Korupsi dan Hukum: Mengapa Hukum Terkesan Sangat Lemah di Hadapan Koruptor?

Korupsi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Di Indonesia sendiri sering terjadinya tindak pidana korupsi. Para pelaku tindak pidana korupsi sering kali dapat bebas dengan mudah dari tahanan dikarenakan ada sebuah kebijakan atau aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai Undang – undang RI Nomor 22 Tahun 2022 tentang pemasyarakatan dan menghilangkan PP Tahun 2012 yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat yang dimana aturan ini mempersingkat masa tahanan para pelaku tindak pidana korupsi.

Di dalam aturan baru disebutkan bahwa narapidana dapat bebas bersyarat dengan menjalani 2/3 masa pidana dan narapidana harus berkelakuan baik.

Dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Permasyarakatan, dijelaskan tentang persyaratan tersebut meliputi berkelakuan baik, aktif dalam mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko. Akan tetapi, publik menilai bahwa kebijakan pemerintah tidak adil.

Baca Juga :  Dampak Korupsi Timah 271 Triliun

Pemerintah dinilai tidak tegas memberikan sanksi hukuman kepada para koruptor yang telah merugikan negara dan rakyat yang juga merasakan kerugian. Lantas, mengapa narapidana korupsi tersebut tampak bisa dengan mudah bebas?

Korupsi adalah tindakan tidak jujur atau ilegal yang dilakukan oleh orang yang berwenang, yang memanfaatkan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Seperti yang kita ketahui bahwa korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa yang kebanyakan dilakukan oleh para petinggi di negara ini. Umumnya, pelaku utama kejahatan korupsi adalah pejabat dalam suatu institusi, maupun seorang pengusaha.

Faktor umum yang menyebabkan korupsi marak terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan serakahnya para koruptor terhadap uang dan kekayaan, serta munculnya peluang bagi koruptor untuk melakukan tindak pidana korupsi. Penegakan hukum di Indonesia yang dianggap lemah dan tumpul pun dijadikan para pelaku tersebut menjadi peluang dalam melakukan tindak kejahatan korupsi, dimana yang seharusnya hukum dapat membuat para pelaku jera melainkan menjadi peluang dalam melakukan tindak kejahatan.

Baca Juga :  Gaya Diplomasi Politik di Papua dalam Kasus Perebutan Kursi DPR Tahun 2024 terkait Prosesi Bakar Batu

Bebasnya puluhan koruptor ini banyak dipertanyakan masyarakat. Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat membuat singkatnya masa tahanan para korupto. Sehingga banyak juga para koruptor yang dihukum ringan bahkan lolos dari jeratan hukum pidana sesuai dengan ketentuan Undang – Undang Korupsi di Indonesia.

Salah satu penyebab utama adalah lemahnya penegak hukum itu sendiri. Banyak kasus korupsi yang tidak ditangani secara serius oleh aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim.

Adapun kini makin melemahnya aturan hukum untuk para koruptor dimulai dari dihilangkannya PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur tentang pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan luar biasa termasuk korupsi membuat para koruptor bisa bebas dengan cepat.

Baca Juga :  Meramu Potensi Konflik

Apabila kebijakan remisi dan pembebasan bersyarat yang begitu mudah didapatkan tersebut dianggap sebagai upaya dari normalisasi kasus korupsi. Maka, pemerintah dinilai tidak punya legitimasi hukum yang tegas dan keseriusan dalam pemberantasan korupsi.

Dengan adanya undang – undang tentang pembebasan bersyarat membuat para masyarakat menjadi resah akibat bebasnya para koruptor. Masyarakat di luar sana bertanya – tanya mengapa kejahatan luar biasa juga dapat bebas bersyarat karena aturan baru ini. Padahal kejahatan yang mereka lakukan sudah merugikan negara dan menghilangkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap petinggi pemerintah.

Diharapkan penegakan hukum terhadap koruptor dapat diperkuat, sehingga korupsi dapat ditekan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dipulihkan. Upaya ini memerlukan komitmen dari semua pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat.[]

Penulis :
Richard Zalit, mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

banner 300250