Respon Peradilan Agama terhadap Perubahan Sosial: Kasus Perkawinan Dini dan Nikah Siri

Perubahan sosial adalah keniscayaan yang senantiasa terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dinamika ini membawa dampak langsung terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal hukum keluarga dan peran lembaga peradilan, khususnya peradilan agama. Dalam konteks ini, peradilan agama dituntut untuk bersikap adaptif terhadap perubahan sosial yang terjadi, tanpa melepaskan pijakan pada nilai hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak.

Dua isu sosial yang cukup menonjol dalam masyarakat Indonesia, yang sering kali bersentuhan langsung dengan peradilan agama, adalah perkawinan dini dan nikah siri. Meskipun keduanya bukanlah fenomena baru, keberadaan dan dampaknya tetap relevan hingga hari ini, bahkan semakin kompleks seiring berkembangnya pola pikir, kondisi ekonomi, serta pengaruh budaya dan agama di tengah masyarakat.

Perkawinan dini merupakan pernikahan yang dilakukan di bawah usia minimal yang ditetapkan oleh undang-undang. Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, telah menetapkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Meskipun demikian, praktik perkawinan dini masih marak terjadi. Hal ini terbukti dari tingginya jumlah permohonan dispensasi kawin yang diajukan ke peradilan agama setiap tahunnya.

Baca Juga :  Melawan Rasa Malas

Peradilan agama memiliki peran strategis dalam menyaring dan mengevaluasi permohonan dispensasi kawin. Tidak semua permohonan harus dikabulkan pengadilan wajib mempertimbangkan apakah alasan yang diajukan benar-benar mendesak, tidak melanggar hak anak, serta tidak membahayakan masa depan mereka. Dalam praktiknya, sejumlah peradilan agama telah menerapkan pendekatan progresif dan komprehensif, dengan melibatkan psikolog, konselor, hingga Kementerian Agama dalam proses pengambilan keputusan. Tujuannya adalah agar keputusan yang diambil benar-benar didasarkan pada pertimbangan yang matang dan berpihak pada kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).

Di sisi lain, praktik nikah siri juga menjadi tantangan tersendiri bagi peradilan agama. Meskipun secara agama pernikahan semacam ini sah, namun secara hukum negara, pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Ini berarti bahwa pasangan, terutama perempuan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan siri, tidak memperoleh perlindungan hukum yang semestinya, seperti hak waris, hak nafkah, dan status hukum yang jelas. Banyak perempuan dan anak-anak menjadi korban dalam sistem yang tidak menjamin perlindungan terhadap mereka.

Baca Juga :  Pj Bupati Asra Hadiri Sidang Paripurna Pelaksanaan APBK 2023

Sebagai respons, peradilan agama kerap menerima permohonan isbat nikah permohonan untuk mengesahkan pernikahan secara hukum agar bisa dicatatkan di negara. Dalam hal ini, pengadilan menghadapi dilema antara mengakomodasi realitas sosial masyarakat yang telah terlanjur menjalani pernikahan siri dan mendorong masyarakat untuk lebih taat terhadap prosedur hukum formal yang menjamin keadilan dan kepastian hukum. Pengadilan agama, dalam kapasitasnya, berperan untuk menjembatani antara realitas sosial dan nilai-nilai hukum formal agar keduanya berjalan seiring dan tidak saling menegasikan.

Namun, tugas peradilan agama tidak berhenti di ruang sidang saja. Ia juga memiliki fungsi edukatif dan preventif dalam masyarakat. Peradilan agama diharapkan turut serta menyosialisasikan pentingnya pencatatan pernikahan secara resmi serta memberikan pemahaman tentang risiko-risiko hukum dari nikah siri. Edukasi ini penting terutama di wilayah-wilayah yang masih kuat dipengaruhi oleh norma-norma budaya lokal yang kadang bertentangan dengan ketentuan hukum nasional. Di sinilah pentingnya sinergi lintas sektor antara peradilan agama, pemerintah daerah, tokoh agama, organisasi masyarakat, dan lembaga pendidikan dalam menciptakan kesadaran hukum di masyarakat.

Baca Juga :  Presiden Prabowo Bahas Strategi Penguatan Investasi Mobil Listrik

Dengan demikian, keberhasilan peradilan agama dalam merespons perubahan sosial tidak semata-mata diukur dari banyaknya perkara yang ditangani atau diputuskan, tetapi dari sejauh mana lembaga ini mampu memainkan peran aktif dalam mewujudkan keadilan substantif, melindungi kelompok rentan, dan mendorong terjadinya transformasi sosial ke arah yang lebih sehat dan adil. Di tengah arus perubahan sosial yang begitu cepat, peradilan agama dituntut untuk tidak hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga pengayom masyarakat yang mampu menjembatani antara idealisme hukum dan realitas sosial secara bijaksana.[]

Penulis :
Yusita, mahasiswi Hukum Universitas Bangka Belitung

banner 300250