Pemikiran feminisme dalam dunia Islam telah mengalami perkembangan signifikan sejak awal abad ke-20. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi para pemikir perempuan seperti Aisyah Taimuriyah, seorang penulis dan penyair asal Mesir; Zaynab Fawwas, seorang esais dari Lebanon; Taj As Salthanah dari Iran; Fatme Aliye dari Turki; Fatima Mernissi dari Maroko; Dr. Nafis Sadek dari Pakistan; Tasleema Nasreen dari Bangladesh; serta Amina Wadud Muhsin dan Nawal El Saadawi dari Mesir.
Selain itu, terdapat juga beberapa feminis dari Indonesia yang turut menyumbangkan pemikiran mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ini sebagian besar dipengaruhi oleh gerakan feminis Barat yang telah ada sebelumnya. Secara umum, feminisme Islam dapat dipahami sebagai sebuah alat analisis dan gerakan yang bersifat historis dan kontekstual, mencerminkan kesadaran baru yang muncul dalam menjawab berbagai masalah perempuan yang sedang aktual, khususnya terkait ketidakadilan dan ketidaksejajaran, yang ditinjau dari perspektif gender.
Para feminis Muslim berpendapat bahwa terdapat kecenderungan misoginis dan patriarkis dalam penafsiran teks-teks keagamaan klasik, yang sering kali menghasilkan tafsir yang bias demi kepentingan laki-laki. Mereka menyoroti beberapa isu, seperti hukum kepemimpinan, penguasaan nafkah, dan stereotip tentang hijab, yang dinilai telah menghalangi perempuan untuk mandiri secara ekonomi, sehingga menjadikan mereka bergantung secara psikologis (Wirasandi,2019).
Feminisme, baik sebagai sebuah paham maupun gerakan, memiliki peranan yang sangat penting dalam memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Seiring dengan perkembangan zaman, feminisme juga berfungsi sebagai alat kritik terhadap sistem patriarki yang sudah mengakar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, politik, dan keagamaan. Sistem patriarki ini cenderung menempatkan laki-laki sebagai pihak yang lebih unggul, memaksa perempuan untuk terjebak dalam ruang domestik, serta mengurangi kemandirian ekonomi dan psikologis mereka.
Akibatnya, kondisi ini menciptakan ketidakadilan yang tidak hanya menekan perempuan, tetapi juga membatasi potensi masyarakat secara keseluruhan. Di Indonesia, meskipun sudah ada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), banyak perempuan yang masih merasakan kesulitan dalam mengakses keadilan.
Sebagian besar dari mereka cenderung merasa bahwa melaporkan tindakan kekerasan dari suami atau pasangan dianggap bertentangan dengan norma sosial dan budaya yang mengharuskan perempuan untuk setia pada suami atau keluarga, meskipun mereka mengalami kekerasan. Kecemasan akan stigma sosial ini mencerminkan masih kuatnya pengaruh patriarki, di mana perempuan dipandang sebagai individu yang harus patuh dan mengorbankan diri demi menjaga keharmonisan keluarga (Wirasandi, 2019).
Salah satu fenomena yang mencerminkan dampak gerakan feminisme terhadap perempuan di Indonesia adalah munculnya tren “Marriage is Scary”. Tren ini mencerminkan ketakutan perempuan terhadap pernikahan, yang disebabkan oleh tingginya angka perceraian serta kasus kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, kesenjangan peran gender di lingkungan rumah tangga masih menjadi permasalahan yang signifikan, di mana perempuan sering kali dibebani dengan tanggung jawab domestik tanpa dukungan yang seimbang dari laki-laki.
Pandangan patriarki yang menempatkan perempuan hanya sebagai pengurus rumah tangga berkontribusi pada ketimpangan dalam pernikahan. Hal ini mendorong perempuan untuk lebih menekankan pentingnya pendidikan, karier, dan pengembangan diri, baik sebelum maupun tanpa menikah.
