Balada Rencana Kenaikan PPN 12%, Menambah Beban Rakyat?

Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmoni Peraturan Perpajakan, mulai tanggal 1 Januari 2025 akan diberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai yang semula 11% menjadi 12%. Rencana ini menjadi momok bagi masyarakat, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya membaik pasca pandemi.

Namun, apakah kebijakan ini akan menambah beban bagi masyarakat atau malah memberikan peluang kesejahteraan di baliknya?. Baru-baru ini pemerintah telah resmi mengumumkan akan memberlakukan kenaikan PPN di awal tahun depan, yang akan dikenakan hanya pada barang dan jasa premium. Keputusan ini juga diiringi dengan sejumlah paket stimulus ekonomi yang diperuntukkan bagi berbagai sektor. Sebuah langkah kompromi yang menarik, namun apakah kebijakan ini cukup adil dan efektif?

Kesenjangan antara tujuan pemerintah dan dampak nyata pada masyarakat

Dalam konferensi pers Senin (16/12), Menteri keuangan bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, juga Menteri Kabinet Merah Putih lainnya, telah mengumumkan berlakunya tarif pajak 12% mulai 1 Januari 2025, kecuali barang dan jasa kebutuhan pokok yang diberikan fasilitas bebas PPN, serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas, yakni tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat atau MinyaKita.

Tujuan dinaikkannya tarif tersebut, bagi pemerintah, adalah dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan negara dan menutup difisit anggaran. Namun dalam kenyataannya, ada dampak atau konsekuensi yang harus diterima seluruh masyarakat. Meskipun pemerintah menggalakkan kenaikan pajak ini hanya untuk barang-barang mewah, tidak menutup mata bahwa nantinya operasional seluruh rakyat seperti perusahaan, pabrik, dan UMKM serta distribusi kebutuhan pokok juga ikut naik.

Baca Juga :  Mekanisme Bisnis Menggunakan Akad Mudharobah

Hal ini akan menyebabkan barang-barang/jasa kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat yang semula tidak terkena pajak, mengalami kenaikan harga dan berpotensi inflasi atau kenaikan biaya hidup. Selain itu, daya beli masyarakat akan turun bebas, otomatis perusahaan/UMKM akan mengurangi produksi yang dampaknya adalah PHK besar-besaran. Jutaan rakyat Indonesia akan menganggur, yang mana berpotensi meningkatkan kriminalitas dan menurunnya aktifitas ekonomi lokal.

Perbedaan antara niat baik pemerintah dan dampaknya yang dirasakan masyarakat, menjadi tantangan yang harus dijembatani. Kepercayaan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas pajak menjadi kunci. Jika dukungan publik menurun, risiko ketidakpatuhan pajak (tax evasion) meningkat, menghambat efektifitas sistem pajak dan tujuan kenaikan PPN.

Pemerintah hanya membujuk atau memberikan jalan tengah?

Untuk mengurangi dampak negatif imbas kenaikan tarif 12%, pemerintah meluncurkan paket stimulus ekonomi untuk menjaga kesejahteraan masyarakat. Dalam dukungan kepada rumah tangga, pemerintah memberikan bantuan pangan berupa 10 kg beras kepada 16 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama dua bulan, dan diskon listrik sebesar 50% kepada pelanggan listrik dengan daya 450-2200 VA.

Baca Juga :  Ketahanan Finansial dan Investasi Saham Syariah

Untuk dukungan kepada UMKM, pemerintah memperpanjang tarif PPh final sebesar 0,5% hingga 2025, dan membebaskan kewajiban membayar PPh bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun. Untuk dukungan kepada sektor strategis, pemerintah memberikan insentif pada sektor padat karya, industri hijau seperti mobil listrik dan hybrid, serta sektor perumahan.

Beberapa stimulus yang dijanjikan dapat menuai banyak manfaat, seperti, pemberian bantuan langsung kepada KPM merupakan langkah konkret untuk menjaga ketahanan pangan kelompok rentan, terutama dalam mencegah potensi peningkatan angka kemiskinan akibat inflasi. Selain itu, potongan tarif listrik untuk daya kurang dari 2200 VA membantu masyarakat kelas menengah dan bawah mengurangi pengeluaran rumah tangga, sehingga daya beli tetap terjaga.

Di sisi lain, perpanjangan tarif PPh final memberikan ruang bagi UMKM untuk bertumbuh tanpa terbebani pajak yang besar, sementara pembebasan PPh untuk omzet di bawah 500 juta rupiah memberikan kelegaan bagi pelaku usaha kecil agar dapat fokus pada pengembangan bisnis tanpa tekanan pajak. Lebih jauh lagi, dukungan terhadap mobil listrik dan hybrid mencerminkan komitmen pemerintah dalam mendorong industri berkelanjutan sekaligus mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. Dan yang terakhir, dukungan pada sektor padat karya menjaga lapangan pekerjaan dan membantu mengurangi risiko PHK massal

Jika berbagai kebijakan dan stimulus yang direncanakan nantinya direalisasikan, maka pemerintah harus benar-benar memperhatikan berbagai hal atau aspek yang melingkupi dengan baik. Dalam implementasi tarif PPN yang berbeda antara barang atau jasa premium dengan non premium, terdapat resiko manipulasi, seperti undervaluasi untuk menghindari tarif pajak yang lebih tinggi, sehingga sistem pengawasan dan pelaporan yang ketat sangat dibutuhkan. Saat stimulus direalisasikan, efektifitas implementasinya harus benar-benar diperhatikan, dengan koordinasi antarinstansi untuk memastikan program tepat sasaran, dan tidak terjadi penyimpangan.

Baca Juga :  Kampung di Tamiang Mempunyai Sederet Tempat Wisata Indah

Selain itu, di tengah ekonomi yang belum stabil pasca pandemi, pemerintah juga harus menjaga keseimbangan antara pengeluaran stimulus dan keberlanjutan anggaran negara, agar difisit anggaran tidak semakin membesar. Komunikasi publik yang efektif dan diskusi yang transparan antara pemerintah dan masyarakat sangat peting untuk membangun kepercayaan, memahami kebijakan pajak, dan menciptakan dukungan bersama.

Kebijakan kenaikan PPN ini akan terlaksana dengan baik jika pemerintah mampu menjamin mekanisme implementasi yang efektif, transparan, dan adil, serta memastikan paket stimulus menyentuh kelompok yang paling terdampak. Namun, jika mekanisme pengawasan dan mitigasi belum siap, kebijakan ini lebih baik ditunda hingga ekonomi lebih stabil dan kepercayaan publik terhadap pengelolaan pajak meningkat. Keputusan yang matang akan mencerminkan kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat sambil tetap mencapai tujuan fiskal.[]

Penulis :
Putri Febrianti, mahasiswa prodi Perpajakan Universitas Airlangga

banner 300250