Di Indonesia tentunya tidak asing terkait permasalahan isu pinjaman hutang-piutang tidak luput dari isu beberapa pihak yang terikat perjanjian, perjanjian di atur dalam Pasal 1320 KUH-Perdata terkait syarat sah nya suatu perjanjian dengan unsur sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Dalam pembahasan Pasal 1131 KUH-Perdata dapat di kaitkan dengan jaminan merupakan jaminan yang timbul dari undang-undang tentunya ada kreditur yang memberikan pinjaman dengan menggunakan jaminan, baik jaminan umum dan khusus serta jaminan perorangan dan jaminan kebendaan.
Yang di mana terdapat pihak yang di sebut sebagai kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman atau pembiayaan, sedangkan debitur adalah pihak yang meminjam uang atau sumber daya dari kreditur yang biasa sebagai Individu/perorangan, perusahaan baik lembaga keuangan lainnya seperti bank atau non-bank, akan tetapi ada di mana dalam prosedural debitur mengalihkan proses eksekusi jaminan tanpa adanya kejelasan kepada kreditur terkait informasi yang di berikan.
mengenai hak dan kewajiban Debitur telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) Perlindungan Konsumen merupakan istilah kata yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan pada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh kebutuhan dari hal-hal yang merugikan konsumen.
UUPK menyatakan bahwa, Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. dalam UUPK makna perlindungan konsumen cukup luas yakni meliputi :
1. perlindungan konsumen terhadap barang.
2. jasa dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.
Permasalahan dalam hal tersebut menyangkal kurangnya hak atas informasi debitur sebagai konsumen yang di atur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yang di lakukan oleh Kreditur terhadap Hak Debitur dalam proses Eksekusi Jaminan Tanpa Kejelasan Prosedural Kreditur.
Contoh dalam hal ini adanya oknum kreditur yang mengambil alih jaminan tanggungan yang telah di perjanjikan sejak awal, dimana saat debitur mengalami wanprestasi mengakibatkan debitur telat membayar pinjaman, kemudian tanpa adanya pembicaraan kesepakatan antara dua pihak dan perjanjian lainnya dimana kreditur seenaknya melakukan pengalihan (eksekusi) terhadap jaminan fidusia kendaraan bermotor milik debitor hal tersebut tanpa adanya persetujuan dari debitor dengan eksekusi langsung tanpa proses pengadilan.
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa eksekusi jaminan fidusia harus melalui pengadilan, namun praktik di lapangan masih sering menyimpang. tindakan wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). artinya wanprestasi berbeda dengan tindak penipuan, yang termasuk dalam ranah hukum pidana.
Lantas mengapa seterusnya kontroversi tersebut dapat terjadi ? sebelum menelistik hal tersebut dapat terjadi dikarenakan :
1. tidak adanya kejelasan klausul kontrak,kontrak kredit sering kali memiliki klausul yang rumit dan tidak jelas, yang dapat menyebabkan perbedaan interpretasi antara debitur dan kreditur dapat mencakup ketentuan tentang suku bunga, biaya tambahan, denda keterlambatan, dan hak serta kewajiban kedua belah pihak.
2. Kelalaian atau penyalahgunaan posisi oleh kreditur, Terkadang kreditur mungkin melakukan tindakan yang dianggap tidak adil atau melanggar hukum, seperti menaikkan suku bunga secara sepihak, atau menagih pembayaran yang tidak sesuai dengan ketentuan kontrak, Hal ini bisa memicu perselisihan hukum dengan debitur.
3. Ketiadaan pengungkapan informasi yang tidak jelas yang di lakukan kreditur.
Selanjutnya, dalam penyelesaian sengketa dengan adanya permasalahan Kontroversi Hukum atas Hak Debitur pada saat Eksekusi seharusnya kreditur lebih memperhatikan perjanjian di awal, baik dalam melakukan pembebanan jaminan agar keduanya memiliki kekuatan hukum yang tetap seperti menetapkan jaminan dengan Jaminan Fidusia Ketika Debitur Wanprestasi Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 menerangkan bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Apabila sanggahan proses yang di lalui debitur kepada kreditur tidak adanya perjanjian di bawah tangan atau akta notaris maka bukti yang mendukung debitor terdapat dalam surat penyurat di awal perjanjian di tanda tanganya perjanjian tersebut.
Dimana proses eksekusi haruslah dilakukan sesuai prosedur hukum yang telah ditetapkan termasuk kreditor wajib pemberitahuan kepada debitur mengenai proses eksekusi, apabila debitur tidak terima akan proses eksekusi tanpa adanya prosedur yang jelas maka debitur memiliki hak untuk mengajukan perlawanan atau banding terhadap eksekusi jika terdapat alasan yang sah, seperti eksekusi yang tidak sesuai dengan putusan pengadilan atau ada pelanggaran hak-hak debitur pada saat perjanjian hutang-piutang.[]
Pengirim :
Michelle Tania Lie, Mahasiswi Jurusan Hukum, Universitas Bangka Belitung, email : michelletania2004@gmail.com