Setiap individu seharusnya memikul tanggung jawab besar dalam memastikan penerapan prinsip kesetaraan gender. Kita perlu menciptakan lingkungan yang bebas dari pengaruh patriarki, di mana setiap orang merasa dihargai dan diberdayakan. Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk melawan diskriminasi, tetapi juga untuk membangun masa depan yang lebih adil dan harmonis bagi semua. Menghapus patriarki dari dunia adalah sebuah investasi untuk menciptakan masyarakat yang setara dan progresif (Prof. Iris Marion Young, 2024).
Penafsiran feminisme terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
Salah satu ayat yang menunjukkan legalitas dalam relasi gender sekaligus juga merupakan pondasi dari feminisme ialah:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja’alnākum syu’ụbaw wa qabā`ila lita’ārafụ, inna akramakum ‘indallāhi atqākum, innallāha ‘alīmun khabīr
Yang artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. Q.S. Al-Hujurat 49:13)
Ayat di atas dengan jelas menilai dan menghukumi manusia berdasarkan ketakwaannya. Perbedaan ras dan gender juga tidak luput dari perhatian, karena perbedaan tersebut merupakan keniscayaan yang memungkinkan kita untuk saling mengenal dan melengkapi satu sama lain dalam konteks gender. Tanpa adanya perbedaan fisik, tentu kita akan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengenali satu sama lain.
Oleh karena itu, menurut Amina Wadud, ketakwaan merupakan salah satu inti dari pandangan hidup yang diungkapkan dalam Al-Qur’an, di mana takwa didefinisikan sebagai kombinasi antara akhlak yang baik dan kesadaran terhadap Allah Swt. (Wadud, 1999).
Selanjutnya ayat lainnya, bahwa amal baik setiap manusia tidak akan sia-sia yang termaktub dalam surat Ali-Imran 3:195 yang berbunyi;
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰىۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ ١٩٥
Fastajâba lahum rabbuhum annî lâ udlî‘u ‘amala ‘âmilim mingkum min dzakarin au untsâ, ba‘dlukum mim ba‘dl, falladzîna hâjarû wa ukhrijû min diyârihim wa ûdzû fî sabîlî wa qâtalû wa qutilû la’ukaffiranna ‘an-hum sayyi’âtihim wa la’udkhilannahum jannâtin tajrî min taḫtihal-an-hâr, tsawâbam min ‘indillâh, wallâhu ‘indahû ḫusnuts-tsawâb.
Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka, orang-orang yang berhijrah, diusir dari kampung halamannya, disakiti pada jalan-Ku, berperang, dan terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai pahala dari Allah. Di sisi Allahlah ada pahala yang baik.”
Kedua ayat tersebut dengan jelas menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan gender. Dalam pandangan Allah Swt. , takwa dan amal menjadi kriteria utama dalam penilaian-Nya, yang menjadikan-Nya sosok Yang Maha Adil. Amina Wadud dalam bukunya menegaskan keyakinannya bahwa niat yang tulus dan amal yang dilakukan tidak terpengaruh oleh perbedaan jenis kelamin atau aspek fisik lainnya. “Bukankah Allah adalah hakim yang paling adil? ” ujarnya (Wadud, 1999).
Al-Ghazali menegaskan dalam bukunya “Qadaya al-Mar’ah baina alTaqaalid al-Raakidah wa al-Wafidah” yang intinya diskriminasi yang terjadi pada kaum perempuan dalam Islam datang dari budaya maupun adat yang masih dipelihara, bukan dari syariat Islam. Islam mempunyai misi yang mulia yang dapat menyamakan derajat laki-laki dan perempuan itu sama (Zulfahani Hasyim, 2012).
Sejumlah pemikir Muslim modern, seperti Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan Murtadha Mutahhari, berupaya menawarkan perspektif feminisme Islam. Mereka mengembangkan feminisme yang tetap berlandaskan pada ajaran Islam sambil menolak paham feminisme sekuler yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Pasal 285 dan 286 KUHP merupakan pasal yang mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan dapat ditinjau dari perspektif feminisme. Selain itu, beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan adalah:
Pasal 454 KUHP melarang membawa pergi perempuan dengan tipu muslihat, kekerasan, atau ancaman kekerasan.
