Peradilan agama memiliki sebuah peran yang strategis dalam menegakkan keadilan, termasuk dalam melindungi hak-hak perempuan yang sering hilang maupun tertindas dalam perkawinan. Peradilan Agama merupakan badan peradilan yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa bagi umat yang beragama islam sesuai dengan asas khusus peradilan agama yaitu asas Islah. Peradilan agama berhak bertindak sebagai garda terdepan untuk melindungi dan memastikan bahwa Perempuan mendapatkan haknya sesuai dengan aturan syariah dan hukum nasional.
Salah satu peran penting dalam menegakan keadilan bagi hak Perempuan yaitu terkait hak nafkah dalam perkawinan. Seorang perempuan memiliki hak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya selama berlangsungnya sebuah ikatan perkawinan antara keduanya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.
Namun, pada praktiknya masih banyak perkara yang dimana dalam perkara tersebut pihak perempuan atau istri tersebut mengalami sebuah ketidakadilan dalam pemberian nafkah. Perkara-perkara ini sering berkaitan dengan ekonomi, perceraian, hingga praktik poligami yang tidak sesuai dengan aturan hukum sehingga mengakibatkan kerugian pada pihak perempuan. Pengadilan agama menjadi mitra untuk tempat mengadu kaum perempuan yang beragama islam dalam menyelesaikan perkara yang dialaminya dalam penelantaran hak nafkah oleh suami.
Dalam hal ini diperkuat pada pasal 77 ayat 5 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama”. Sesuai dengan kompetensi absolute, bahwa pengadilan agama berhak dan memiliki kewenangan untuk mengadili perkara hak nafkah kepada isteri dalam perkawinan. Hal ini menunjukan bahwa peradilan agama bukan hanya berwenang memutus sengketa dalam perkawinan, tetapi juga untuk memastikan bahwa hak nafkah perempuan terpenuhi dengan adil.
Namun, masih banyak tantangan dalam penerapan regulasi yang ada tentang hak-hak nafkah perempuan dalam perkawinan. Dalam kehidupan sehari-hari pihak perempuan masih memiliki rasa enggan dalam mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut hak nafkah yang tidak terpenuhi.
Salah satu faktor yang membuat pihak perempuan merasa enggan untuk melaporkan gugatan hak nafkah tersebut yaitu implementasi putusan pengadilan yang seringkali menemui hambatan. Pengadilan agama dapat membuat suatu keputusan yang berisikan perintah kepada sang suami agar memenuhi hak nafkah kepada istrinya, tetapi ketika tidak ada mekanisme pengawasan yang cukup kuat, keputusan tersebut sering kali tidak dijalani dengan benar bahkan terabaikan.
Maka dari itu sangat penting adanya peran sebuah pengadilan agama dalam melindungi hak perempuan dalam pernikahan terutama dalam bagian hak nafkah. Menjadikan pengadilan agama sebagai sebuah naungan bagi kaum perempuan agar berani dalam menyuarakan hak nafkah mereka jika terabaikan. Maka dari itu, pengadilan agama bukan hanya sebuah badan peradilan yang berwenang menangani perkara namun juga sebagai pelindung dalam melindungi hak-hak Perempuan dalam perkawinan.
Banyak Perempuan yang menjadi korban ketidakadilan dalam perkawinan atau bahkan kurang memahami bahwa seorang istri berhak memperjuangkan hak-hak mereka dalam perkawinan terutama hak nafkah. Selain itu, penguatan pengawasan dalam putusan pengadilan juga perlu ditingkatkan agar dapat dijalankan dengan semestinya tanpa kelalaian. Dengan demikian, kehadiran Peradilan Agama bukan hanya sebatas institusi formal yang menangani perkara-perkara perkawinan, tetapi juga sebagai mitra keadilan bagi perempuan dalam mendapatkan hak nafkah dan hak-hak lain yang dijamin oleh hukum Islam dan hukum nasional.[]
Penulis :
Febi Audia, Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung