Menegakkan Kualitas Pendidikan: UN atau ANBK, Mana yang Lebih Efektif?

Penghapusan Ujian Nasional (UN) diatur melalui Surat Edaran (SE) Mendikbud No. 1 Tahun 2021. Sebagai gantinya, pemerintah memperkenalkan Asesmen Nasional (AN) atau sekarang ini Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. AKM bertujuan untuk mengukur kemampuan bernalar siswa, Survei Karakter menilai penerapan nilai-nilai Pancasila di sekolah, sedangkan Survei Lingkungan Belajar mengevaluasi dan memetakan aspek pendukung kualitas pembelajaran di lingkungan satuan pendidikan.

ANBK dilaksanakan di pertengahan jenjang pendidikan, seperti kelas 5 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11 untuk SMA/SMK. Selain itu, Ujian Sekolah (US) juga diubah menjadi tes sumatif akhir, di mana sekolah memiliki kewenangan untuk menentukan standar kelulusan peserta didiknya. Sebelumnya, UN digunakan sebagai alat pemerintah untuk mengukur kualitas pendidikan di berbagai daerah. Nilai UN memberikan gambaran bagi pemetaan kebijakan pendidikan, sekaligus berfungsi sebagai penentu kelulusan siswa dan salah satu syarat dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Salah satu alasan utama dihapusnya UN adalah untuk meringankan tekanan akademis yang dialami oleh siswa. Menurut Nadiem Makarim, materi UN yang terlalu berat menyebabkan pembelajaran lebih berorientasi pada hafalan daripada pengembangan kompetensi secara menyeluruh. Dengan diterapkannya sistem yang baru, diharapkan siswa memiliki lebih banyak ruang untuk mengasah kemampuan sesuai minat dan bakat mereka tanpa terbebani oleh tekanan ujian standar. Selain itu, keputusan ini juga didorong oleh kondisi darurat kesehatan yang muncul akibat pandemi COVID-19. Pada tahun 2020, pelaksanaan UN dinilai berpotensi membahayakan kesehatan siswa dan keluarga mereka, sehingga pemerintah memutuskan untuk membatalkannya demi memastikan keselamatan semua pihak.

Baca Juga :  Prodi Teknik Komputer USK Terakreditasi Unggul

Sayangnya perubahan sistem pendidikan yang menghapus UN memicu perdebatan di kalangan masyarakat, dengan beragam pandangan yang saling bertentangan. Di satu sisi, banyak yang mendukung kebijakan ini karena dianggap mampu mengurangi tekanan akademis yang selama ini dirasakan siswa. Dengan hilangnya UN, pendekatan pembelajaran menjadi lebih holistik, tidak lagi hanya berfokus pada hafalan materi, tetapi juga mengutamakan pengembangan kompetensi dan karakter siswa. Selain itu, kebijakan ini mengembalikan otonomi guru dalam menilai kemampuan siswa berdasarkan proses pembelajaran sehari-hari, yang dianggap lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan individu.

Namun, di sisi lain, ada pula pihak yang merasa perubahan ini membawa dampak negatif. Salah satu kekhawatiran utama adalah hilangnya motivasi belajar pada sebagian siswa. Tanpa UN sebagai acuan, mereka dianggap cenderung kurang memiliki target yang jelas dalam proses belajar. Selain itu, kebijakan ini dianggap berisiko menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan, terutama jika standar penilaian antar sekolah tidak seragam. Ketidakadilan dalam evaluasi belajar juga menjadi isu, karena setiap sekolah memiliki cara dan kriteria yang berbeda dalam menilai siswa, sehingga tidak ada tolok ukur yang setara di tingkat nasional.

Baca Juga :  Pusat Data Nasional Diretas, Pelaku Minta Tebusan Rp131 M

Ketidaklulusan siswa dalam UN akan berdampak pada akreditasi sekolah, yang secara langsung memengaruhi reputasi dan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan. Ketika banyak siswa gagal dalam UN, hal ini sering dianggap sebagai indikator rendahnya mutu pengajaran di sekolah tersebut. Dampaknya tidak hanya merugikan siswa, tetapi juga mencoreng citra sekolah di mata masyarakat dan lembaga akreditasi.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan lembaga terkait menjadikan hasil ujian sebagai salah satu komponen utama dalam mengevaluasi akreditasi sekolah. Sekolah dengan tingkat kelulusan rendah berisiko kehilangan status akreditasinya atau bahkan mengalami penurunan peringkat. Ini bukan hanya soal angka, tetapi juga menyangkut daya tarik sekolah bagi calon siswa dan orang tua. Sekolah dengan akreditasi baik cenderung lebih diminati, sedangkan sekolah yang memiliki banyak kasus ketidaklulusan bisa kehilangan siswa potensial dan dukungan masyarakat.

Namun, persoalannya tidak selalu sederhana. Kualitas lulusan tidak hanya ditentukan oleh hasil UN, tetapi juga oleh sistem pendidikan yang diterapkan. Akreditasi yang baik harus mencerminkan integritas, bukan sekadar hasil angka di atas kertas. Oleh karena itu, fokus seharusnya bukan hanya pada kelulusan, tetapi juga pada bagaimana membangun pendidikan yang benar-benar berkualitas dan berintegritas.

Perdebatan seputar perubahan sistem pendidikan ini menggambarkan kompleksitas dalam merancang kebijakan yang ideal dan inklusif. Setiap perubahan tentu memerlukan perencanaan yang cermat serta evaluasi yang berkelanjutan agar manfaatnya dapat dirasakan secara adil oleh seluruh pihak. Selain itu, keberhasilan kebijakan tidak hanya bergantung pada pemerintah pusat, tetapi juga memerlukan dukungan aktif dari pemerintah daerah, tenaga pendidik, masyarakat, dan siswa. Kerja sama yang sinergis di antara semua elemen ini sangat penting untuk membangun ekosistem pendidikan yang mampu mendorong perkembangan siswa secara optimal dan berkelanjutan.

Baca Juga :  Menggali Makna Teori Kritis Habermas

Polemik seputar kemungkinan diberlakukannya kembali UN menjadi gambaran bahwa dunia pendidikan di Indonesia terus mencari bentuk terbaiknya. Meskipun belum ada keputusan resmi dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, wacana ini membuka ruang diskusi yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pendidik, hingga masyarakat. Saat ini, fokus utama sebenarnya lebih mengarah pada peningkatan mutu pendidikan melalui Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK), yang dirancang untuk mengevaluasi pendidikan secara menyeluruh dan lebih komprehensif.

Namun, penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa keputusan apa pun yang diambil nantinya harus benar-benar mempertimbangkan dampaknya bagi siswa dan masa depan pendidikan Indonesia. Tidak hanya soal memilih antara UN atau ANBK, tetapi bagaimana memastikan sistem pendidikan kita mampu mencetak generasi yang kompeten, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan global. Pada akhirnya, perubahan bukan sekadar soal metode, melainkan tentang menciptakan ekosistem pendidikan yang adil dan berkualitas untuk semua.[]

Penulis :
Fadhilah Mukharomah, mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

banner 300250