Pasal 291 KUHP mengatur tindak pidana pelecehan seksual yang mengakibatkan luka berat atau kematian.
Pasal 341 KUHP mengatur tindak pidana pembunuhan anak perempuan.
Selain KUHP, ada juga undang-undang yang mengatur tindak pidana kekerasan terhadap perempuan, yaitu:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
UU TPKS mengatur beberapa tindak pidana kekerasan seksual, di antaranya: Melarikan anak dan perempuan untuk tujuan perkawinan, Pemaksaan aborsi, Pemaksaan pelacuran.
Penurunan angka pernikahan di Indonesia dapat dikaitkan dengan sejumlah isu sosial, termasuk kekerasan dalam hubungan. Salah satu faktor utama yang berperan adalah meningkatnya kesadaran masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang membuat banyak orang lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menikah.
Kasus-kasus kekerasan yang viral di media, seperti laporan Lesti Kejora terhadap suaminya yang diduga melakukan kekerasan fisik, semakin menguatkan pandangan bahwa pernikahan tidak selalu aman, terutama bagi perempuan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, jumlah pernikahan pada tahun 2023 tercatat sebanyak 1.577.255, mengalami penurunan dari tahun 2022 yang mencapai 1.705.348.
Penurunan angka pernikahan ini menjadi salah satu indikator bahwa minat generasi muda terhadap pernikahan semakin berkurang. Selain itu, fenomena pernikahan anak yang masih terjadi di beberapa daerah mengisyaratkan bahwa pernikahan tidak selalu menjanjikan kebahagiaan, melainkan dapat menjadi ruang bagi eksploitasi dan kekerasan. Banyak anak perempuan yang terpaksa menikah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan kesulitan untuk keluar dari hubungan tersebut akibat tekanan sosial dan ekonomi., kekerasan dalam pacaran juga menjadi perhatian serius.
Banyak pasangan muda mengalami kekerasan emosional, fisik, dan seksual sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, yang membuat mereka semakin ragu untuk menikah. Laporan dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam pacaran terus meningkat setiap tahunnya, mencerminkan bahwa hubungan romantis tidak selalu aman. Lebih jauh lagi, ada juga tekanan sosial dan ekonomi yang membuat pernikahan terasa berat.
Banyak perempuan merasa khawatir terjebak dalam pernikahan di mana mereka dieksploitasi secara emosional dan ekonomi, sehingga diharapkan untuk mengurus rumah tangga dan bekerja tanpa pembagian tugas yang adil. Fenomena ini sering terlihat di media sosial, di mana banyak perempuan merasa tertekan untuk menjadi istri yang sempurna tanpa mendapat dukungan setara dari pasangan mereka.
Secara keseluruhan, meningkatnya kesadaran akan berbagai bentuk kekerasan dalam pernikahan dan hubungan menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak generasi muda mulai mempertimbangkan kembali keputusan untuk menikah.
Pemerintah dan lembaga terkait seharusnya mengeluarkan kebijakan yang melindungi perempuan, terutama dalam aspek hukum, pekerjaan, dan kehidupan rumah tangga. Penting untuk mengubah pandangan masyarakat tentang peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga, serta mendorong kerja sama yang lebih seimbang di dalam kehidupan rumah tangga.
Selain itu, perlu diberikan akses yang lebih luas bagi perempuan di bidang ekonomi agar mereka dapat mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada laki-laki. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan gerakan feminisme, khususnya dalam konteks Islam, dapat menjadi instrumen perjuangan yang menciptakan keseimbangan dalam hubungan gender, sambil tetap menghormati nilai-nilai moral dan spiritual yang sangat dijunjung dalam Islam.[]
Penulis :
Alaxa Camally Dela Utami, Vely Lestari, Suhidbal, Zainul, Revarelina Putri Meilary, Shinta Lestari Oktarini (mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Bangka Belitung)