Perundungan menjadi fenomena yang mengkhawatirkan dan dianggap sebagai “wabah” yang terus berkembang tanpa solusi definitif. Di Indonesia, kasus intimidasi kembali menjadi sorotan media yang diibaratkan sebagai gunung es, dengan banyak kasus tersembunyi yang kurang mendapat perhatian. Peristiwa ini menekankan bahwa bullying telah menjadi subkultur di sekolah. Menurut Retno Listyarti, Ketua FSGI, “Indonesia memasuki fase darurat kekerasan anak” (Kompas, 30/9/2024), dengan peningkatan kasus kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dari 15 menjadi 36 antara Juli-September 2024, bahkan berujung pada kematian.
Data Program for International Student Assessment (PISA) 2018, di Indonesia, 41% siswa melaporkan mengalami intimidasi setidaknya beberapa kali dalam sebulan, (rata-rata OECD adalah 23%). Menempatkan Indonesia di peringkat kelima tertinggi untuk perilaku perundungan secara global (Kompas, 14/10/2024). Angka ini menggambarkan masalah perundungan yang serius, dengan dampak negatif pada psikologis dan perkembangan sosial mereka.
Krisis moral di Indonesia mengancam masa depan pendidikan, sehingga pendidikan karakter perlu diintegrasikan secara menyeluruh untuk membentuk generasi emas. Budaya 5S (Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun) menjadi solusi efektif dalam mencegah bullying. Sekolah memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai agar terciptanya lingkungan yang inklusif dan mendukung perkembangan holistik peserta didik. Pengintegrasian budaya 5S tidak hanya berfungsi sebagai pencegahan perundungan, tetapi juga membangun iklim pembelajaran yang kondusif dan menghasilkan siswa berkarakter dan berpendidikan.
Albert Einstein menyatakan bahwa “the world will not be destroyed by those who do evil, but by those who watch them without doing anything,” yang menggambarkan bahwa ketidakpedulian terhadap kejahatan, dapat menghancurkan dunia. Artikel ini mengeksplorasi penyebab bullying, signifikansi nilai-nilai budaya 5S, serta penanaman budaya 5S disekolah.
Penyebab Bullying
Perundungan menjadi isu serius yang masuk dalam tiga dosa besar pendidikan, tidak hanya mengakibatkan trauma psikologis, tetapi juga mengganggu proses belajar. Perilaku ini dapat menciptakan iklim negatif yang menghambat proses belajar mengajar. Apa yang mendasari terjadinya bullying?
Kurangnya pendidikan karakter pada anak dapat menyebabkan krisis moral yang berpotensi memicu perilaku kekerasan. Menurut (Jumarnis et al., 2023), penanaman pendidikan karakter sangat penting untuk membimbing siswa dalam memahami perilaku baik dan buruk, serta mendorong mereka berpikir logis dan kritis terhadap suatu kejadian dan dampaknya. Ketika anak-anak tidak dibekali dengan nilai-nilai etika dan empati, mereka cenderung kesulitan memahami batasan antara perilaku yang baik dan buruk, yang pada akhirnya dapat memperbesar kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang, termasuk perundungan. Anggota Komisi X DPR RI, Bramantyo Suwondo, menekankan pentingnya penguatan pendidikan karakter di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia (Kompas, 23/11/22). Oleh karena itu, pendidikan karakter yang kuat dan konsisten sangat penting untuk membentuk generasi yang berperilaku positif dan bertanggung jawab dalam kehidupan sosial.
Lingkungan sosial berperan dalam pembentukan persepsi seseorang terhadap perilaku yang dianggap normal. Menurut (Isman, 2019), lingkungan sosial menjadi penyebab timbulnya perilaku bullying. Ketika lingkungan tidak mengajarkan nilai empati, toleransi, dan sikap peduli terhadap sesama, peluang terjadinya bullying akan meningkat. Jika perundungan dinormalisasi dalam suatu lingkungan, anak-anak cenderung menganggapnya sebagai hal yang wajar. Melalui proses pemodelan dan penguatan perilaku, kekerasan dapat terus berulang. Oleh karena itu, diperlukan lingkungan yang menolak intimidasi, menampilkan contoh positif, dan memberikan apresiasi pada perilaku baik untuk mencegah tindakan intimidasi.
Mengidentifikasi akar penyebab bullying penting untuk merancang strategi pencegahan yang efektif dan memahami dinamika di sekitar anak-anak. Masalah perundungan memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan karakter dapat membentuk individu yang empati dan saling menghormati. Upaya bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman sangat krusial dalam mencegah intimidasi.
