kerja, regulasi seperti Undang-Undang Cipta Kerja justru memperlonggar aturan terkait hak-hak pekerja. Aturan ini membuka jalan bagi perusahaan untuk lebih mudah melakukan outsourcing, memperpanjang kontrak kerja tanpa batas, dan mengurangi kewajiban pesangon. Semua dilakukan atas nama efisiensi dan peningkatan investasi, tetapi faktanya, ketimpangan antara pekerja dan perusahaan justru semakin lebar.

Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar menggunakan program CSR sebagai alat pencitraan. Laporan tahunan mereka dipenuhi dengan data dan klaim keberlanjutan, tetapi apakah benar ada dampak nyata bagi masyarakat dan pekerja mereka sendiri? Banyak perusahaan yang menggembar-gemborkan program sosial, tetapi masih membayar upah buruhnya di bawah standar, memberlakukan jam kerja yang eksploitatif, dan melakukan PHK massal tanpa kompensasi yang layak.

Baca Juga :  Strategi Pencapaian Bank Jatim

Kepatuhan Hukum Saja Tidak Cukup

Perusahaan yang hanya berorientasi pada legalitas tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan etika bisnis pada akhirnya akan kehilangan kepercayaan publik. Masyarakat kini semakin kritis, dan tren global menunjukkan bahwa keberlanjutan bisnis bukan hanya tentang kepatuhan hukum, tetapi juga tentang bagaimana perusahaan benar-benar bertanggung jawab terhadap tenaga kerja dan lingkungan.

Jika pemerintah tidak segera memperbaiki regulasi yang melindungi pekerja dan menegakkan aturan etika bisnis dengan lebih tegas, maka kita akan melihat semakin banyak ketimpangan sosial yang lahir dari praktik korporasi yang hanya “patuh hukum” tetapi mengabaikan keadilan. Perusahaan harus sadar bahwa membangun budaya bisnis yang etis bukan sekadar tuntutan hukum, tetapi juga kunci bagi keberlanjutan ekonomi yang sehat.

Baca Juga :  Pengaruh Guru Kreatif dan Inovatif Terhadap Minat Belajar Siswa

Sekarang pertanyaannya, Apakah bisnis di Indonesia siap untuk lebih dari sekadar patuh hukum? Ataukah kita akan terus melihat eksploitasi yang terselubung dalam legalitas?

Pengirim :
Ainin Pratiwi Silviasari, Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

banner 300250