Oleh : Nuriza Auliatami, S.S, M.Si*
Ketika kabar tentang rencana kerja sama kebudayaan antara Indonesia dan Turki mencuat ke publik—khususnya inisiatif pembuatan film tentang hubungan sejarah antara Kesultanan Ottoman dan Kesultanan Aceh—saya merasakan getaran yang lebih dari sekadar kebanggaan. Ada harapan yang tumbuh, dan sekaligus sebuah ajakan mendesak: kita harus kembali menoleh ke masa lalu yang selama ini mungkin hanya tercatat samar dalam ingatan kolektif masyarakat Aceh, terlebih lagi di Aceh Tamiang.
Mengapa saya menyambut baik rencana ini? Sebab Tamiang bukan hanya bagian pinggiran dalam peta sejarah Aceh, tetapi salah satu titik penting dalam bab besar hubungan diplomatik dan militer antara dunia Islam di Timur Tengah, Eropa dan kepulauan Nusantara.
Bagi sebagian besar masyarakat Tamiang hari ini, nama Ottoman atau Utsmani mungkin terdengar asing dan jauh. Namun sejarah mencatat, pada pertengahan abad ke-16, pasukan Ottoman yang datang membantu Aceh dalam menghadapi ancaman kolonial Portugis, turun melalui jalur yang tidak bisa diabaikan: wilayah Sungai Iyu, yang terletak di Aceh Tamiang. Ini bukan sekadar jalur logistik, melainkan titik strategis yang menjadi saksi bisu perjumpaan dua peradaban besar dunia Islam: Aceh dan Ottoman.
Sumber sejarah yang menguatkan hal ini tidak datang sembarangan. Sejarawan Turki ternama, Mehmet Özay, dalam penelitiannya tentang hubungan Ottoman dan Asia Tenggara, secara eksplisit menyebutkan keterlibatan wilayah-wilayah seperti Tamiang dalam dinamika politik dan militer antara Istanbul dan Banda Aceh. Ia menyuguhkan dokumen dan narasi sejarah yang menjadi penguat bagi kita semua bahwa Tamiang pernah menjadi bagian dari percakapan besar dunia Islam global.
Sayangnya, kesadaran akan hal ini belum mengakar dalam memori publik. Situs-situs sejarah di Tamiang yang terkait dengan masa itu belum tergarap maksimal. Narasi lokal tentang bagaimana keluarga Turki, Al-Ghaziy Melik Mansyur Kaisyery Attahashi bisa tiba di Sungai Iyu, Aceh Tamiang pun belum sepenuhnya mengangkatnya sebagai kebanggaan. Maka dari itu, rencana produksi film sejarah yang didorong oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia bersama negara mitra, yaitu Turki ini bukan hanya patut diapresiasi, tetapi harus didukung penuh oleh masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang.
Sebuah film sejarah bukan semata tontonan artistik; ia adalah medium edukasi dan diplomasi budaya. Film ini bisa menjadi pintu pembuka bagi generasi muda untuk memahami bahwa Tamiang pernah menjadi bagian dari jaringan kekuatan Islam global. Ini juga bisa menjadi pemantik penelitian lanjutan, revitalisasi situs sejarah, dan pengembangan wisata edukatif yang mengakar pada identitas lokal.
Saya membayangkan, suatu hari nanti, anak-anak sekolah di Tamiang akan menonton film ini bukan hanya sebagai hiburan, tapi juga sebagai cermin diri. Mereka akan merasa bangga bahwa kampung halamannya pernah disinggahi armada Ottoman. Mereka juga bangga bahwa bubur pedas Tamiang pernah menjadi pengisi perut para pejuang Islam era kekhalifahan Ottoman itu. Kemudian Mereka akan bertanya pada guru sejarah mereka, “Mengapa kita tidak belajar ini dari dulu?”
Momentum ini adalah undangan untuk membangun kembali jembatan sejarah yang telah lama tertimbun. Saya mengajak semua pihak—pemerintah daerah, komunitas budaya, peneliti, dan masyarakat umum—untuk bersama-sama menggali kembali jejak sejarah Ottoman di Tamiang. Kita perlu membuka arsip-arsip tua, mendengarkan cerita dari para tetua, mendokumentasikan situs-situs bersejarah, dan menulis ulang narasi kebanggaan kita dengan pena emas yang kita miliki, sehingga generasi kedepan dapat mengatakan dengan suara yang lantang : “Hambe Okhang Temiang”.
Sejarah bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah bahan bakar untuk masa depan. Dan dalam hal ini, Tamiang memiliki warisan yang sangat berharga. Kita hanya perlu menyalakan kembali pelitanya.[]
*Penulis adalah Pegiat Budaya dan Ketua Yayasan Nata Budaya Nusantara