Signifikansi Nilai-Nilai Budaya 5S
Bagaimana kita dapat menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman dan bebas dari bullying? Penanaman nilai-nilai budaya 5S menjadi alternatif penyelesaian. Percayakah Anda bahwa tindakan sederhana seperti tersenyum dan bersapa dapat mencegah perundungan?
Budaya senyum, sapa, dan salam berperan penting dalam menciptakan lingkungan sekolah yang harmonis. Senyum menunjukkan rasa saling menghormati dan mengurangi jarak emosional, sapa mendorong komunikasi yang baik untuk meminimalkan kesalahpahaman, dan salam mencerminkan penghormatan antar siswa, memperkuat rasa saling menghargai, serta membangun hubungan positif yang bebas dari kekerasan.
Budaya sopan santun menekankan etika dan sikap positif dalam interaksi, seperti penggunaan bahasa yang baik dan menghargai perbedaan. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008), sopan berarti hormat dan patuh sesuai adat, sedangkan santun mencerminkan sikap halus, baik, dan penuh belas kasihan. Penanaman nilai ini sangat penting dalam membangun komunitas sekolah yang inklusif, mendukung karakter siswa, dan mencegah bullying. Penerapan budaya 5S menjadi strategi yang efektif dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari kekerasan. Dengan menekankan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan, sekolah dapat mengurangi perilaku perundungan dan mendukung interaksi sosial yang positif di antara siswa-siswinya.
Penerapan budaya 5S menjadi strategi efektif dalam membangun lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari perundungan. Dengan menekankan perilaku positif melalui penerapan pendidikan karakter, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman, sekaligus mencegah munculnya perilaku perundungan di kalangan siswa.
Penanaman Budaya 5S Disekolah
Lingkungan sekolah berfungsi sebagai wadah untuk mengimplementasikan budaya 5S melalui pendidikan karakter. Penerapan budaya 5S perlu melibatkan siswa, guru, dan orang tua untuk menciptakan sinergi. Bagaimana menerapkan budaya 5S di sekolah?
Integrasi budaya 5S dalam pendidikan melalui sosialisasi, efektif memastikan seluruh anggota sekolah memahami pentingnya nilai-nilai tersebut. Penerapan budaya 5S dilakukan melalui tahap penetapan, pembiasaan, dan keteladanan, melibatkan guru, siswa, dan orang tua agar tercipta kesadaran bersama (Kompas, 29/6/21). Dengan menguatkan karakter melalui internalisasi nilai P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), budaya 5S dapat diterapkan secara menyeluruh dan konsisten. Untuk mendukung ini, sekolah dapat mengadakan lokakarya bagi guru dan siswa untuk mengedukasi mereka tentang pentingnya nilai-nilai 5S dalam interaksi sehari-hari.
Penguatan positif melalui penghargaan kepada siswa yang konsisten menerapkan budaya 5S dapat meningkatkan motivasi dan semangat mereka. Pengakuan publik membuat siswa merasa dihargai dan mendorong mereka untuk terus berkontribusi. Menurut (Elviana et al., 2022), apresiasi dari guru dalam bentuk motivasi dan dukungan mental efektif dalam meningkatkan antusiasme dan kepercayaan diri siswa, sehingga mereka lebih terlibat dalam pembelajaran. Selain itu, lomba seperti “Kelas Paling Berkarakter” dapat meningkatkan kesadaran dan penerapan nilai-nilai tersebut, menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung budaya 5S.
Penerapan budaya 5S di lingkungan sekolah, dengan melibatkan sinergi antara siswa, pendidik, dan wali murid, menjadi faktor penting dalam membentuk karakter yang kuat dan menciptakan suasana belajar yang kondusif. Langkah ini berperan dalam mengurangi potensi perundungan serta mendorong partisipasi aktif siswa dalam proses belajar.
Pilar pendidikan “learning to live together” mendorong upaya dalam membangun hubungan yang positif, yang menjadi fondasi penting dalam menciptakan lingkungan yang inklusif. Dalam upaya menekan angka bullying di Indonesia, penerapan budaya 5S menawarkan harapan serta dasar yang kokoh bagi terciptanya lingkungan sekolah yang aman. Pengintegrasian nilai-nilai positif yang terkandung dalam budaya ini dapat mendorong terbentuknya toleransi dan empati, sekaligus mencegah perasaan keterasingan di kalangan siswa.[]
Penulis :
Siti Salwa Hayuningtias, Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung